Caknun.com |
Penulis: Lalu
Agus F Wirawan
Cak Nun yang
begitu terhormat...
Kalaulah memang
istana itu teramat hina nya untuk kau datangi, oh alangkah bahagianya rakyat
jelata seperti saya ini, Cak...
Betapa tidak,
32 tahun dibawah pemerintahan seorang diktator yang pernah saya anggap Tuhan
Yang Maha Kuasa karena bisa melakukan apa saja, Gus Dur tiba-tiba membuat
bangsa ini terhenyak! Karena sekonyong-konyong ketika Kyai buta itu menjabat
penguasa negeri, ia melakukan sesuatu yang teramat tak pernah dibayangkan oleh
generasi saya, generasi kelahiran 70an, generasi yang menghabisakan pendidikan
dasar dan menengah di jaman dimana jangankan masuk istana, masuk pendopo
kediaman Gubernur saja kami tak berani mimpi kearah sana!
Gus Dur membuat
"wong kere" seperti saya merasa seperti tak percaya pernah ke istana
negara dengan cuma bermodal KTP dan secarik surat ingin ketemu presiden yang
ternyata juga manusia itu! Tanpa Litsus, Screening, Sertifikat Lulus P4 apalagi
rekomendasi Danrem, Pangdam hingga Panglima ABRI!!!
Istana di jaman
saya remaja, tak kurang suci dan sakral nya dibanding Sidratul Muntaha! Surga
di langit ketujuh! Jangan kata bertemu Presiden saat itu, bertemu Bupati saja
itu sulitnya bukan main! Orang kebanyakan alias rakyat jelata seperti saya
harus melalui beragam proses "Fit & Proper" yang mengukur semua
variable penentu layak tidaknya kami bertemu sang pejabat! Dan dari rangkaian
proses pra-ketemu pejabat itu, yang paling angker adalah proses Screening untuk
menentukan seseorang bebas dari unsur "keturunan PKI"!!! Saya yakin
Cak Nun paham betul sehina dan senista apa jelata di jaman itu!
Saya mengenal 3
orang Indonesia saja yang pernah mempertontonkan pada khalayak tentang
substansi Demokrasi yang salah satu poin dasarnya adalah kesetaraan. Pertama
Gus Dur dengan 'tingkah aneh' nya yang membuka istana bagi siapa saja yang
ingin mengunjunginya!
Jokowi adalah
yang kedua, ia memulainya dari kebiasaan menyapu dan merapikan sendiri ruang
kerjanya di Kantor Walikota Solo, tak henti sampai disitu, hingga kinipun sikap
Jokowi tak lebih merendah dari seorang pelayan rakyat di negeri berisi banyak
orang yang masih menganggap pejabat pemerintah itu adalah raja, bukan pelayan!
Jokowi 'memperkenalkan' kembali apa yang dimaksud oleh Syech Siti Jenar sebagai
"Manunggaling Kawulo Gusti" dengan blusukan-blusukan nya, ia malah
mencabut sedikit demi sedikit pemahaman "Patron-Klien" (Gusti-Kawulo)
itu dari benak dan otak kecil bangsa yang terlalu lama dijajah ini!
Yang ketiga
adalah Ahok, lelaki keturunan Tionghwa itu tak ragu mengakui dirinya sebagai
anjing pelayan rakyat saat ia menduduki jabatan Bupati Belitung Timur maupun
Gubernur DKI. Balai Kota Jakarta yang dulunya cuma bisa didatangi orang penting
itu ia ubah dengan sangat radikal. Ahok meluangkan waktu prakerja nya di pagi
hari untuk melayani para "bos" pemilik asli DKI Jakarta! Rakyat yang
mengadukan pelayanan yang mereka anggap tak berpihak pada orang kecil.
Jadi kalau
alasan Cak Nun mengatakan hina bagi dirinya jika datang ke istana rakyat untuk
bertemu presiden muka jelata berwajah dagang bakso Solo itu karena Jokowi telah
sedemikian jauh "menurunkan derajat" istana negara yang dulunya hanya
boleh didatangi para "Gusti" saja, dan orang-orang istimewa saja,
maka pahamlah saya siapa Cak Nun.
Apakah Cak Nun
menganggap istana itu telah terlalu kotor dan kumuhnya akibat terlalu sering
didatangi orang pinggiran seperti petani miskin, nelayan amis, pemulung gembel
dan beragam jenis manusia yang dulunya tersundalkan oleh keangkuhan aristokrat
penguasa lama negeri ini?
Wallahualam
bissawab, hanya Cak Nun dan Allah SWT yang bisa menjawab.
Namun jika
benar itu alasan Cak Nun merasa hina datang ke istana maka Alhamdulillah dan
terimakasih saya pada pak Jokowi, karena si muka dagang bakso Solo itu telah
sekali lagi menguatkan keyakinan mereka yang dulu pernah merasa jadi "anak
sundel" di negeri ini bahwa istana yang dulu angker itu memang telah
kembali menjadi hak jelata seperti kita!
Sumber: Facebook
Lalu Agus F Wirawa