Penulis: Moh. Syahri
Atorcator.Com - Lima tahun saya berada di pesantren, waktu yang tidak sebanding dengan perjuangan guru atau kiai saya selama beliau mondok di pesantrennya. Pesantren yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern, namun tak perlu diragukan kekhidmatan beliau terhadap NU sebagai benteng NKRI yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Atorcator.Com - Lima tahun saya berada di pesantren, waktu yang tidak sebanding dengan perjuangan guru atau kiai saya selama beliau mondok di pesantrennya. Pesantren yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern, namun tak perlu diragukan kekhidmatan beliau terhadap NU sebagai benteng NKRI yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Pesantren
yang tidak memiliki program menghafal Alquran belakangan ini nampaknya tidak
lagi menjadi tumpuan harapan masa depan anak-anak. Maka dari itu, program
menghafal Alquran menjadi program unggulan di setiap pesantren.
Walaupun
pesantren saya tidak memiliki program menghafal Alquran, namun kiai saya sangat
mengapresiasi santri yang bisa hafal Alquran tanpa dibimbing oleh beliau.
Memasuki
pertengahan tahun saya berada di pesantren, tiba-tiba beliau menghimbau
santri-santrinya untuk tidak terjebak pada gaya hidup yang materialistis dan
hedonis, seperti memperjualbelikan ilmu agama dan ayat-ayat suci Alquran
sebagai instrumen untuk meraup keuntungan, harta, dan popularitas. Beliau sangat
khawatir jika hal itu terjadi pada santri-santrinya.
Perhatikan
sabda Rasulullah berikut:
"Bacalah
Alquran dan jangan menggunakannya untuk mencari makan, jangan mencari kekayaan
dengannya, jangan menjauhinya, dan jangan melampaui batas di dalamnya."
Hidup
ini sudah serba menggoda, mulai dari tawaran-tawaran yang sangat menggiurkan
bagi mereka yang pandai melantunkan ayat-ayat suci Alquran bil ghaib dan
pandai membaca kitab kuning, ditambah dengan praktik-praktik yang berpotensi
membelokkan tujuan utama dari belajar dan menghafal Alquran.
Jebakan-jebakan
seperti ini yang kadang membuat kita lupa bahwa Alquran itu sejatinya adalah
untuk selalu ditadabburi sehingga muncul inspirasi, bukan adu prestasi dan adu
gengsi.
Baca juga Sekolah atau Mondok?
Keberhasilan
orang menghafal Alquran bukan dilihat dari seberapa besar prestasi yang mereka
torehkan. Tapi, seberapa besar mereka memuliakan dan mengagungkan Alquran,
sebagai wujud dari penerapan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilainya dan
sebagai sarana untuk mendapatkan syafaat Alquran dan sebagai obat untuk
menyembuhkan hati.
Hafal
Alquran secara harfiah tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang,
karena di situ ada poin dan manfaat penting yang bisa diambil. Apalagi didukung
oleh keberanian dan mental yang kuat untuk menampilkan hafalannya di depan
banyak orang melalui layar kaca. Pujian akan menggelegar di sepanjang sudut
arah nusantara. Praktik-praktik seperti ini akan banyak menyihir jutaan
orang, dan menjadi objek tontonan yang sangat intens.
Baca juga Santri Juga Bisa Main Mobile Legends Kok
Tak
heran bila hafalan Alquran kini mulai menjadi sejajar dengan uang, popularitas
dan sejenisnya sebagai strategi untuk memperoleh piala, penghargaan dan sarana
untuk berkontestasi ria dalam pemenangan. Sebuah upaya untuk menunjukkan
kepandaian dan kecerdasan kepada publik. Sehingga, publik yang hadir itu akan
menilai bahwa hafiz itu memang direstui sebagai manusia pilihan.
Namun,
ketika hafalannya mangkrak, tidak jalan dan lupa di tengah jalan, mereka
menangis tersedu-sedu, seolah-olah mereka gagal, merasa berdosa, dan merasa
banyak mengecewakan orang. Sungguh sangat ironis.
Bahkan,
tak jarang ditemui di berbagai arena panggung, orang yang hafal Alquran
dijadikan sebagai tontonan untuk menegaskan bahwa kehadirannya di panggung
sebagai representasi dan cerminan dari sebuah perjuangan yang tidak biasa.
Perjuangan yang cukup melelahkan dan tak banyak orang yang bisa melakukannya.
Ia mampu membuat penonton bersorak sorai, terkagum-kagum dengan kehebatannya.
Lalu
muncullah sebuah kebanggaan yang tak tertandingi oleh siapa pun dalam dirinya.
Maka, bukan tidak mungkin, atas tindakan artifisial ini, justru yang akan
didapati bukanlah berkah dari syafaat Alquran melainkan laknat berupa kekalahan
yang mendera mereka.
Hafal
Alquran secara maknawiyah tentu menjadi harapan terpenting sepanjang masa,
karena hafal Alquran secara maknawiyah merupakan kebutuhan hidup rohaniah
sepanjang masa. Orang yang hafal Alquran secara maknawiyah tentu akan lebih
mudah memposisikan dirinya untuk tidak terjebak ke dalam praktik-praktik yang
sangat pragmatis.
Hafiz
yang hafal secara maknawiyah dan didukung oleh disiplin keilmuan lain, sangat
mungkin menggunakan mata batin untuk menengarai dengan cerdas bagaimana
seharusnya Alquran ini dibawa menuju peradaban Islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Ia tidak akan mudah terseret ke dalam paham-paham yang dapat merusak ideologi
agama dan bangsa.
Agama,
jika dipahami melalui pesona dunia yang sublim, akan terdistorsi bila salah
memaknai bagian pentingnya. Begitu pula seorang hafiz yang ditarik ke dalam
pusaran tajuk pencarian bakat yang hanya ingin menunjukkan kehebatan dan ingin
merebut piala kemenangan.
Satu
hal yang harus diperhatikan dalam membumikan Alquran, yaitu menyerap
nilai-nilai kandungannya sedini mungkin. Jadilah pembawa Alquran dalam bingkai
penghayatan dan pengamalan, bukan jadi penghafal Alquran yang paripurna dan
berakibat tidak punya daya apa-apa.
Wallahu a'lam
Tulisan ini sudah pernah dimuat di qureta.com
Penulis Moh. Syahri adalah Pimpinan Redaksi dan Founder Atorcator
Penulis Moh. Syahri adalah Pimpinan Redaksi dan Founder Atorcator
Sumber foto: Dream.co.id