Penulis: Moh Syahri
Pertama kali melihat video yang beredar di media sosial ketika Pak Sandi (calon wakil presiden) melangkahi kuburan kiai Bisri Syansuri terus terang saya merasa kasihan dan iba, ingin sekali rasanya menasehati beliau ibarat orang tua dulu menasehati saya waktu kecil yang lari-lari di atas kuburan dan melangkahi kuburan dan seolah-olah gak punya dosa atau salah. Tapi apa daya, saya bukan siapa-siapa, ustadz bukan, kiai bukan, apalagi ulama. Dan tidak pantas rasanya jika harus menceramahi calon wakil presiden.
Karena saya lahir dan dibesarkan di kampung, nyantri juga di kampung, sekolah di kampung, belajar agama juga di kampung. Cuma kuliah saja yang kebetulan di kota, karena di kampung gak ada perguruan tinggi.
Jika melihat biografi saya di atas, saya memang asli orang kampung, pedalaman, yang jauh dari hingar-bingar dan polusi dan tak punya jabatan apa-apa. Jadi tidak pantas sebenarnya menceramahi dan mentausyiahi orang terhormat calon wakil presiden yang melangkahi kuburan itu.
Saya melihat pak Sandi sedang khilaf saja, tidak ada kesengajaan dalam dirinya untuk melakukan itu. Soal dia tau atau tidak tentang adab berziarah itu bukan urusan saya tapi urusan orang PKS yang menjuluki dia sebagai santri dan ulama. Yang jelas sosok santri dan ulama yang saya tau ia sosok yang faqih, paham atas yurisprudensi Islam, tahu halal-haram, baik-buruk, pantas tak pantas, norma dan kesusilaan.
Kembali lagi, saya merasa iba dan kasihan saja melihat Pak Sandi yang sedang khilaf, Apalagi itu makam atau kuburan orang alim, terkenal dan dimuliakan banyak orang lantaran reputasi spiritual dan kesahajaan hidupnya yang asketik (Zuhud). Tidak perlu masuk pada hukum halal-haram yang harus menunjukkan dalil-dalil bertumpuk-tumpuk tapi lebih kepada pantas tak pantasnya, norma dan kesusilaannya.
Tapi saya sangat bersyukur sekali dan senang sekali melalui fenomena ini saya jadi tahu bahwa Pak Sandi ternyata juga suka berziarah ke kuburan seperti golongan kami, semoga bukan karena apa dan siapa. Artinya ini cukup untuk dijadikan amunisi baru untuk menguatkan julukan yang baru saja disandangnya. Karena santri dan ulama itu memang identik dengan SARKUB (sarjana kuburan).
Santri memang senang ke kuburan bahkan sangat akrab dengan kuburan. Oleh karena kecintaan dan Kesenangannya pergi ke kuburan untuk berziarah dan untuk memburu barakah mereka tak segan belajar adab berziarah, mulai dari berangkatnya, niat dan motivasinya, sampai ke bagaimana seharusnya memperlakukan makam yang sudah kita ketahui bersama sejak ribuan tahun lalu telah diajari sebuah warisan moral untuk menghormati dan tidak merusak kehormatan makam.
Yang paling anih dalam fenomena berziarah sebenarnya adalah berziarah itu dapat apa. Percaya atau tidak berziarah ke makam para wali, orang tua, kakek nenek dan makam orang muslim itu semata-mata untuk memburu dan mendapatkan barakah (nilai tambah). Ini memang mistis.
Sulit untuk dipercaya, makanya banyak membidahkan. Tapi sebagai orang yang mengaku santri dan ulama harus percaya karena barakah (nilai tambah) itu senjata paling ampuh yang dimiliki santri. Karena tak semua umat Islam percaya hal mistis ini maka santri lah yang harus mempercayainya. Walaupun kadang santri tak dimasukkan ke golongan umat Islam karena keakrabannya kepada kuburan. Tidak apa-apa, karena santri itulah islam itu sendiri.
Gak ada waktu untuk santri membidah-bidahkan. Karena yang terpenting buat mereka adalah bermanfaat bagi orang dan memberikan kemaslahatan untuk orang banyak.
Kembali ke Pak Sandi yang sedang khilaf, sekali lagi saya katakan khilaf. Sepanjang perlakuan tidak bermoral itu tidak disengaja maka makam tidak akan pernah mengutuk keras hidupnya akan sial. Cuma sangat penting untuk belajar adab-adab berziarah.
Saya yakin dan percaya 100 persen Pak Sandi tidak sedang berkampanye kepada kuburan. Terlepas beliau menggunakan syafaat kuburan sebagai pendongkrak elektabilitasnya saya tidak tahu. Yang tahu tim suksesnya.
Sumber foto: BBC.com