Mengapa Saya Golput? - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Sabtu, Januari 26, 2019

Mengapa Saya Golput?


Filipinaisasi dalam politik. Partai politik di Indonesia, menurut kajian ilmuwan politik dari Jerman bernama Andreas Ufen, yang banyak meneliti perkembangan demokrasi dan politik di ASEAN, menuliskan bahwa Indonesia banyak mengikuti trend negatif Filipina. Sama-sama lepas dari kediktatoran, Ferdinand Marcos dan Soeharto, kedua negeri itu kemudian terjebak dalam liberalisasi politik superfisial yang gaduh tapi minim partisipasi. Gejala-gejalanya seperti berikut:
Fokus pada cabang dan ranting bukan pada pohon dan akarnya. Perlu saya ingatkan kembali kepada kita semua, bahwa pemilu elektoral (memilih) hanya satu bagian saja dari apa yang disebut sebagai politik. Salah satu bagian dari instrumen demokrasi. Kita terlampau menghabiskan energi cukup besar membahas dan bertengkar soal cabang dan ranting politik: tata cara pemilihan, ambang batas pencalonan presiden, ambang batas parlemen, histeria soal siapa calonnya dan polarisasi yang tajam, ketimbang membahas akar dan pohonnya yakni bangunan demokrasi dan sistem kepartaian kita.
Partai-partai bersifat sentralistik. Seringkali partai politik justru adalah rumah yang tidak demokratis karena dikendalikan oleh kepemimpinan yang tidak cukup mengakar, oligarkis bahkan otoriter sehingga memicu faksionalisme internal. Pada saat yang sama, banyaknya partai dan sistem pemilihan yang rumit mengharuskan mereka membentuk koalisi-koalisi pragmatis yang rapuh karena sebagian besarnya tak memiliki ideologi yang jelas atau prinsip-prinsip politik yang ingin diperjuangkan.
Baca juga: Modal Pemimpin Versi Atorcator, Catatan untuk Jokowi dan Prabowo
Partai presidensial belaka. Indonesia pasca-Soeharto dicirikan oleh munculnya “partai presidensial”, partai yang dibentuk atau dimobilisasi sekadar untuk memenangkan kandidat presiden. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada partai baru saja, tapi, itu juga berlaku untuk partai lama. Partai tidak punya ikatan kuat dengan konstituen dan akar-akar wilayah tempat partisipasi ditumbuhkan, prinsip-prinsip politik diperjuangkan, masalah-masalah publik dipecahkan dan kader-kader partai yang mengakar serta berdedikasi pada urusan publik yang harus dihasilkan. Umumnya partai hanya semacam panitia penyelenggara atau event organizer dari kepentingan elit partai yang membutuhkan suara masyarakat.
Partai bertambah tapi miskin ideologi. Aspirasi membuat jumlah partai politik cukup tinggi namun tak berbanding lurus dengan tingginya tawaran ideologi atau perjuangan politik yang ingin diwujudkan. Sebagian besar partai tidak aktif kecuali pada musim pemilihan. Keanggotaan resmi partai sangat rendah. Organisasinya lemah. Kesetiaan kepada partai sangat longgar, baik di kalangan pemilih maupun politisinya. Pada banyak hal, kondisi itu terjadi karena kandidat, bukan partai serta program-programnya, yang menjadi fokus pemilihan setiap lima tahun sekali. Partai kehilangan ideologi atau tujuan besar dan mulia dari pembentukannya.
Kita punya banyak partai namun cita-cita politik dan platform yang ingin diwujudkannya kalaupun ada, begitu serupa dan hanya penghias di atas kertas. Dengan mudah bisa kita teliti partai politik yang berpolitik begitu zig-zag dan inkonsisten terhadap suatu isu kebijakan: dulu pro kemudian kontra, kemudian pro lagi lebih karena melayani kepentingan politik.
Menguatnya kartel politik. Salah satu ciri kepartaian Filipina yang kita warisi adalah munculnya kartel politik. Meski berbeda-beda partai, para politisi cenderung berkomplot untuk menjaga status quo. Partai masih banyak didominasi terutama oleh motif keuntungan material, partai mencari uang dari anggota parlemen, calon bupati, walikota, maupun pemodal. Di parlemen, partai-partai masih melayani kepentingan anggota parlemen yang mencari akses mudah kepada sumber uang. Para pemburu rente merajalela, menggadaikan negara seperti terlatih dan biasa. Seperti Bung Hatta dulu peringatkan negara bagi mereka hanya tunggangan, kekuasaan dan kekayaan menjadi tujuan. Money politics, kolusi dan korupsi tidak malah berkurang.
Kini pertanyaannya, mungkinkah kita merombak dan mengoreksi secara serius sistem kepartaian kita?
Pilihan saya adalah berusaha mengoreksi sistem dengan cara menolak dan mendelegitimasi sistem politik yang ada. Termasuk ritual-ritualnya. Jika golput angkanya semakin tinggi, itulah mekanisme publik memperbaiki sistem politik yang berpenyakit. Golput bisa sangat berperan penting mewujudkan perubahan yang lebih radikal dari sisi aspirasi publik.
Satu hal tak kalah penting yang ingin saya gelisahkan di sini, tempat persemaian lahirnya ilmuwan dan cendekiawan politik, bahwa kita dapat melihat semakin sedikitnya ilmuwan dan cendekiawan politik menjalankan peran intelektualnya sementara semakin banyak dari ilmuwan dan cendekiawan politik terlibat membuat kantor konsultan politik, pemilik lembaga survei, serta pollster yang pada akhirnya tak terelakkan kerjanya lebih banyak mencari peluang bisnis dari sistem politik yang ada.
Kita membutuhkan ilmuwan politik yang tekun meneliti, menulis dan mau bertindak menjadi intelektual publik untuk mengkritisi dan mempertanyakan bahkan menggugat sistem politik yang ada, menafsirkannya sesuai ruh zaman, melepaskannya dari status-quo dan oligarki.
Tapi itu semua akan sulit terjadi jika semakin banyak ilmuwan dan cendekiawan politik meninggalkan tanggung jawab intelektualnya untuk kemudian menyibukkan diri menjual jasa konsultasi serta survei politik. Saat itu terjadi, alih-alih mempersoalkan sistem politik, sebagai penyedia jasa bisnis politik, yang akan terjadi justru mereka melanggengkan dan menabalkan kemapanan sistem politik yang ada yang justru harus diperbaiki.
Selengkapnya di sini
Sumber Foto: Rmol.Sumsel
Penulis Hertasning Ichlas Aktivis kemanusian dan Pembela kaum lemah