Filipinaisasi dalam politik.
Partai politik di Indonesia, menurut kajian ilmuwan politik dari Jerman bernama
Andreas Ufen, yang banyak meneliti perkembangan demokrasi dan politik di ASEAN,
menuliskan bahwa Indonesia banyak mengikuti trend negatif Filipina. Sama-sama
lepas dari kediktatoran, Ferdinand Marcos dan Soeharto, kedua negeri itu
kemudian terjebak dalam liberalisasi politik superfisial yang gaduh tapi minim
partisipasi. Gejala-gejalanya seperti berikut:
Fokus pada cabang dan ranting
bukan pada pohon dan akarnya. Perlu saya ingatkan kembali kepada kita semua,
bahwa pemilu elektoral (memilih) hanya satu bagian saja dari apa yang disebut
sebagai politik. Salah satu bagian dari instrumen demokrasi. Kita terlampau
menghabiskan energi cukup besar membahas dan bertengkar soal cabang dan ranting
politik: tata cara pemilihan, ambang batas pencalonan presiden, ambang batas
parlemen, histeria soal siapa calonnya dan polarisasi yang tajam, ketimbang
membahas akar dan pohonnya yakni bangunan demokrasi dan sistem kepartaian kita.
Partai-partai bersifat
sentralistik. Seringkali partai politik justru adalah rumah yang tidak
demokratis karena dikendalikan oleh kepemimpinan yang tidak cukup mengakar,
oligarkis bahkan otoriter sehingga memicu faksionalisme internal. Pada saat
yang sama, banyaknya partai dan sistem pemilihan yang rumit mengharuskan mereka
membentuk koalisi-koalisi pragmatis yang rapuh karena sebagian besarnya tak
memiliki ideologi yang jelas atau prinsip-prinsip politik yang ingin
diperjuangkan.
Baca juga: Modal Pemimpin Versi Atorcator, Catatan untuk Jokowi dan Prabowo
Partai presidensial belaka.
Indonesia pasca-Soeharto dicirikan oleh munculnya “partai presidensial”, partai
yang dibentuk atau dimobilisasi sekadar untuk memenangkan kandidat presiden.
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada partai baru saja, tapi, itu juga berlaku untuk
partai lama. Partai tidak punya ikatan kuat dengan konstituen dan akar-akar
wilayah tempat partisipasi ditumbuhkan, prinsip-prinsip politik diperjuangkan,
masalah-masalah publik dipecahkan dan kader-kader partai yang mengakar serta
berdedikasi pada urusan publik yang harus dihasilkan. Umumnya partai hanya
semacam panitia penyelenggara atau event organizer dari kepentingan elit partai
yang membutuhkan suara masyarakat.
Partai bertambah tapi miskin
ideologi. Aspirasi membuat jumlah partai politik cukup tinggi namun tak
berbanding lurus dengan tingginya tawaran ideologi atau perjuangan politik yang
ingin diwujudkan. Sebagian besar partai tidak aktif kecuali pada musim
pemilihan. Keanggotaan resmi partai sangat rendah. Organisasinya lemah.
Kesetiaan kepada partai sangat longgar, baik di kalangan pemilih maupun
politisinya. Pada banyak hal, kondisi itu terjadi karena kandidat, bukan partai
serta program-programnya, yang menjadi fokus pemilihan setiap lima tahun
sekali. Partai kehilangan ideologi atau tujuan besar dan mulia dari
pembentukannya.
Kita punya banyak partai namun
cita-cita politik dan platform yang ingin diwujudkannya kalaupun ada, begitu
serupa dan hanya penghias di atas kertas. Dengan mudah bisa kita teliti partai
politik yang berpolitik begitu zig-zag dan inkonsisten terhadap suatu isu
kebijakan: dulu pro kemudian kontra, kemudian pro lagi lebih karena melayani
kepentingan politik.
Menguatnya kartel politik. Salah
satu ciri kepartaian Filipina yang kita warisi adalah munculnya kartel politik.
Meski berbeda-beda partai, para politisi cenderung berkomplot untuk menjaga
status quo. Partai masih banyak didominasi terutama oleh motif keuntungan
material, partai mencari uang dari anggota parlemen, calon bupati, walikota,
maupun pemodal. Di parlemen, partai-partai masih melayani kepentingan anggota
parlemen yang mencari akses mudah kepada sumber uang. Para pemburu rente
merajalela, menggadaikan negara seperti terlatih dan biasa. Seperti Bung Hatta
dulu peringatkan negara bagi mereka hanya tunggangan, kekuasaan dan kekayaan
menjadi tujuan. Money politics, kolusi dan korupsi tidak malah berkurang.
Kini pertanyaannya, mungkinkah
kita merombak dan mengoreksi secara serius sistem kepartaian kita?
Pilihan saya adalah berusaha
mengoreksi sistem dengan cara menolak dan mendelegitimasi sistem politik yang
ada. Termasuk ritual-ritualnya. Jika golput angkanya semakin tinggi, itulah
mekanisme publik memperbaiki sistem politik yang berpenyakit. Golput bisa
sangat berperan penting mewujudkan perubahan yang lebih radikal dari sisi
aspirasi publik.
Satu hal tak kalah penting yang
ingin saya gelisahkan di sini, tempat persemaian lahirnya ilmuwan dan
cendekiawan politik, bahwa kita dapat melihat semakin sedikitnya ilmuwan dan
cendekiawan politik menjalankan peran intelektualnya sementara semakin banyak
dari ilmuwan dan cendekiawan politik terlibat membuat kantor konsultan politik,
pemilik lembaga survei, serta pollster yang pada akhirnya tak terelakkan
kerjanya lebih banyak mencari peluang bisnis dari sistem politik yang ada.
Kita membutuhkan ilmuwan politik
yang tekun meneliti, menulis dan mau bertindak menjadi intelektual publik untuk
mengkritisi dan mempertanyakan bahkan menggugat sistem politik yang ada,
menafsirkannya sesuai ruh zaman, melepaskannya dari status-quo dan oligarki.
Tapi itu semua akan sulit terjadi
jika semakin banyak ilmuwan dan cendekiawan politik meninggalkan tanggung jawab
intelektualnya untuk kemudian menyibukkan diri menjual jasa konsultasi serta
survei politik. Saat itu terjadi, alih-alih mempersoalkan sistem politik,
sebagai penyedia jasa bisnis politik, yang akan terjadi justru mereka
melanggengkan dan menabalkan kemapanan sistem politik yang ada yang justru
harus diperbaiki.
Selengkapnya di sini
Sumber Foto: Rmol.Sumsel
Penulis Hertasning Ichlas Aktivis kemanusian dan Pembela kaum lemah