Ilustrasi Foto: (Kiai Dhofir) |
Penulis: Ahmad Husain Fahasbu
Atorcator.Com -
Kiai Maemon Zubair pernah bercerita, bahwa Kiai Abdul Karim,
pendiri dan pengasuh pertama pesantren Lirboyo Kediri, memiliki dua menantu
andalan. Pertama, adalah Kiai Marzuqi Dahlan, kedua, adalah Kiai Mahrus Aly.
Dua menantu
keren inilah yang banyak membantu Kiai Abdul Karim mengurusi pesantren Lirboyo.
Bukan hanya itu, sepeninggal Mbah Manab, nama lain Kiai Abdul Karim, kedua
menantu itu juga yang bahu-membahu meneruskan dan memajukan pesantren Lirboyo.
Keberadaan
menantu bagi seorang kiai yang mengelola pesantren besar cukup fundamental.
Karena ia menjadi “tangan kanan” bagi pengasuh. Beban berat sebagai pemimpin
pesantren, suluh penerang umat dan segenap aktivitas akan sedikit banyak
dibantu oleh kehadiran dan peran seorang menantu. Apalagi menantu tersebut
termasuk kategori “menantu andalan”.
Mungkin itulah
yang dirasakan juga oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin, pengasuh generasi kedua
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Kiai As’ad di tengah kesibukannya sebagai
pemimpin pesantren, tokoh nasional, sesepuh NU dan kiai-nya masyarakat memiliki
menantu andalan. Beliau adalah Kiai Dhofir Munawwar.
Nama Kiai Dhofir Munawwar tidak begitu dikenal publik karena di samping kondisi politik pada waktu itu yang tidak memungkinkan, ia juga tipikal kiai yang menempuh jalan khumul, menyingkir dari popularitas.
Seluruh
waktunya dihabiskan untuk pesantren dan para santri. Khumul adalah salah satu
jalan yang lumrah ditempuh oleh para sufi. Secara sederhana ia dimaknai dengan
keterasingan, menyingkir dari hiruk-pikuk duniawi. Ibnu Athaillah al-Sakandari
(bisa dibaca al-Iskandari atau al-Iskandarani) dalam al-Hikam berkata:
ادفن وجودك في ارض الخمول فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه
“Kuburlah
dirimu dalam tanah yang tak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang
tak ditanam tak berbuah sempurna”
Syaikh Muhammad
Said Ramadan al-Buthi dalam anotasi (syarah) terhadap kitab al-Hikam menyebut
bahwa laku khumul ini adalah salah satu kebiasaan nabi Muhammad Saw. Sebelum ia
menerima wahyu. Pada waktu itu kebiasaan nabi adalah berkontemplasi di Gua
Hira.
Masih menurut
al-Buthi, fungsi laku khumul adalah pertama, untuk mematangkan diri baik secara
intelektual, spritual dan emosional. Kedua, ia sebagi salah satu cara untuk
menyucikan jiwa (tazkiyah al-Nafs).
Nah Kiai Dhofir
menempuh cara ini, ia menepi dari aktivitas selain mengajar para santri. Oleh
mertuanya, Kiai As’ad, ia dipasrahi untuk mengajar kitab dan tidak
diperkenankan mengurusi yang lain. Bahkan ketika perhelatan Munas NU 1983 dan
Muktamar 1984 di Pesantren Sukorejo, Kiai Dhofir oleh Kiai As’ad dilarang hadir
dalam forum Bahstul Masa’il. Kiai As’ad berkata dengan bahasa Madura, “Mon
bedhe Syaikh Dhofir, kebey apa mabede Bahtsul Masai’il?”, terjemahnya, “Kalau
ada Syaikh Dhofir, buat apa masih melaksanakan Bahtsul Masail?”.
Pernyataan Kiai
As’ad di atas menyiratkan bahwa Kiai Dhofir memiliki kapasitas keilmuan yang
luar biasa, sehingga untuk memecahkan sebuah masalah tak perlu repot-repot
mengadakan Bahtsul Masai’l. Cukup ditangani oleh seorang Syaikh Dhofir, kelar
semua persoalan.
Makna lainnya
adalah Kiai As’ad sedang memosisikan agar Kiai Dhofir tetap di jalan khumul,
yaitu tidak mencari popularitas dengan beradu dalil dalam forum Bahtsul Masail.
Kiai As’ad memang
lebih sering menyebut nama menantunya itu dengan sebutan “Syaikh” daripada
“Kiai”. Panggilan Syaikh ini tidak bermakna beliau orang arab, alih-alih orang
arab, selama menempuh pendidikan, beliau pun tak pernah mencarinya di tanah
arab. Panggilan Syaikh lebih kepada “pengakuan” Kiai As’ad kepada keilmuan sang
menantu.
Dan faktanya,
dalam beberapa kesempatan, beliau memang mengakui bahwa secara keilmuan Syaikh
Dhofir lebih alim ketimbang dirinya.
Secara nasab,
Syaikh Dhofir masih kerabat Kiai As’ad sendiri. Karena secara silsilah nasab
keduanya bertemu di Kiai Ruham. Kiai As’ad ibn Kiai Syamsul Arifin ibn Kiai
Ruham.
Sementara Kiai Dhofir ibn Kiai Munawwar ibn Kiai Ruham. Dengan demikian,
berarti Syaikh Dhofir masih sepupu Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Lahir dari
keluarga pesantren, Kiai Dhofir belajar dasar-dasar agama dari orang tuanya. Setelah dirasa cukup, beliau belajar di Pesantren an-Nuqayyah Guluk-guluk
Sumenep di bawah asuhan Kiai Abdullah Sajjad. Di pesantren ini beliau mendalami
ilmu gramatika bahasa arab (nahwu-sarraf). Kitab-kitab nahwu dari marhalah ula
hingga marhala ulya, beliau libas tuntas di pesantren yang didirikan oleh Kiai
Syarqawi ini.
Nahwu-sarraf
menjadi sangat penting dalam membentuk intelektual seseorang. Sebab dengan ilmu
itulah ia bisa terkoneksi dengan khazanah islam yang mayoritas berbahasa arab.
Menjadi repot kiranya ada seorang mengaku ustaz atau kiai masih bermasalah di
ilmu alat dasar, misalnya ia tidak bisa membedakan mashdar dan isim mashdar?
apakah lafadz kafara-yakfuru-kufran ikut wazan tsulasi mujarrad atau tsulasi
mazid?
Maka memahami
nahwu-sarraf adalah langkah pertama dalam karir intelektual seseorang. Syaikh Syarafuddin ibn Yahya, Pengarang Nazam
Imrithi, pernah berkata:
النحو اولى اولا ان يعلما # اذ الكلام دونه لن يفهما
Nahwu adalah
ilmu yang harus pertama kali dipelajari # Karena tanpanya
perkataan tak dapat dipahami
Selepas dari
an-Nuqayyah, Syaikh Dhofir melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke pesantren
tua yang amat kesohor, Pesantren Sidogiri. Di pesantren inilah ia mulai
menyusun, mematangkan dan terus memberi beberapa counter discourse, pandangan
ulang terhadap beberapa ilmu yang dipelajari. Jadilah Syaikh Dhofir seorang
yang alim, mutabahhir, menguasasi beberapa jenis keilmuan seperti fikih, usul
fikih, tafsir, hadis tasawuf dan beberapa ilmu yang lain.
Dengan karir
akademik yang cemerlang inilah, konon Syaikh Dhofir diamanati untuk menjadi
“lurah pondok” Pesantren Sidogiri.
Setelah dari Sidogiri kemudian ayahanda dari Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy
ini melanjutkan pendidikan ke Pesantren Lasem di bawah asuhan Kiai Maksum. Di
Lasem beliau tidak lama, karena di sana tujuannya adalah tabarrukan, yaitu
mondok dalam durasi waktu sebentar yang tujuan utamanya adalah mengarap berkah.
Setelah matang secara keilmuan dan namanya cukup popular, Kiai Dhofir menjadi primadona para kiai. Tidak sedikit dari mereka bertujuan untuk menjadikannya sebagai menantu. Konon, beliau dulu diperebutkan tiga pesantren, salah satunya adalah pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Kiai As’ad
dengan “strategi” ulungnya bisa menarik Syaikh Dhofir muda ke pangkuan
pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, yaitu dengan dengan cara dinikahkan
dengan putri pertamanya, Nyai. Hj. Zainiyah As’ad. Dari pernikahan ini, beliau
dikarunia empat buah hati. yaitu, Nyai. Qurratul Faizah, Nyai. Umi Hani’, Nyai.
Uswatun Hasanah dan Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah saat ini.
Keren bukan ada
santri menjadi rebutan untuk dijadikan menantu kiai. Nah, Situ, wahai jomblo siapa
saja yang sudah mau merebut? Ngimpi! Hahahahaha
Kehadiran
Syaikh Dhofir benar-benar membawa iklim yang segar bagi Pesantren Sukorejo.
Sejak masa Syaikh Dhofir inilah kitab-kitab yang dibaca tidak hanya kitab dasar
seperti al-Jurumiyah, Kailani, Safinah dan lain-lain. Tetapi nama-nama kitab
besar, marhalah ulya seperti Iqna’ ala halli alfadz abi al-Syuja’, Fath
al-Wahhab, Tafsir Jalalain dan nama kitab yang lain.
Tidak berhenti
di situ, model pembacaan dan penerjemahan kitab yang awalnya menggunakan bahasa
Madura berubah menjadi bahasa Indonesia. Dari eksklusif menjadi inklsusif. Dan
sampai saat ini di Pesantren Sukorejo cara menerjemahkan kitab kuning
menggunakan bahasa Indonesia.
Dahulu
pesantren Sukorejo dikenal dengan pesantren perjuangan. Banyak orang menjadikan
Sukorejo sebagai tempat persembunyian. Oleh Belanda Sukorejo disebut dengan
“daerah suci” yang tak boleh diganggu.
Maka Sukorejo
menjadi tempat yang aman untuk bersembunyi. Bukan hanya itu, Sukorejo menjadi
tempat untuk mencari dan melatih kekebalan. Namun, semenjak kedatangan Syaikh
Dhofir inilah lambat laun citra sebagai pesantren keilmuan juga disematkan
kepada Sukorejo.
Tidak hanya
melakukan trobosan dalam aspek keilmuan, Syaikh Dhofir juga melakukan trobosan
administrasi. Sejak masa beliaulah, para guru mendapatkan honorarium. Sebelum
itu, para guru mendapat upah dengan menerima sarung dan makan di dapur
pesantren. Bahkan lembaga-lembaga formal seperti SD, SMP dan SMA konon juga
idenya bersumber dari beliau.
Kepada Syakih
Dhofir saya mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung. Secara tidak
langsung, beliau adalah sanad keilmuan saya, karena seluruh guru saya pernah berguru
dan menyambungkan koneksi keilmuan kepada beliau. Terlebih Syaikh Dhofir
menjadi salah satu “arsitek intelektual” yang memiliki jasa besar dalam
membentuk “bangunan” keilmuan KH. Afifuddin Muhajir, guru besar saya saat ini.
Secara langsung
saya memiliki hubungan dengan Syaikh Dhofir karena sampai saat ini saya membaca
doa (bahasa lainnya amalan) yang salah satu tawassulnya adalah beliau. Konon,
manfaat dari doa ini adalah bisa menambah kecerdasan dan menguatkan hafalan.
Meskipun saya
akui saya tidak cerdas dan bahkan masih tetap bodoh, tetapi berkah dari doa
itu, saya tidak ikut-ikutan latah membela capres apalagi menjadi pendukung
fanatiknya dan menyangka bahwa mendukung capres itu adalah bagian dari membela
agama. Hahahaahahahahahaha
Aspek lain yang
membuat Syaikh Dhofir begitu melekat dalam benak saya adalah soal satu
pengetahuan yang saya dapat dari beliau. Keterangan ini tidak saya jumpai dalam
berbagai literatur keislaman. Keterangan yang dimaksud adalah bahwa apabila
dalam karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani ditemukan redaksi “wazadahu
al-Syarqawi” “dan menambah siapa al-Syarqawi” maka dimaksud adalah Kiai
Syarqawi Guluk-guluk Sumenep bukan Syaikh Ahmad Ibn Ibrahim Ibn Abdullah
al-Syarqawi, ulama asal mesir yang umumnya dikutip dalam kitab-kitab fikih abad
pertengahan. Ilmu ini saya terima dari Dr. Abdul Moqsith Ghazali, beliau dari
abahnya, KH. Ghazali Ahmadi, beliau dari Syaikh Dhofir Munawwar.
Setelah
diteliti kisahnyanya begini; Syaikh Nawawi al-Bantani adalah ulama asli
Indonesia yang ada di Mekkah, ia tumbuh dan belajar di sana sampai menjadi
ulama terkenal yang memiliki banyak karya. Saking tingginya nilai keulamaan
ulama asal Banten ini ia dianugerahi gelar sayyid ulama al-Hijaz.
Nah, semasa di
Mekkah Syaikh Nawawi ini satu angkatan dengan Kiai Syarqawi. Ketika Syaikh
Nawawi menulis kitab dan kemudian dibaca oleh sahabatnya, Kiai Syarqawi, beliau
biasanya memberi catatan tambahan dalam karya Syaikh Nawawi itu. Maka oleh
Syaikh Nawawi diberi keterangan, “Wazadahu al-Syarqawi, dan menambah siapa
sahabat saya, Kiai Syarqawi.
Sekadar
selingan, di samping nama Syaikh Nawawi dalam literatur mazhab Syafi’iyah ada
juga yang bernama Imam al-Nawawi. Beliau adalah ulama kenamaan mazhab
Syafi’iyah yang berasal dari Damaskus Suriah (Syam), penulis beberapa kitab,
seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Minhaj al-Thalibin, Raudhah al-Thalibin,
Riyadl al-Shalihin, Hadis Arbain dan lain sebagainya. Jadi ada Nawawi dalam
negeri, ada Nawawi luar negeri. Yang dimaksud
pertama adalah Syaikh Nawawi al-Bantani sedangkan nama kedua adalah Imam
al-Nawawi al-Damasyqi, keduanya berbeda.
Syaikh Dhofir
Munawar mengabdikan seluruh jiwa dan raganya kepada ilmu dan peradaban. Denyut
nadinya adalah pendidikan dan keilmuan. Setiap hari kebiasaanya adalah membacakan
kitab di hadapan para santri. Ketika bulan ramadan, beliau istikamah mengisi
khataman Tafsir Jalalain. Dari jam 08. 00 WIB hingga waktu asar.
Pada dini hari
Ramadan tanggal 10 tahun 1405 atas 30 Mei 1985, setelah satu tahun Muktamar NU
ke 27, Syaikh Dhofir menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan seluruh
santri, alumni dan seluruh pecintanya. Semua orang merasakan kehilangan dengan
sosok yang jasanya begitu besar utamanya bidang keilmuan di Pesantren Sukorejo
ini, tak terkecuali Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Konon beliau
meneteskan air mata dan mengatakan bahwa separuh ilmunya pergi bersamaan dengan
kepergian Syaikh Dhofir. Syaikh Dhofir
Wafat dan pergi namun ide-ide dan pengetahuan yang ia salurkan kepada para
santri terus direproduksi kembali.
Hari ini
bertepatan dengan 10 Ramadan adalah haul beliau. Mari kirimkan al-Fatihah.
Ahmad Husain
Fahasbu Santri PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Santri yang Bukan Pendukung Jokowi Apalagi Prabowo.