Penulis: Mimi Hilza
Jumat 25 oktober 2019
Baru satu hari bekerja, Nadiem Makarim sudah nyaris dihabisi. Oleh siapa? Oleh kita-kita ini.
Yang mengorek-ngorek ranah pribadinya, apa agama istrinya, bagaimana anak-anaknya dibaptis...
Inilah mengapa perjalanan kita untuk bisa saling rangkul dan bahu-membahu memajukan negeri kerap terlihat sebagai jalan panjang yang amat melelahkan dan tak terlihat ujungnya.
Adalah sangat membantu jika kita sebagai rakyat jelata mau menyampaikan aspirasi dan ide-ide untuk perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Tapi bisakah kita melakukannya lewat narasi-narasi yang tidak provokatif, tanpa egois meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan banyak orang, dan tanpa perlu merusuh pilihan-pilihan pribadi orang lain yang notabene tak ada urusannya dengan apa yang akan dilakukannya untuk masyarakat?
Nasib bangsa bukan di tangan Nadiem Makarim seorang. Bukan juga hanya di tangan para menteri yang baru dilantik kemarin. Kita rakyat yang akan mengalami dampak-dampak kebijakan mereka juga punya andil, bagaimana menciptakan kedamaian dan suasana yang kondusif di antara kita supaya orang-orang yang berwenang ini bisa dengan tenang dan sebaik-baiknya bekerja.
Mari berdiskusi, mari saling menyumbang ide-ide cemerlang, mengkritisi kebijakan-kebijakan yang tak berjalan baik, tapi bisakah tanpa harus saling menyerang?
Dan saya sedih. Ada banyak sekali penulis hebat di media sosial. Jauuuhhh di atas kelas saya. Tapi di kenyataan, hanya segelintir yang menguasai cara menulis dan mengembangkan narasi tanpa harus menciptakan huru hara di antara sesama anak bangsa. Atau masalahnya memang ada pada diri mereka sendiri? Mereka yang belum cukup mampu menguasai diri dan mengenyangkan ego mereka tanpa perlu merisak hidup orang lain, apa keyakinan mereka. Padahal menurut mereka sjw wanna be ini, mereka sangat mengidamkan Indonesia yang bisa tetap indah dan penuh cinta dalam kemajemukannya.
Keindahan dan cinta macam apa yang diperoleh dari kalimat-kalimat hasutan dan amarah yang diumbar-umbar? [Source : Facebook Mimi Hilzah]
Jumat 25 oktober 2019
Baru satu hari bekerja, Nadiem Makarim sudah nyaris dihabisi. Oleh siapa? Oleh kita-kita ini.
Yang mengorek-ngorek ranah pribadinya, apa agama istrinya, bagaimana anak-anaknya dibaptis...
Inilah mengapa perjalanan kita untuk bisa saling rangkul dan bahu-membahu memajukan negeri kerap terlihat sebagai jalan panjang yang amat melelahkan dan tak terlihat ujungnya.
Adalah sangat membantu jika kita sebagai rakyat jelata mau menyampaikan aspirasi dan ide-ide untuk perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Tapi bisakah kita melakukannya lewat narasi-narasi yang tidak provokatif, tanpa egois meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan banyak orang, dan tanpa perlu merusuh pilihan-pilihan pribadi orang lain yang notabene tak ada urusannya dengan apa yang akan dilakukannya untuk masyarakat?
Nasib bangsa bukan di tangan Nadiem Makarim seorang. Bukan juga hanya di tangan para menteri yang baru dilantik kemarin. Kita rakyat yang akan mengalami dampak-dampak kebijakan mereka juga punya andil, bagaimana menciptakan kedamaian dan suasana yang kondusif di antara kita supaya orang-orang yang berwenang ini bisa dengan tenang dan sebaik-baiknya bekerja.
Mari berdiskusi, mari saling menyumbang ide-ide cemerlang, mengkritisi kebijakan-kebijakan yang tak berjalan baik, tapi bisakah tanpa harus saling menyerang?
Dan saya sedih. Ada banyak sekali penulis hebat di media sosial. Jauuuhhh di atas kelas saya. Tapi di kenyataan, hanya segelintir yang menguasai cara menulis dan mengembangkan narasi tanpa harus menciptakan huru hara di antara sesama anak bangsa. Atau masalahnya memang ada pada diri mereka sendiri? Mereka yang belum cukup mampu menguasai diri dan mengenyangkan ego mereka tanpa perlu merisak hidup orang lain, apa keyakinan mereka. Padahal menurut mereka sjw wanna be ini, mereka sangat mengidamkan Indonesia yang bisa tetap indah dan penuh cinta dalam kemajemukannya.
Keindahan dan cinta macam apa yang diperoleh dari kalimat-kalimat hasutan dan amarah yang diumbar-umbar? [Source : Facebook Mimi Hilzah]