Penulis: Ahmad Mundzir
Senin 14 Oktober 2019
NU online |
Atorcator.Com - KH Bahaudin Nur Salim al-Hafidz,
pengasuh Pesantren LP3IA Narukan, Kragan, Rembang menjelaskan tentang bagaimana
hukum jilbab? Menurutnya, jilbab dilihat dari sudut pandang lelaki, hukumnya
dikembalikan kepada lelakinya, tidak dibebankan kepada perempuan.
Jika ada perempuan memakai jilbab
kemudian ada lelaki yang memandang wajahnya, hukumnya tetap haram. Perempuan
tidak berjilbab, namun lelaki lain tidak memandang auratnya, hukumnya tidak
haram.
Kata kunci keharaman bagi laki-laki
adalah mata yang jelalatan atau tidak. Kepada perempuan yang berjilbab atau
tidak selama lelaki bisa mengontrol pandangan dengan baik, maka tidak akan
terkena dosa.
Berbeda jika dilihat dari sisi
perempuan. Bagi muslimah, perilaku berjilbab itu sendiri hukumnya wajib.
Sebelum Islam datang, para perempuan
jahiliyyah dahulu tidak memakai jilbab. Mereka membuka auratnya di depan lelaki
lain. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat yang salah
satunya dengan cara berjilbab. Ukuran seberapa besar orang berjilbab yang
paling mendasar di dalam Al-Quran Allah berfirman:
ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
Dengan pakaian tersebut, menjadi
simbol para perempuan menjadi mudah dikenali. Dengan dikenali, perempuan
menjadi tidak disakiti. (QS Al-Ahzab: 59)
Pada masa Rasulullah ﷺ, para perempuan memakai pakaian dengan
busana dan sikap yang menunjukkan kesediaannya jika diajak untuk berlaku
senonoh. Dengan ayat tersebut Alah memberikan aturan berpakaian yang menunjukkan
apabila diajak ke arah mesum pasti tidak mau. Waktu itu, jilbab merupakan
simbol pakaian yang menunjukkan pemakainya pasti enggan diajak berlaku asusila.
Meskipun begitu, tidak bisa
disalahartikan apabila ada perempuan berjilbab namun masih tersenyum genit yang
mengekspresikan kemauannya jika diajak melakukan hal buruk lalu hukumnya
menjadi boleh. Hal ini lah yang menjadikan aturan bahwa jilbab itu wajib,
sedangkan senyum genit yang mengarah kesediaan untuk bertindak asusila itu
tetap haram. Tidak berarti jika sudah berjilbab menjadi bebas.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ
النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا
مَعْرُوفًا (32) [الأحزاب: 32]
Istri-istri Nabi diberi pesan oleh
Allah supaya jangan seperti perempuan-perempuan yang jika di depan lelaki lain,
bicaranya dengan bahasa sopan dan halus. Sebagian lelaki, apabila mendapati
perempuan yang bicaranya lembut, bisa membangkitkan pikiran yang ngeres (negatif),
maka perlu dihindari. Karena hal tersebut bisa menimbulkan persepsi bahwa
perempuan tersebut mau apabila diajak untuk berbuat asusila.
Sebaiknya, bagi para perempuan
cantik, apabila ada lelaki lain bertanya, jangan dijawab dengan sopan, namun
jawablah dengan bahasa kasar, supaya tidak menimbulkan persepsi bahwa dia
adalah perempuan murahan. Hal ini sesuai ayat di atas:
فَلَا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ
Artinya: “Jangan sopan saat
berbicara!”
Demikian filosofinya jilbab dan
kesopanan. Apabila perempuan mudah sopan santun kepada semua lelaki, akan
menimbulkan:
فَيَطْمَعَ
الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
Orang yang otaknya ngeres, kesopanan
perempuan akan diterjemahkan sebagai kesediaannya untuk berbuat serong.
Sopan santun mempunyai konteks.
Senyum adalah ibadah tentunya juga mempunyai konteks.
Dalam kesempatan lain, Gus Baha
menjelaskan bahwa pengikut ahlussunnah di Indonesia di bidang fiqih
mengikuti madzhab empat, tidak hanya satu madzhab. Hal ini tidak bisa
dipungkiri. Orang Indonesia secara umum mengikuti madzhab Syafi’i, tapi dalam
madzhab Syafi’iyyah mewajibkan menutup muka bagi perempuan di luar shalat.
Sedangkan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan berjilbab
tanpa menutup wajah mengikuti madzhab Hanafi. Sehingga muslimah Indonesia,
dalam hal menutup aurat wajah, mengikuti madzhab Hanafi. Wallahu a’lam.
*Selengkapnya bisa dibaca di Islami.co