Viva.id |
“Bersenang-senanglah kamu di setiap bulan Ramadan tiba, karena di dalamnya terdapat masjid-masjid yang menyediakan takjilan dan acara buka bersama”. (Bukan hadis nabi).
Beberapa akhir ini warganet dikejutkan oleh seorang perempuan bercadar yang membagi-bagi takjil di depan museum Universitas Brawijaya malang dengan bertuliskan BOMB TAKJIL. Tentu pekerjaan semacam itu memiliki maksud dan tujuan, katanya sih...untuk menghilangkan stigma negatif yang melekat pada wanita bercadar. Entah cara itu sudah benar apa tidak, yang jelas memang tulisan itu membuat sensitif beberapa netizen setelah terjadinya insiden bom Marko brimob dan Surabaya.
Meski kasus-kasus candaan bom ini banyak dikecam, penggunaan kata ‘bom’ seolah-olah gak ada apa-apanya bagi kalangan mahasiswa rantau. Dianggap sesuatu yang biasa. Gampangnya, tak bisa membuat mahasiswa rantau sensitif, bagaimana akan sensitif untuk buka puasa aja mesti harus cari yang gratis-gratis atau majjanan dalam bahasa arabnya. Mahasiswa tak mungkin beranggapan bom takjil akan dapat meledak memakan banyak korban, justru mereka akan lebih berani mendekat dengan bom itu bahkan seringkali dicari tak peduli mereka akan menjadi korban bom takjil apa tidak, yang penting bisa buka puasa gratis.
Interpretasi-interpretasi yang dibuat para netizen dengan adanya BOMB TAKJIL itu, banyak mendapatkan perlawanan dari mahasiswa. Intinya mereka pasang muka cuek dan menerobos masuk untuk mendapat takjil itu. Mari kita selalu berbaik sangka kepada siapapun yang akan bersedekah di bulan Ramadhan ini. Begitulah apa yang dikatakan teman saya Mahasiswa UB Malang.
Dalam melihat peristiwa ini, apa yang dimaksudkan diatas satu sisi memang harus kita terima berdasarkan diskriminasi-diskriminasi yang memang sering digulirkan. Walaupun memang ada sedikit kejanggalan yang sama sekali tidak menampakkan rasa empati terhadap kejadian bom kemaren.
Namun karena momen ini juga sangat pas dijadikan instrumen untuk berbagi dan bersedekah tentu kita harus menunjukkan rasa respek. Tidak harus menaruh kecurigaan berlebihan apalagi marah berlebihan, ingat sekarang bulan puasa, harus mampu mengendalikan emosi. Supaya tidak menimbulkan masalah baru, numpuk, bertubi-tubi dan tak kunjung selesai. Tapi tetap harus waspada. Spanduk dan simbol yang mereka ributkan tak bisa membuat kualitas puasa mereka meningkat. Toh dua-duanya juga tak bisa membuat perut ini busung dari kelaparan setelah seharian tidak makan dan tidak minum.
Bagi saya begitu juga mungkin bagi anak rantau pada umumnya ramadhan memang bulan yang terus dinanti-nanti. Bukan hanya karena bulan ini penuh berkah, maghfirah dan rahmat. Tapi juga karena banyak masjid dan tempat-tempat lain yang menyediakan takjil atau menu buka puasa gratis yang mesti harus kita hargai dan hormati pemberiannya. Tetapi yang banyak ditempati pusat takjil gratis memang masjid. Masjid memang tempat strategis untuk dibuat tempat menebar kebaikan. Tak terkecuali urusan bersedekah takjil di bulan Ramadhan. Bukan berarti tempat lain tidak boleh dijadikan tempat menebar kebaikan. Seperti halnya yang dipraktekkan para wanita bercadar itu.
Kalau boleh saya katakan mahasiswa rantau itu statusnya sedang yatim piatu, yakni gak ada bapak dan ibu yang mau nyiapin menu buka puasa. Sehingga tak heran jika setiap harinya harus memburu takjil gratis di masjid-masjid. Tanpa harus memikirkan sebuah kesensitifan yang belakangan ini sangat heboh diperbincangkan, dan sangat bising kedengarannya. Sensitif tidak bisa membuat perut ini busung bung. Hehehehe
Mahasiswa baik itu memang yang sering-sering pergi ke masjid. Walaupun hanya sekedar memburu takjil. Karena sangat jarang sekali melihat mahasiswa yang rajin ke masjid. Padahal mahasiswa yang rajin ke masjid sekarang ini banyak dicari oleh para pendownload mantu. Bukan mereka yang sering pergi ke mall.
Takjil yang menjadi buronan tak pernah kehabisan stok. Walaupun setiap harinya harus terus diburu banyak warga dan mahasiswa. Apa mungkin ini yang dimaksud bulan berkah. Pusat takjil pun tak pernah keberatan dan putus asa untuk terus memproduksinya, walaupun setiap harinya dimintai menu yang berbeda-beda.
Dengan banyaknya takjil di masjid-masjid yang tak pernah kehabisan stok selama bulan Ramadhan penuh, memang memberikan makanan atau takjil kepada orang yang berpuasa merupakan anjuran Nabi Muhammad saw yang berbunyi “Barang siapa yang memberi makan orang yang menjalani ibadah puasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sama sekali”. (HR. Tirmidzi).
Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan sebagai berikut, “Orang yang berpuasa disunahkan berbagi sesuatu dengan orang lain untuk buka puasanya meskipun hanya sebutir kurma atau seteguk air. Kalau dengan makan malam, tentu lebih utama berdasar pada hadits Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ‘Siapa yang membatalkan puasa orang lain, maka ia mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi pahala puasa orang yang bersangkutan.’”
Mungkin hadis di atas ini yang sering dijadikan inspirasi oleh para mahasiswa para pemburu takjil. Sehingga mereka begitu semangat mendatangi masjid, berbondong-bondong dalam mencari keberkahan ramadhan. Semoga tetap menjadi inspirasi dampak pada bulan ramadhan berikutnya.
Wallahu a'lam bisshowab
Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang