Apa Orang Desa Tidak Berhak Naik Pesawat? - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Rabu, Mei 22, 2024

Apa Orang Desa Tidak Berhak Naik Pesawat?

 


Penulis: Syahri

Konon, banyak orang mengatakan, bahwa naik pesawat itu hanya untuk orang-orang yang berduit. Dan hanya untuk orang-orang tertentu yang punya pekerjaan dan gaji tetap. Sebutlah pejabat.

Di kampung tempat saya tinggal, pesawat hanya bisa dinaiki oleh orang yang hendak mau berangkat haji. Itu pun hanya sekali seumur hidup. Kecuali mereka yang memang bekerja di luar negeri.

Betul, pesawat memang untuk orang-orang elit. Tidak sembarang orang bisa naik pesawat. Baik pesawat penerbangan domestik maupun internasional.

Tiketnya mahal dan prosesnya nyaris ribet. Tentu ribet bagi orang yang tidak biasa. Bisa kenak calo tiket.

Untungnya, sekarang bisa pesan tiket online. Check in online juga. Jadi semua sudah serba mudah. Tapi kemudahan itu berbanding lurus dengan harga tiket yang semakin mahal dan mencekik.

Saya punya pengalaman naik pesawat 2 kali. Semu gratis. Full funded (dibiayai penuh oleh orang) baik itu penyelanggara acara ataupun dermawan. 

Dalam benak saya dulu, saya mustahil bisa naik pesawat. Seolah-olah diri ini mengatakan "Kamu orang desa miskin nggak mungkin bisa naik pesawat, mentok hanya bisa melihat pesawat di atas rumah dan teriak-teriak minta duit".

Pengalaman pertama naik pesawat, saya tidak begitu ingat proses dan prosedurnya. Karena saya didampingi dosen waktu itu yang memang membiayai saya. Jadi ikut saja.

Wajar, anak semester 1 tiba-tiba diajak dosen naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta, semua biaya ditanggung dari pemesanan sampai check-in PP. Saya tinggal naik dan turun doang.

Namun, pesawat yang kedua ini berbeda. Pesan tiket sendiri, check in sendiri dan berangkat sendiri. Tapi semua biaya tetap full funded.

Dari proses pemesanan hingga check in online saya proses sendiri. Karena semua serba online dan bisa dipelajari lewat internet.

Tapi proses pemberangkatan ke Bandara pasti ada gugup-gugupnya. Deg degan. Namanya juga sendiri pengalaman juga baru sekali, itu pun didampingi. 

Saya mencoba untuk tenang di Bandara Juanda. Penerbangan kali ini dari Surabaya menuju Bali. Pakek maskapai "Citilink" kelas ekonomi. Kelasnya orang-orang yang dapat gratisan.

Karena penerbangan masih lama sekitar 2 jaman. Saya coba cari makanan-makanan ringan dulu di sekitar pinggiran Juanda itu. Nyaris tidak ada. Saya jalan kaki dari ujung ke ujung tetap nggak ada. Muter-muter juga nggak ada.

Terpaksa beli makanan di resto Bandara. Saya udah tahu, kalau resto di Bandara itu memang mahal banget dan banget. Tapi saya tidak mungkin membiarkan perut ini terus mendemo kelaparan. 

Mahalnya bukan main memang enam kali lipatnya harga warung penyetan. Tapi saya yang tak punya gaji dan pekerjaan tetap punya pengalaman dan keberanian membelinya.

Penerbangan tinggal 1 jam saya menuju lantai 2. Cek boarding pass, cek barang dll sudah dilalui semua dengan aman dan nyaman.

Sebenarnya, naik pesawat itu mudah. Gugup biasa. Tapi kita nggak boleh menampakan kegugupan itu di depan banyak orang.

Harus berusaha santai, rileks dan seolah-olah sudah berkali-kali naik pesawat. Usahakan nyari informasi itu ke petugas saja. Jangan ke sesama penumpang. 

Saya sering bertanya, Misal, "Pemberangkatan pesawat dari Juanda ke Ngurah Rai Bali yang mana ya pak". Ditunjukin aja.

Harus berani bertanya. Apapun yang tidak paham harus ditanyakan supaya paham. Sebab tidak mungkin ada petugas bandara itu bikin sesat.

Saat keberangkatan dan pesawat mulai take off jiwa ini tiba-tiba meronta-ronta "Eh kamu miskin, banyak utang, banyak cicilan, ngapain naik pesawat".

"Nek wes ditakdirno naik pesawat karo Gusti Allah, mau kamu deso, miskin, kere, banyak utang, banyak cicilan, musti ketekan. Wes percoyo wae karo Gusti Allah"