Oleh: Santri Kiri
Atorcator.Com - Entah inspirasi
macam apa yang dimiliki oleh Sugi Nur sehingga merubah haluannya dari penjual pembalut menjadi
seorang da’i yang berdiri di atas mimbar dengan propaganda-propaganda yang
sangat frontal, seolah-olah dialah yang paling benar.
Setidaknya,
jika kita melihat apa yang dia propagandakan serta napak tilas perjalanannya
diatas mimbar, setidaknya terdapat tiga corak yang sering dimunculkan oleh Sugi Nur:
Pertama, mendukung secara nyata kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang jelas-jelas telah dilarang secara
resmi oleh Pemerintah berdasarkan konstitusional.
Kedua, mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah dalam semua tindak-tanduk kebijakan pemerintah hampir tidak pernah luput
dari pedasnya kritik Sugi Nur dan semakin gencar dia lakukan setelah direkrut oleh
oposisi petehana.
Ketiga, menghina, mencaci, dan melecehkan Nahdlatul Ulama’ lebih-lebih pengurus yang saat ini sedang menjabat.
Sayangnya,
corak-corak seperti yang dilakukan oleh Sugi Nur ini hampir kita lihat merata dan pergerakannya pun
secara massif sangat bisa kita rasakan. Walaupun tidak seradikal yang dilakukan
oleh Sugi Nur namun fenomena ini patut kita khawatirkan.
Sebuah Fenomena baru
menjadikan seorang bebas menyebarkan propaganda miskin ajaran islam dan justru
sebaliknya, diatas mimbar agama! Fenomena ini
jika tidak segera diatasi maka akan sangat berbahaya bagi berlangsungnya ajaran islam
yang benar. Bukan maslahah yang diperoleh umat justru masalah. Fenomena ini
harus segera dilawan.
Setidaknya ada
dua model perlawanan yang harus dilakukan untuk mengatasi fenomena ini.
Pertama, perlawanan secara konstitusional. Perlawanan secara hukum yang
dengannya gerakan-gerakan ini akan sedikit tereduksi.
Namun perlawanan ini
tidak lantas harus untuk dilakukan. Artinya tidak perlu untuk membuat
RUU membatasi setiap orang untuk bebas berpendapat dan menyuarakan
pemikirannya di atas mimbar. Karena kita tidak tahu apakah fenomena ini akan
terus ada atau akan punah usai pilpres?
Baca juga: Ini Penjelasan Esensi Doa Pernikahan adalah Kerukunan
Kedua, saya rasa ini hal penting dan sangat dibutuhkan, yaitu sebuah perlawanan dengan
membuat tandingan yang sepadan. Jika fenomena Sugi Nur ini datang dengan membawa
wajah yang kasar untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap salah, maka harus ada
perlawanan dengan wajah yang ramah.
Membangun militansi sangat berpengaruh bagi
berlangsungnya perlawanan. Sebuah militansi yang mampu menyadarkan masyarakat
bahwa jika ada hal yang salah dari apapun itu tidak seharusnya dilawan dengan
bertindak sarkastis hingga terjadi caci maki yang berujung pada perpecahan.
Mengapa yang
kedua penulis anggap sebagai bentuk perlawanan yang paling dibutuhkan?
Pertama
jelas bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan pikirannya secara
bebas. Kedua karena jika hal ini terjadi, maka akan menyebabkan semacam gesekan
diantara keduanya, dengan gesekan itu akan memunculkan sebuah kesadaran untuk selalu bersikap bijak dan berorasi dalam koridor yang baik dan sopan, dan tentu akan menghasilkan persepektif yang akan membawa
masyarakat untuk tidak selalu memandang dunia dengan pandangan hitam dan putih.
Sumber Foto: islami.co