Penulis: Sunardian Wirodono
Selasa 1 Oktober 2019
Atorcator.Com - Ada 575 anggota DPR-RI 2019-2024 yang dilantik hari ini, 1 Oktober
2019. sejumlah 321 anggota merupakan wajah lama, dan 254 wajah baru, baru
pertama kali dilantik sebagai anggota parlemen. Demikian juga termasuk anggota
MPR dan DPD, meski kita nggak tahu, apa sih fungsi dua yang terakhir itu?
Akankah parlemen kali ini lebih
bermutu, atau lebih tidak bermutu, dengan dominasi partai koalisi Pemerintah?
Akan lebih berwarna atau tidak, dengan tak adanya lagi Fahri Hamzah, Budiman
Sudjatmiko, Eva Kusuma Sundari, atau Erni Suryani Chaniago? Akan lebih
menghiburkah, karena adanya Mulan Jameela, Krisdayanti?
Belum-belum sudah (ini terjemahan
adagium Jawa, durung-durung uwis,...), sangat mewarnai para wakil rakyat kita
ini. Belum ngapa-ngapa, sudah dapat 'mosi tidak percaya". Meski kalau mosi
tidak percaya ini datangnya dari golput, ngapain pakai pengumuman, toh dulu
milih juga kagak milih? Kok sekarang mau-maunya bilang mosi tidak percaya?
Tapi begitulah Indonesia.
Sebagaimana kita bacai berita, belum juga sepekan dilantik, ada beberapa
anggota DPRD yang menggadaikan SK pelantikannya sebagai wakil rakyat. Pertanda
apa? Pertanda mereka mungkin butuh duit. Karena duitnya kemarin habis untuk
kampanye, atau sudah diburu jatuh tempo tagihan. Meski hal itu juga
menunjukkan, alangkah lucunya negeri ini. Jadi wakil rakyat bisa jadi profesi.
Tempat nyari duit, dan penuh itung-itungan duit. Aspirasi dan konstituen,
mungkin hanya istilah dalam kampanye.
Banyaknya anggota pertahana di
Parlemen, juga mengundang dua pertanyaan; Bagaimana soal kaderisasi, dan
kemungkinan dengan hasil itulah yang agaknya membuat banyak anggota DPR (14-19)
lebih banyak turun ke lapangan, berkampanye. Karena bulan-bulan terakhir
periode lalu, banyak kursi kosong.
Sidang paripurna, untuk keputusan
penting pun, bahkan hanya dihadiri, fisik, sepertiga atau seperempat. Tidak
quorum? Lihat aturan, mereka tanda-tangan di daftar kehadiran atau tidak?
Karena UUMD3 dengan seenak perut mengatakan; Jumlah kehadiran dianggap sah
dengan melihat jumlah tanda-tangan kehadiran. Meski secara fisik orangnya
ngelencer kampanye, atau pijet ke Gajah Mada.
Padahal, dalam negeri demokrasi,
wakil rakyat ini adalah pertaruhannya. Kualitas demokrasi juga bisa diukur dari
sini. Mereka lahir dari daya kritis masyarakat, partisipasi publik, atau lahir
dari minimnya pemahaman demokrasi atau politik rakyat? Karena partai politik
juga tak banyak bisa diharap dalam perubahan sosial masyarakat.
Tapi semuanya itu, seperti ujar Bung
Karno, rakyat kuat negara kuat. Bukannya rakyat kuat wakilnya di parlemen
bejat. Kalau rakyat sejak dari kampanye pilpres dan pileg, mau-maunya ditipu.
Asal milih. Hanya karena sembako atau nasbung, kita akan mengulang-ulang
sejarah lama. Apalagi mogok, pasif, dan nggolput. Tak ada perubahan radikal
dalam sistem kepolitikan kita, mengenai UU Pemilu, UU Partai Politik, dan
berbagai turutannya.
Apalagi jika yang dibilang radikal
malah berbelok ke radikalisme agama. Makin penyok lagi. Dan bahkan lebih makin
penyok, ketika smartphone di genggaman tangan hanya berisi ujaran kebencian dan
hoax. Bukannya untuk menyuarakan aspirasi politik kita secara berani. Kritis.
Tetapi juga tidak waton. Apalagi fitnah. [Source Facebook Sunardian Wirodono]