Penulis : Prof. Sumanto Al Qurtuby
Selasa 29 Oktober 2019
Saya tahu dan bisa merasakan kalau kalian kini sedang kecewa. Sangat kecewa. Atau mungkin merasa "terhina", tersakiti dan "dikhianati" oleh teman-teman yang selama ini kalian anggap "teman sejati". Kalian mungkin lupa rumus: dalam politik, sesungguhnya tidak ada teman sejati. Yang sejati dan abadi itu adalah kepentingan.
WAG2 kalian yang dulu riuh renyah tiba-tiba sepi sunyi. Hanya sesekali muncul dengan nada sindiran dan candaan. Itu artinya kalian sedang marah. Marahnya kalian beda dengan yang di seberang sana.
Saya bisa memahami kenapa kalian kecewa.
Kalian sudah habis-habisan berjuang di lapangan rela menjadi "tameng", "pion", dan "kopral Jono" guna menghadapi barisan kadrun dan mugrun yang merongrong pemerintah, Pancasila, dan Indonesia.
Kalian sudah habis-habisan "perang dalil", "perang ayat", "perang kitab", dan "perang wacana" keislaman dengan mereka yang hobi mengafir-sesatkan Jokowi, pemerintah, Pancasila, dan kebudayaan Indonesia.
Kalian sudah habis-habisan ikut meredam panasnya Jakarta sejak kasus Ahok. Saya tau para kiai, sarjana, dan ulama kalian habis-habisan bela Ahok, baik di lapangan maupun di pengadilan, hingga kalian dibully habis-habisan "entek-nggorek" oleh mereka.
Kalian juga sudah bekerja keras ikut meredam gejolak Papua.
Kalian sudah habis-habisan mengerahkan massa di berbagai daerah untuk membendung gelombang kelompok Islamis radikal.
Tapi semua jerih payah itu seolah tak berguna dan dilupakan begitu saja. Saya tahu kalian kecewa bukan karena tidak mendapatkan "jatah menteri" atau jabatan dan posisi di pemerintahan. Tapi lantaran kalian tidak diajak rembukan. Padahal sebelumnya mereka rajin datang ke tempat kalian - di PBNU dan Ciganjur - minta tolong ikut bantu menyelesaikan soal ini dan itu.
Mungkin saja mereka menganggap jerih payah kalian itu bukan jerih payah, perjuangan kalian bukan perjuangan, dan pengorbanan kalian bukan pengorbanan. Hal itu karena kalian tidak punya suara dan kursi di parlemen, selain tidak punya harta-benda. Modal kalian hanya "tenaga", "dengkul" dan "cuap-cuap" saja soalnya. Jadi harap maklum.
Yang lalu biarlah berlalu. Cukup dicatet di dalam hati dan pikiran saja. Ini juga menjadi catatan berharga dan peringatan penting untuk langkah berikutnya. Lain kali tidak perlu "jungkir-balik" berjuang. Biasa-biasa saja. NU supaya lebih fokus mengurusi umat dan pesantren. Gus Durian teruslah bekerja di akar rumput membangun kebangsaan dan merajut persaudaraan antariman dan antaretnis.
Meskipun kecewa dan sakit, mari kita tetap beri dukungan moral-spiritual-intelektual untuk Pak Jokowi dan jajaran kabinet untuk mengemban tugas sebaik-baiknya demi kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Beranda Facebook Sumanto Al Qurtuby
Selasa 29 Oktober 2019
NU-Online |
Saya tahu dan bisa merasakan kalau kalian kini sedang kecewa. Sangat kecewa. Atau mungkin merasa "terhina", tersakiti dan "dikhianati" oleh teman-teman yang selama ini kalian anggap "teman sejati". Kalian mungkin lupa rumus: dalam politik, sesungguhnya tidak ada teman sejati. Yang sejati dan abadi itu adalah kepentingan.
WAG2 kalian yang dulu riuh renyah tiba-tiba sepi sunyi. Hanya sesekali muncul dengan nada sindiran dan candaan. Itu artinya kalian sedang marah. Marahnya kalian beda dengan yang di seberang sana.
Saya bisa memahami kenapa kalian kecewa.
Kalian sudah habis-habisan berjuang di lapangan rela menjadi "tameng", "pion", dan "kopral Jono" guna menghadapi barisan kadrun dan mugrun yang merongrong pemerintah, Pancasila, dan Indonesia.
Kalian sudah habis-habisan "perang dalil", "perang ayat", "perang kitab", dan "perang wacana" keislaman dengan mereka yang hobi mengafir-sesatkan Jokowi, pemerintah, Pancasila, dan kebudayaan Indonesia.
Kalian sudah habis-habisan ikut meredam panasnya Jakarta sejak kasus Ahok. Saya tau para kiai, sarjana, dan ulama kalian habis-habisan bela Ahok, baik di lapangan maupun di pengadilan, hingga kalian dibully habis-habisan "entek-nggorek" oleh mereka.
Kalian juga sudah bekerja keras ikut meredam gejolak Papua.
Kalian sudah habis-habisan mengerahkan massa di berbagai daerah untuk membendung gelombang kelompok Islamis radikal.
Tapi semua jerih payah itu seolah tak berguna dan dilupakan begitu saja. Saya tahu kalian kecewa bukan karena tidak mendapatkan "jatah menteri" atau jabatan dan posisi di pemerintahan. Tapi lantaran kalian tidak diajak rembukan. Padahal sebelumnya mereka rajin datang ke tempat kalian - di PBNU dan Ciganjur - minta tolong ikut bantu menyelesaikan soal ini dan itu.
Mungkin saja mereka menganggap jerih payah kalian itu bukan jerih payah, perjuangan kalian bukan perjuangan, dan pengorbanan kalian bukan pengorbanan. Hal itu karena kalian tidak punya suara dan kursi di parlemen, selain tidak punya harta-benda. Modal kalian hanya "tenaga", "dengkul" dan "cuap-cuap" saja soalnya. Jadi harap maklum.
Yang lalu biarlah berlalu. Cukup dicatet di dalam hati dan pikiran saja. Ini juga menjadi catatan berharga dan peringatan penting untuk langkah berikutnya. Lain kali tidak perlu "jungkir-balik" berjuang. Biasa-biasa saja. NU supaya lebih fokus mengurusi umat dan pesantren. Gus Durian teruslah bekerja di akar rumput membangun kebangsaan dan merajut persaudaraan antariman dan antaretnis.
Meskipun kecewa dan sakit, mari kita tetap beri dukungan moral-spiritual-intelektual untuk Pak Jokowi dan jajaran kabinet untuk mengemban tugas sebaik-baiknya demi kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Beranda Facebook Sumanto Al Qurtuby