Penulis: Siswanto
Berbicara
mengenai radikalisme tentunya tidak lepas dari unsur kekerasan. Karena
radikalisme sendiri berasal dari kata radikal dan isme. Sedangkan radikal
sendiri adalah akar dan isme adalah paham. Maka, pengertian radikalisme pada
awalnya merupakan paham yang sampai ke akar-akarnya.
Sedangkan
radikalisme dalam Islam dipahami sebagai paham yang dianut oleh kelompok Islam
yang mendasarkan pada akar ajaran Islam. Pengertian ini adalah pengertian yang
positif di mana radikalisme Islam berorientasi pada ajaran Islam.
Dalam
perkembangannya, seiring dengan maraknya aksi kekerasan yang dilakukan oleh
sejumlah kelompok Islam di dunia Islam, maka radikalisme sering dipahami
sebagai paham yang dianut oleh kelompok-kelompok Islam yang diperjuangkan
dengan cara-cara kekerasan dan pemaksaan.
Selain
itu juga, mereka biasanya menolak sistem sosial dan politik yang berlaku di masyarakat
dan negara yang dianggap tidak berasal dari Islam yang mereka pahami. Pada
tahap selanjutnya, mereka berusaha mengubah sistem sosial dan politik itu ke sistem
yang mereka anut. Cara-cara mengubah sistem itu biasanya dilakukan dengan
cara-cara kekerasan. Kelompok-kelompok radikal tidak segan-segan melakukan
kekerasan demi menuntaskan pejuangannya.
Apa
yang menyebabkan mereka radikal
Perlu
kita ketahui, kenapa mereka melakukan militansi perjuangan Islam dengan
cara-cara kekerasan? Dalam hal ini, merujuk dari buku membentengi sekolahn dari
radikalisme yang diterbitkan oleh Kemenag setidaknya ada tiga penyebab
radikalisme Islam.
Pertama,
mereka melakukan aksi radikalisme dikarenakan adanya pemahaman bahwa untuk
mengubah masyarakat sampai ke akar-akarnya menjadi kebih Islami seperti yang
mereka pahami harus dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Mereka percaya bahwa
mandat Alquran untuk ‘amar ma’ruf nahi munkar’ harus diterapkan secara harfiah,
ketat, tanpa syarat atau pengecualian. Dengan merejuk dari konsep ini, mereka
berpandangan bahwa seluruh kemaksiatan harus diubah oleh umat Islam dengan
fisik, tidak hanya diserahkan kepada penguasa.
Dengan
begitu, melalui pemahaman inilah mereka melakukan aksi kekerasan untuk mengubah
kemaksiatan. Bagi mereka, penghancuran tempat-tempat maksiat adalah bagian dari
upaya untuk mengubah kemungkaran yang telah diajarkan oleh ajaran Islam.
Kedua,
aksi kekerasan yang dilakukan kelompok Islam didasarkan akan adanya anggapan
dan penilaian sepihak bahwa kondisi umat Islam sekarang telah menjadi sekuler,
tidak mempraktekkan ajaran Islam yang murni, amoral, dan penguasa yang thaghut.
Dalam pandangan mereka kondisi ini diperparah dengan tidak terpeliharanya
akhlak Islam sehingga perbuatan tercela semakin marak. Penyakit moral sudah
semakin merajalela di masyarakat. Akibatnya mereka ingin kembali ke ajaran
Islam yang paling mendasar dengan cara dan keyakinan yang dipahaminya.
Oleh
karena itu, menurut mereka, semua ini harus diubah dengan cara-cara kekerasan,
bukan lagi dengan cara-cara moderat yang cenderung lemah dan tidak berdaya.
Ketiga,
aksi radikalisme dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam sebagai reaksi dari
kebijakan politik barat yang cenderung meminggirkan dan menghancurkan dunia
Islam. Mereka juga memiliki hubungan solidaritas yang kuat terhadap perjuangan
dunia Islam, seperti Palestina. Itu sebabnya, fasilitas-fasilitas barat,
seringkali menjadi sasaran empuk dari aksi radikalisme.
Oleh
karena itu, pemberantasan dan pencegahan radikalisme adalah tantangan yang
kompleks dan memerlukan pendekatan multidimensi. NU sebagai lembaga sosial kemasyarakat
terbesar di dunia memiliki peran penting dalam membendung gerakan radikalisme.
Melalui instansi pendidikannya NU memiliki langkah-langkah strategis antara
lain yaitu;
Pertama,
melakukan pendidikan yang berbasis nilai-nilai moderat untuk memastikan bahwa
kurikulum dan pendekatan pendidikannya mendorong nilai-nilai toleransi,
moderat, dan menghormati keberagaman.
Kedua,
mengadakan pelatihan guru dan dosen artinya adalah melatih para guru dan dosen
untuk mengenali tanda-tanda radikalisme serta memberikan mereka alat untuk
menghadapinya bisa menjadi langkah penting. Mereka dapat menjadi agen perubahan
yang efektif dengan mendidik dan membimbing para siswa untuk mengembangkan
pandangan yang inklusif dan rasional.
Ketiga,
mengadakan ruang dialog dan diskusi terbuka untuk semua instansi dan lembaga, seperthalnya
mengadakan forum diskusi, seminar, dan lokakarya yang mendorong berbagai
pandangan bisa membantu mencegah penyatuan pemikiran di dalam kelompok-kelompok
yang mungkin rentan terhadap radikalisme.
Dengan demikian, dari pelbagai cara yang dicanangkan oleh NU yang perlu diingat dan dicatat bahwa pencegahan radikalisme adalah tanggung jawab bersama dan memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk institusi pendidikan, pemerintah, agama, dan masyarakat sipil. Adapun tujuannya tidak lain adalah agar paham radikalisme tidak merajarela dan keberadaannya bisa diredam dengan adanya kerjasama antar-lintas agama dan instansi.
Siswanto (Dosen Institut Pesantren Mathali'ul Falah (IPMAFA) Pati. Prodi Pengembangan Masyarakat Islam)