Tanah, Rakyat Kecil dan Air Mata Warga Sampang Madura - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

26 Februari 2019

Tanah, Rakyat Kecil dan Air Mata Warga Sampang Madura



Atorcator.Com - Ratusan pengungsi Sampang yang sudah 6 tahun terusir dari kampungnya jelas tak perlu menjadi subjek pembagian tanah reforma agraria.
Mereka tak perlu digerakkan dan diyakinkan dengan seruan “saya akan bagi-bagikan untuk rakyat kecil!”
Mereka bahkan tak perlu air mata.
Mereka hanya perlu dikembalikan ke kampung halamannya dan difasilitasi untuk hidup rukun kembali yang modal sosialnya begitu kuat. Sesuatu yang gagal dipahami dan dipenuhi pemerintah selama 6 tahun lebih.
Mereka tak perlu pembagian tanah sebab meski mereka hidup di udik, tapi mereka orang-orang bermartabat dan berdaya.
Mereka punya tanah dengan luas keseluruhan sekitar 30-an hektare. Rata-rata setiap mereka punya luas bidang tanah 1/5 hektare. Mereka bertani dan berkebun.
Selama 6 tahun lebih di pengungsian mereka bukan hanya kehilangan hak untuk pulang dan bekerja mencari nafkah namun juga kehilangan tanah.
Kini rumah mereka keropos dimakan waktu dan menjadi ilalang. Tanah dan kebun mereka entah bagaimana nasibnya. Di pengungsian, kehidupan sosial ekonomi mereka hancur berkeping-keping.

Baca juga: Resolusi Konflik

Sejak 2012 kami telah melalui rezim SBY yang mengecewakan dalam penyelesaian kasus Sampang. Dari pintu ke pintu birokrasi, lembaga pemerintah dan negara bahkan militer dan polisi kami datangi mencoba membangun kerja sama menyelesaikan kasus Sampang.
Pada 2014 saya menaruh harapan besar terhadap Presiden baru. Lagi-lagi pintu-pintu kekuasaan itu kami ketuk. Tapi langgam tak juga berubah.
Setiap kementerian dan lembaga yang kami temui menagih jalan keluar penyelesaian, tanpa malu masih mengeluhkan hal yang sama: saling lempar bodi, merasa tak punya cukup kewenangan dan power.
Keadaan tanpa penyelesaian ini begitu mengecewakan dan saya menyaksikan begitu lumpuhnya negara menyelesaikan kasus yang sangat mikro dibanding klaim gagah mereka untuk menjaga NKRI sebagai harga mati dan di saat seorang presiden justru begitu dielu-elulkan melebihi era-era silam. Situasi ini saya lalui hingga 2016.
Tapi saya tak (sudi) menumpahkan air mata di depan mereka. Saya lebih sering menelan pahit dan melupakan kekecewaan-kekecewaan itu dengan berdoa jika penindasan tak bisa dielakkan perbanyaklah mereka yang peduli untuk melawannya.

Andai saja saya bisa mencuri 30 menit waktu dari kekuasaan seorang Presiden, maka saya akan melakukan hal-hal yang benar yaitu ketika konflik komunal terjadi tugas negarawan adalah merukunkan bukan melanggengkan relokasi dan pengusiran.

Sumber Foto: islami.co