Demokrasi Ala Serangan Fajar dan Gagalnya Pendidikan Politik Masyarakat Kita - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

08 November 2019

Demokrasi Ala Serangan Fajar dan Gagalnya Pendidikan Politik Masyarakat Kita

Penulis: Moh. Mizan Asrori
Jumat 8 November 2019
Ilustrasi : Suluh.co

Atorcator.Com - Money politic (politik uang) masih berperan besar dalam keterpilihan seorang pemimpin. Jika sebatas di tingkat gubernur atau presiden, kalau kita mau ikut berpikir seperti kebanyakan masyarakat hari ini, mungkin seolah rasional (meskipun saya pribadi tak pernah memaklumi politik uang di tingkat manapun), dengan argumentasi "Ngapain mikir ruwet, toh aku enggak bakal merasakan bukti kepemimpinannya. Ya mending ambil saja uangnya."

Tetapi yang terjadi hari ini (dan hari-hari jauh sebelumnya) sudah menyentuh ranah pemilihan kepala desa, di mana setiap kebijakan akan sangat berdampak kepada warganya. Karena level birokrasinya cukup dekat, tidak sejauh dan serumit dari gubernur ke wilayah desa. Apalagi kita tahu mahar politik dan logistik kampanye semakin lama semakin mahal, tentu kita bisa berhitung, jika satu orang mendapat kucuran "dana segar" serangan fajar sebesar 50.000 rupiah untuk satu suara, ada berapa puluh bahkan ratus juta rupiah modal yang harus dikembalikan?

Contoh kasus nyata betapa duit masih sangat berperan, adalah kisah seorang calon kepala desa yang dari awal sudah diusung oleh masyarakat langsung, secara mayoritas, akhirnya kalah 400 suara atas rivalnya. Ini yang terjadi pada orang tua teman saya, yang memang sejak awal tidak berminat maju dalam bursa Pilkades serentak se-Sumenep (7/11/2019). Hanya karena masyarakat mendorongnya maju dan guru spiritualnya merestui ia bersedia, tanpa modal bagi-bagi isi amplop. Kekalahannya disinyalir karena ada pengondisian untuk memilih calon lain dengan uang sebagai imbalannya.

Di belahan desa lain, ada pasangan suami istri yang maju sebagai calon, awalnya sang istri hanya sebagai pelengkap syarat saja, ternyata malah menang. Semuanya tentu juga ada peran uang di dalamnya. Betapa tidak demikian, beberapa hari sebelum pencoblosan, warga mengaku diberi uang (nominalnya ada yg 20 ribu rupiah) dengan anjuran untuk memilih sang istri.

Kita tahu, masa kepemimpinan kepala desa adalah 3 periode secara berturut-turut (1 periode 6 tahun). Itu artinya, terpilihnya sang istri memungkinkan si suami (yang mantan kades 2 periode) untuk mencalonkan lagi periode depan. Apa ini tidak masuk kategori "kemaruk" kata orang Jawa? Entah.

Money politic yang masih dominan adalah bukti rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat kita. Sekaligus menjadi justifikasi untuk menilai betapa kualitas pemimpin masih sangat tergantung pada jumlah duit dan modal yang dimiliki. Orang tidak percaya diri dan harus menempuh jalan politik uang pertanda tidak memiliki kualitas kepemimpinan yang memadai. Ia meletakkan kepercayaannya pada kuasa modal.

Mayoritas dari warga Indonesia barangkali tidak pernah menyangka, Gus Dur, yang sosoknya sangat komplet; santri, budayawan, pengamat olahraga, dan politikus, serta identitas lainnya, bisa terpilih sebagai presiden tanpa modal sepeserpun untuk dibagi-bagikan. Bahkan saat partai yang dipimpinnya bukan pemenang. Itu tak lain karena beliau punya kredibilitas dan kapabilitas sebagai sosok pemimpin, setelah sebelumnya menjabat Ketua Umum PBNU 3 periode berturut-turut dan tentu masih banyak rekam jejak lainnya dalam kepemimpinan.

Sedangkan di lingkungan desa untuk sekadar mencari calon kepala desa dari kalangan pemuda, kita masih sangat kerepotan bin kelimpungan. Benarkah Sumber Daya Manusia Indonesia sangat minim bahkan untuk sekadar sebagai calon kepala desa? Padahal kita punya banyak sekali sarjana, itu pun sudah melebihi persyaratan batas minimal pendidikan, kalau tidak salah hanya setara SLTA atau SMA untuk bisa mencalonkan kepala desa. Atau jangan-jangan pemuda tidak tertarik menyentuh ranah kepala desa yang kadang penuh intrik dan kepentingan?

Akibat dari politik uang yang sudah dianggap biasa ini, banyak sekali pemuda dan para calon pemilih rasional yg enggan berangkat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Apa yg mau diharapkan dari sebuah proses keterpilihan yg menuhankan dunia (uang)? Tentu kita akan dipertontonkan oleh cara-cara yg juga hanya berorientasi pada duniawi disaat kepemimpinannya berjalan. Salah satunya mengembalikan modal kampanye.

Maka tak perlu heran, jika kita mendengar dan menonton langsung korupsi di negeri ini semakin merajalela. Ada keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Ibaratnya ada rantai makanan yang bersambung, kalau dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang saya pelajari dulu. Mental korup masyarakat Indonesia menjalar hampir ke semua lini, tidak hanya pejabat di senayan sana.

Terlebih saat pemerintah pusat setiap tahunnya sudah mengucurkan Dana Desa (DD) kepada setiap desa, bahkan baru-baru ini ada desa fiktif yang selama 5 tahun mendapatkan dana yang menggiurkan tersebut. Bukankah ini seumpama memberi ikan pada kucing yang sedang kelaparan?

Jika memang sepakat korupsi harus diberangus, setiap masyarakat dari lapisan terbawah harus mulai mengubah pola pikirnya untuk urusan paling remeh sekalipun. Jauhkan uang dari kepentingan, berhenti berdamai dengan pungutan liar (pungli) untuk memuluskan proses-proses penerimaan suatu jabatan maupun mengurus berkas.

Lantas, di mana peran pemuda dalam kondisi seperti ini? Berdasarkan pengamatan berkala di desa penulis, beberapa pemuda memilih menjadi pemandu sorak, pendukung petahana, dan turut menyemarakkan perhelatan demokrasi tersebut. Tanpa merasa memiliki beban dan tanggung jawab dalam mengedukasi masyarakat tentang arti penting selektif memilih pemimpin dan bagaimana panduan Islam dalam memilih calon pemimpin (bagi yang beragama Islam).

Pemuda tipe ini larut dalam euforia, kegembiraan berlebih, dan pengkultusan pada sosok. Melupakan kritik yang tentu sangat bermanfaat untuk perbaikan kualitas kepemimpinan.

Kedekatan kepada penguasa yg berlebihan, kata K. Hasyim Muzadi (Alm) dapat membuat kita sulit nahi munkar, sedangkan terlalu menjaga jarak sejauh-jauhnya dengan lingkaran penguasa dapat menyulitkan untuk amar ma'ruf. Posisi idealnya memang tengah-tengah.

Pemuda lainnya yang masih berusaha teguh memegang idealisme dan berpegang pada prinsip demokrasi yang sehat, tanpa iming-iming uang dalam memilih pemimpin, malah dihadang dengan segala cibiran dan nyinyiran dari para pendukung mutlak pemerintah yang sedang berkuasa. Ketika menyampaikan kritik di media sosial dibalas dengan hujatan dan anggapan miring.

Akibatnya gerakannya tak terlalu bertahan lama, bahkan dari segala sisi digembosi. Motifnya bermacam cara, ada yg ditawari posisi strategis di struktur, ada juga yg diserang terus menerus dengan berbagai cara. Sebenarnya sudah risiko mengambil jalur di luar kebiasaan banyak orang. Berbeda itu masih tabu di negeri ini.

Tinggal memilih, mau berada di posisi mana dengan kondisi seperti ini. Yang jelas, pemuda hari ini adalah gambaran pemimpin hari esok. Kita bisa menerawang, 2045 yang digadang sebagai masa keemasan Indonesia, pemimpinnya akan seperti apa.

Akhirnya, saya teringat hadis Nabi yang terjemahannya sebagai berikut (nu.or.id):
Nabi Muhammad SAW bersabda: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sinan] telah menceritakan kepada kami [Fulaih bin Sulaiman] telah menceritakan kepada kami [Hilal bin Ali] dari ['Atho' bin yasar] dari [Abu Hurairah] radhilayyahu'anhu mengatakan; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan?' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." Hadis Bukhari Nomor 6015.

Moh. Mizan Asrori Pemimpin Redaksi LPM Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya periode 2017. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Asal Rajun Pasongsongan Sumenep.