Penulis: Ust. Dr. Miftah el-Banjary, MA
Jumat 22 Nopember 2019
Dalam sebuah riwayat hadits yang shahih, sebatang pohon kurma yang biasanya dijadikan sandaran Rasulullah berkhutbah di Masjid Nabawi, pernah menangis merintih manakala para sahabat membuatkan mimbar baru buat Rasulullah Saw.
Tangisan itu didengar jelas oleh para sahabat, disebabkan kerinduannya pada Rasulullah. Hingga, ditenangkan oleh Rasulullah. Kata al-Imam Syafie, seharusnya kita umatnya lebih patut menangisi Rasulullah, karena kerinduan itu.
Sahabat Nabi bernama Tsauban, seorang anak muda yang memiliki kecintaan luar biasa pada Rasulullah, hampir setiap malam -hingga sakit yang membawanya pada sakratul maut- menangis merindukan kekasih hatinya, Rasulullah.
Seorang nenek di Mesir pernah menangis, lantaran sudah tiga malam beliau tidak dikunjungi Rasulullah dalam mimpinya, padahal biasanya sepanjang malam ditemui oleh Rasulullah dalam mimpinya, karena keberkahan shalawat yang terus ia baca.
Ada diantara para ulama yang menangis lantaran bermimpi dengan Rasulullah, namun tak mampu menatap wajahnya yang mulia. Hal itu pun membuat mereka bersedih dan mencucurkan air mata.
Bayangkan dengan kita?!!
Pernahkah kita menangis mengenang kerinduam pada Habibul al-Musthafa ataukah air matamu menetes hanya perkara-perkara dunia yang hina? Atau engkau meneteskan air mata atas nama keagungan dan kerinduan al-Habibul Musthafa?
Bukankah al-Imam al-Bushiri berkata dalam syair Burdahnya:
"Bagaimana kamu dapat memungkiri cinta dan derita? Sedangkan saksi adil berupa air mata telah bersaksi akan cintamu yang jujur tanpa dusta."
Jumat 22 Nopember 2019
Ilustrasi: NU-online |
Dalam sebuah riwayat hadits yang shahih, sebatang pohon kurma yang biasanya dijadikan sandaran Rasulullah berkhutbah di Masjid Nabawi, pernah menangis merintih manakala para sahabat membuatkan mimbar baru buat Rasulullah Saw.
Tangisan itu didengar jelas oleh para sahabat, disebabkan kerinduannya pada Rasulullah. Hingga, ditenangkan oleh Rasulullah. Kata al-Imam Syafie, seharusnya kita umatnya lebih patut menangisi Rasulullah, karena kerinduan itu.
Sahabat Nabi bernama Tsauban, seorang anak muda yang memiliki kecintaan luar biasa pada Rasulullah, hampir setiap malam -hingga sakit yang membawanya pada sakratul maut- menangis merindukan kekasih hatinya, Rasulullah.
Seorang nenek di Mesir pernah menangis, lantaran sudah tiga malam beliau tidak dikunjungi Rasulullah dalam mimpinya, padahal biasanya sepanjang malam ditemui oleh Rasulullah dalam mimpinya, karena keberkahan shalawat yang terus ia baca.
Ada diantara para ulama yang menangis lantaran bermimpi dengan Rasulullah, namun tak mampu menatap wajahnya yang mulia. Hal itu pun membuat mereka bersedih dan mencucurkan air mata.
Bayangkan dengan kita?!!
Pernahkah kita menangis mengenang kerinduam pada Habibul al-Musthafa ataukah air matamu menetes hanya perkara-perkara dunia yang hina? Atau engkau meneteskan air mata atas nama keagungan dan kerinduan al-Habibul Musthafa?
Bukankah al-Imam al-Bushiri berkata dalam syair Burdahnya:
فكيف تنكر حبا بعد ما شهدت به عليك عدول الدمع والسقم
"Bagaimana kamu dapat memungkiri cinta dan derita? Sedangkan saksi adil berupa air mata telah bersaksi akan cintamu yang jujur tanpa dusta."