Kekerasan Dalam Pacaran, Apa yang Salah? - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Selasa, Mei 28, 2019

Kekerasan Dalam Pacaran, Apa yang Salah?

Ilustrasi foto (Atorcator)
 Penulis: Kurdi Fadal

Atorcator.Com - Tidak ada yang salah dengan ‘saling mencintai’. Tak berdosa pula untuk saling menyukai. Karena manusia diciptakan untuk saling mengenal dan menyayangi.

Berpacaran sejatinya adalah bentuk ekspresi rasa cinta antara laki-laki dan perempuan. Mereka saling memberi perhatian dan mewarnai hubungan dengan kemesraan tanpa ‘imbuhan’.

Banyak alasan mengapa berpacaran dilakukan. Sebagian melakukannya hanya sebatas untuk saling mengenal, sebagai rekreasi, sosialisasi diri kepada orang sekitar, atau untuk mendapatkan keintiman dalam kebersamaan. Sebagian yang lain bahkan sampai pada eksperimen seksual.

Semua indah saat bersama.

Namun, saat ego mulai terlihat, kebersamaan mulai terasa membosankan, rasa kesal kerap bermunculan, disitulah kekerasan kerap tak terkendalikan: Kekerasan Dalam Pacaran

Kekerasan dalam pacaran (KDP) atau _dating violence_ (DV) adalah kekerasan yang dilakukan pasangan dalam hubungan pacaran. Mirip dengan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) KDP bisa terjadi dalam bentuk fisik, psikologis dan seksual, bahkan ekonomi.

KDP bisa terjadi pada siapa saja, laki-laki atau perempuan. Namun perempuan lebih sering menjadi korbannya, lebih-lebih dalam bagi usia remaja hingga dewasa awal. 

Younger women, especially those between 15 and 19 years old, were at a higher risk of physical or sexual violence by a partner”, kata seorang psikolog Spanyol. 

Mengapa perempuan paling rentan? Budaya patriarkhi salah satu alasannya. Budaya ‘lawas’ ini masih sangat mengakar kuat di masyarakat dan berefek pada sikap dominasi dan kontrol laki-laki terhadap pasangannya. Stereotip bahwa ‘perempuan adalah makhluk lemah’ sebagai turunan dari budaya tersebut.

KDP juga diperkuat oleh faktor sosial bahwa perempuan sering diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Ini yang paling sering membekas dalam mindset sebagian banyak laki-laki. Ketika sifat itu muncul, perlakuan yang mengarah pada kekerasan sering dijadikan cara untuk menyelesaikan konflik interpersonal dengan pasangan. [begitu kata sebagian psikolog].

Kapan pria menjadi korban? Untuk kekerasan fisik memang jarang ditemukan. Tapi kekerasan psikis kerap menjadi korbannya.

Ketika wanita menjadi pihak yang paling benar, ‘woman is always right’, ‘woman is never wrong’, jika wanita salah berarti si pria sebagai penyebabnya. Dan, pria harus bisa memaklumi semuanya.

Bagaimana dengan kekerasan seksual pacaran?

Lebih-lebih.
Perempuan yang paling rentan menjadi korbannya. Kekerasan ini bisa terjadi pada usia berapapun, namun kaum remaja hingga dewasa awal paling rentan mengalaminya.

Kekerasan seksual dapat terjadi dalam bentuk sikap melecehkan atau merendahkan secara seksual terhadap pasangan, _petting_ (meraba, mencium atau menyentuh bagian sensitif) hingga paksaan hubungan seksual (intercourse). Beberapa kasus bisa terjadi eksploitasi seksual atau trafficking untuk tujuan seksual.

Ini bentuk _direct violence_ (kekerasan langsung) karena pihak korban secara langsung merasa dirugikan.

Namun tidak jarang kekerasan seksual terjadi bersifat tidak langsung (indirect violence). Pasangan pacaran melakukan sebuah tindakan secara suka rela, suka sama suka, sama-sama menghendakinya dan tanpa paksaan.

Seseorang menjadi korban kekerasan seksual tanpa menyadarinya.

_’Petting’_ dan _’sexual experiment’_ (eksperimen seksual) dilakukan pasangan tanpa berpikir dampak buruknya. Saat semuanya telah usai atau hubungan kandas sebelum ke jenjang pernikahan, kesadaran baru muncul bahwa tindakan tersebut merugikan. Penyesalan muncul ketika menyadari dirinya telah menjadi korban rayuan.

Akibatnya, korban mengalami krisis konfidensi, bersikap negatif pada dirinya, apalagi menjalani dampak buruk yang sangat fatal berupa kehamilan, putus sekolah, atau teralienasi secara sosial. Na’uzhubillah!

Memang tidak mudah menyadari “kerugian seksual” pada prilaku suka sama suka dalam hubungan pacaran. Setiap orang bisa memiliki standar yang berbeda dalam memaknai sebuah tindakan berbau seksual, apalagi ketidakpahaman tentang bagaimana menghargai tubuh dan memproteksi kehormatan.

Maka, pacaran yang sehat dan bertanggung jawab menjadi pilihan yang menyelamatkan. Dibutuhkan kesadaran diri, empati dan kemampuan mengatur emosi, agar sebuah hubungan terhindar dari kekerasan yang tak dikehendaki, secara langsung maupun tidak langsung.

Qoute of the Day:
“Jika berpacaran menjadi cara ‘terberat’ untuk menunjukkan kedewasaan, maka prilaku kekerasan harus menjadi kewaspadaan.”

=========

_Walâ taqrabūz Zinã, Jangan berpacaran_@

  • Kurdi Fadal Dosen tetap IAIN Pekalongan dan alumni Ma'had Aly Situbondo