Penulis: M Kholid Syeirazi
Atorcator.Com - Kurang ajar dan su'ul adab kalau saya meragukan kapasitas keilmun
Prof. Sirajuddin Syamsuddin (Pak Din). Beliau guru besar politik Islam FISIP
UIN Syarif Hidayatullah, lulusan UCLA, disertasinya tentang politik Islam
berjudul “Religion and politics in Islam: The case of Muhammadiyah in
Indonesia’s New Order.” Dari beliau, saya mengutip saripati dari kerangka
teorinya untuk menjelaskan tiga tesis hubungan agama dan negara: integrated
(kesatuan dīn-dawlah), sekularistik (agama tidak berurusan dengan politik), dan
simbiotik (terpisah tetapi saling dukung). Kalau saya tidak salah baca, Pak Din
mengikuti pandangan simbiotik. Pandangan ini adalah madzhab para juris klasik
abad pertengah, seperti al-Mawardi dan al-Ghazali, yang berarti sama dengan
pandangan NU.
Bertolak dari ini, mustahil Pak Din
tidak bisa membedakan antara Khalīfah dan Khilâfah. Yang kadang membingungkan
bukan paradigma pemikirannya, tetapi preferensi politik dan manuver politiknya.
Manuvernya terlihat ketika merapat ke Jokowi dan menerima jabatan sebagai
Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama dan Peradaban,
tetapi kemudian meninggalkannya. Sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama
Indonesia, Pak Din membela aksi 212, mendukung aksi bela tauhid, dan tidak
tegas terhadap ideologi HTI. Sikap ini jelas berbeda, kalau bisa disebut
bertolak belakang, dengan sikap mantan ketum PP Muhammadiyah pendahulunya, Buya
Syafi’i Ma’arif. Kesenjangan antara pikiran dan manuver politiknya ini membuat
posisi Pak Din selalu ambivalen. Di link berikut ini
(Din Syamsuddin: Khilafah, Ajaran Islam yang Tak Perlu Ditakuti),
terlihat sikapnya yang ambigu, kalau boleh dibilang tidak jelas.
Usai menerima Ustadz Abdus Somad,
Pak Din bilang Khilafah itu bagian dari ajaran Islam, disebut di dalam
al-Qur’an, karena itu tidak perlu ditakuti. Namun, di sisi lain, komentar
berikutnya aneh bin ajaib: Meski Khilâfah ajaran Islam, kata beliau, “kita
tidak terima kalau negara Pancasila mau diganti dengan ajaran tersebut.” Terus
terang saya bingung dengan kekacauan statemen seperti ini: yakin khilafah
ajaran Islam, tetapi menolak untuk diterapkan. Dalam tanggapan terhadap kritik
KH Hamdan Rasyid terkait tausiah-nya yang viral terkait Khalīfah dan Khilâfah, Pak
Din memperjelas posisinya yang ambivalen. Saya kutip klarifikasi tertulisnya
yang saya terima dari GWA. Saya kutip agak panjang, ditandai kurung { }
{Dalam kaitan ini, dari dulu saya
tidak menyetujui konsep khilafah modern ala Rasyid Ridha (al-khilafat
al-‘uzma), atau Al-Nabhani, maupun Abul Kalam Azad. Ketaksetujuan terhadap
konsep khilafah sebagai kekuasaan politik ini (tanpa harus mengecamnya sesat
menyesatkan tapi menghargainya sebagai ijtihad), selain mempertimbangkan Ali
Abd al-Raziq dgn Al-Islam wa Ushul al-Hukm, juga karena pertimbangan realistik
bahwa masyarakat dunia sekarang sudah berada dalam Negara Bangsa (Nation State)
yang menuntut pengamalan al-muwathanah al-musytarakah (common citizenship).
Lebih dari pada itu, di Indonesia tercinta, kita sudah mengukuhkan Negara
Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Abode of Consensus and Abode of
Testimony). Namun, konsep khilafah tidak berarti harus ditiadakan, karena
khilafah memiliki konteks pengertian non politis. Dalam kaitan misi mondial manusia
yakni sebagai khalifatullah fi al-ardh, maka khilafah dlm tafsir kontekstual
dapat berbentuk sistem peradaban yang menampilkan prinsip wasathiyah dan
rahmatan lil 'alamin. Pada hemat saya, sistematika baru ajaran-ajaran
Islam bisa mengambil bentuk: Tauhid >Khilafah >Ishlah yg berdimensi ganda
al-wasathiyah (Jalan Tengah) dan al-‘ashriyyah (kemodernan/kemajuan)}.
Dalam logika awam, sulit sekali
pernyataan ini tidak ditempatkan selain sebagai jurus ‘ngeles.’ Yang kita
tentang keras itu bukan konsep Khilâfah non-politis yaitu mandat manusia
sebagai khalīfatullâh fil ardl. Itu konsep dasar yang ada dalam al-Qur’an.
Tidak mungkin manusia menolak takdirnya sebagai penerima mandat kekhalifahan
karena makhluk lain (langit, bumi, gunung) menolaknya (lihat QS. Al-Ahzâb/33:
72). Bahkan kita tidak menentang konsep khilafah politis dalam pengertian umum,
yaitu kewajiban masyarakat Islam menegakkan kepemimpinan politik (nashbul
imâmah) seperti ditegaskan al-Ghazali, al-Mawardi, dan Qurthubi. Yang kita
tentang—dan juga ditentang secara ambigu oleh Pak Din—adalah konsep Khilâfah
sebagai sistem politik transnasional yang diusung oleh Hizbut Tahrir, ISIS,
dll. Khilafah hendak ditegakkan dengan cara mengadakan imâmah di atas imâmah
yaitu mengganti sistem yang ada, yang telah disepakati, dengan sistem yang
tidak jelas bentuknya. NKRI berdasarkan Pancasila—menurut HTI, ISIS, dan
sejenisnya—bukan aktualisasi yang sah dari nashbul imâmah. Selain khilâfah
dengan konstitusi al-Qur’an dan hadis menurut tafsir mereka adalah thâghūt.
Gagasan ini jelas berbahaya karena
akan mengancam seluruh nation-state di dunia dengan ideologi makar. Karena itu,
ideologi dan gerakan Hizbut Tahrir ditolak di mana-mana, termasuk di
negara-negara Islam. Kesalahan fatal Hizbut Tahrir dan pengasong ‘khilafahisme’
adalah bercita-cita mengadakan imâmah di atas imamah, khilâfah di atas
khilâfah, dan menganggap versi khilafahnya sendiri yang sah dan lainnya sesat.
Mereka tidak mau mengakui keragaman manifestasi imamah/khilâfah dan berambisi
menyeragamkannya di bawah payung tunggal imperium global.
Dari kaca mata ini, Pak Din
memperjelas garis politiknya yang ambivalen. Meyakini Khilâfah ajaran Islam
tetapi menolak diterapkan di Indonesia. Menolak Khilâfah modern ala Rasyid
Ridha dan Al-Nabhani tetapi membela ekspresi politiknya. Di titik ini, saya
kadang bingung Prof. Din ini intelektual atau politisi.
Baca juga