November 2018 - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Kamis, November 29, 2018

Kenapa Lebih Mudah Jadi Muslim Daripada Jadi Manusia

Kenapa Lebih Mudah Jadi Muslim Daripada Jadi Manusia


Penulis: Moh Syahri

Seperti yang sudah kita rasakan bersama, Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya Islam. Bahkan dikatakan sebagai negara penduduk muslim terbesar di dunia.

Satu sisi saya sangat bangga sebagai orang Islam. Di sisi lain saya sedih ketika ada sebagian orang yang mengaku muslim tapi kelakuannya tidak islami.

Kenapa sebagian orang masih sangat sulit untuk jadi manusia, sedangkan untuk jadi muslim begitu gampang sekali. Mungkin karena mereka kebanyakan tidak sadar kalau sebelum jadi muslim mereka terlebih dahulu jadi manusia. Tidak sadar bahwa mereka juga makhluk tuhan (Allah) yang satu.

Agama membawa berkat. Bisa menjadi 'bencana' di tengah keberagaman yang sedemikian kompleks budaya dan adat istiadatnya. Dari 'dulu sampai detik ini, saling klaim paling benar, paling Joss masih tetap berlangsung. Perdebatan 'eksistensi Tuhan' masih juga belum berakhir. Identitas kesalehan dan keimanan seseorang masih dilihat dari seberapa gagahkah bersorban, berjubah, berkopiah, dakwahnya yang selalu diliput media, tak penting buat mereka konten dakwahnya berisi provokasi, tak penting buat mereka sanad keilmuannya yang kebanyakan tak jelas.

Maka tidak heran, jika sebagian orang Islam belum bisa memperlakukan manusia dengan baik. Agama Islam adalah agama kemanusiaan, agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Maka sudah barang tentu, kita sebagai manusia bisa menyeimbangkan eksistensi penghambaan kita kepada Allah dan menyayangi manusia sebagai makhluk Allah.

Islam dengan seluruh aturan-aturan hukum dan pesan-pesan moralnya senantiasa menjaga fitrah manusia, kemuliaan, kehormatan, kebebasan dan hak-haknya. Karena Islam sangat menjaga kehormatan manusia, maka secara otomatis Islam juga menjaga darahnya, kehormatan dirinya, kehormatan hidupnya. Manusia hidup di tengah kesucian, dilarang membunuh manusia kecuali dengan alasan yang benar.

Apa yang dikatakan Imam Nawawi al-Banteni (al-Jawi) di dalam kita Nashaihul Ibad sangatlah penting untuk kita renungkan di era yang penuh kebencian ini bahwa beliau berkata "semua tuntutan Tuhan, baik perintah maupun larangan, tujuan utamanya ada dua. Pertama untuk mengagungkan Tuhan yang Esa. Kedua untuk menumbuhkan belas kasih di antara sesama makhluk.

Islam itu bukan agama yang mengajarkan kita untuk bersikap apatis terhadap lingkungan sekitar. Bukan agama yang mengajarkan klaim kebenaran tunggal dan penghakiman.

Sebagai orang Islam yang memiliki konsep agama yang selalu relevan dengan perkembangan zaman, sudah seharusnya kita menampilkan wajah Islam yang ramah, tidak marahan, tidak saling kafir-mengkafirkan, tidak saling menghina, dan memfitnah. Maka disinilah eksistensi Islam akan laku akan menjadi pelita bagi seluruh makhluk.

Sumber foto: alif.id

Read More

Sabtu, November 24, 2018

Speaker Toa Maulid Nabi Warga Madura

Speaker Toa Maulid Nabi Warga Madura


Penulis: Moh Syahri

Atorcator.Com - Orang Madura itu memang suka membunyikan toa atau speaker atau istilah lain corongan. Sekalipun tidak ada hajatan dan kepentingan apa-apa. Beda halnya ketika memang ada hajatan seperti mantenan, pengajian, maulidan, dan acara-acara lain, toa atau corongan itu seolah-olah bagian dari rukun acara tersebut.

Saya jadi ingat masa-masa kelas 3 MI/SD dulu, waktu itu kakak saya suka main speaker toa atau corongan, dia tidak hanya suka main dan membunyikan toa itu, tapi dia juga pintar memperbaiki kerusakan-kerusakan dari toa, termasuk menyetel suara toa, menyetel microfon, dan juga suka memperbaiki radio-radio tetangga yang rusak. Intinya kakak saya dulu itu juga tukang servis elektronik.

Kalau pagi sebelum berangkat sekolah, kakak saya biasanya selalu nyetel pengajian lewat toa itu. Biasanya pengajian yang diputar pengajiannya KH. Musyfik, karay Ganding Sumenep. Keras? Ya jelas, karena rata-rata toa yang dibunyikan di Madura itu semuanya keras-keras. Di Madura, membunyikan toa (sound system) dengan lagu-lagu, musik islami, dan ceramah adalah sesuatu yang wajar dan biasa, termasuk di daerah saya, desa Rajun, Kec. Pasong-songan Sumenep.

Ketika ada acara maulid nabi Muhammad di Madura disitulah toa-toa speaker alias corongan bersautan. Di Madura ketika acara maulid, hampir tiap hari tanpa jeda suara-suara toa bertarung di udara, dan hampir tiap rumah suara toa itu berbunyi karena perayaan maulid nabi.

Warga Madura sangat antusias sekali dalam merayakan maulid nabi, bayangkan, saya hampir tiap hari tiap malam menghadiri undangan maulid nabi. Bahkan dalam satu hari ada yang sampai tiga undangan yang saya datangi. Itu sudah cukup untuk sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Karena itu salah satu berkah yang nampak ketika perayaan Maulid Nabi di Madura.

Segenap para undangan dijamin tidak akan kelaparan. Makanan yang disuguhkan tidak jauh beda dengan restoran-restoran. Ditambah lagi, segenap para undangan itu masing-masing pulang dengan membawa makanan atau berkat sehabis acara maulid atau sehabis kenduri.

Salah satu tanda bermaulidnya warga Madura lebih khusus di daerah tempat saya lahir adalah bershalawat dengan memakai suara toa atau corongan, meskipun hanya sekadar sound system kecil-kecilan atau mengumpulkan sound-sound tetangga untuk disatukan dalam satu bunyi. Disamping memang menggunakan toa itu bagian dari kebiasaan warga Madura, satu sisi lain pemakaian toa pada saat perayaan Maulid Nabi adalah sesuatu yang bisa menarik kegembiraan dan kebahagiaan.

Biasanya warga Madura memang kurang begitu semangat untuk hadir jika dalam acara besar seperti maulid nabi itu tidak mengunakan toa alias corongan apalagi undangannya banyak. Bukan karena mereka rewel, tapi bagi mereka toa adalah sarana untuk mencapai tingkat kekhusuan, mencegah rasa ngantuk untuk tetap bershalawat kepada Kanjeng Nabi. Dan yang pasti mereka lebih senang, bahagia dan nikmat ketika sudah sesi makan bersama diiringi dengan musik-musik yang islami.

Dan ini saya rasakan sendiri, begitu juga ketika melihat warga-warga yang lain. Satu kejadian yang pernah saya alami ketika sebuah acara besar seperti maulid nabi dan tahlilan orang meninggal dunia tidak menggunakan pengeras suara, karena saking membludaknya jumlah undangan dan orang yang bertahlil maka pemimpin tahlil tersebut harus mengeraskan suaranya dengan sekeras mungkin.

Di awal-awal pembukaan tahlil pemimpin tahlil begitu semangat sekali dengan suara yang menggebu-gebu, akan tetapi ketika sudah di pertengahan acara suara pemimpin tahlil mulai lirih dan tidak bisa didengar oleh mereka yang di belakang. Akhirnya bacaan mereka yang dibelakang mulai tidak mengikuti pimpinannya yang di depan dan membuat mereka berpecah dari bacaan pimpinan itu. Maka hemat saya pengeras suara atau toa, corongan itu sangat penting, bahkan bisa dikatakan juga bagian dari alat atau sarana untuk bersatu.

Di acara hajatan seperti Maulid Nabi Muhammad pemakaian toa atau pengeras suara tidak pernah jadi masalah bagi warga Madura, apalagi sampai dibidahkan. Setahu saya belum pernah mendengar orang Madura sendiri yang berani membidahkan perayaan Maulid Nabi. Jangankan membidahkan Maulidnya yang membidahkan toa-nya saja tidak berani.

Masalah toa atau corongan yang sering disandingkan dengan Maulid Nabi Muhammad dan juga sering dibidahkan oleh sebagian orang tak pernah digubris (cuek saja) oleh warga Madura. Terbukti ketika para kiai Madura berceramah dalam perayaan Maulid Nabi yang menggunakan toa tak pernah berbicara soal bidahnya perayaan maulid nabi apalagi toa-nya, kiai Madura justru lebih fokus kepada penyampaian sikap keteladanan Rasulullah Saw sebagai manusia yang sedang dirayakan kelahirannya.

Dan ini menunjukkan bahwa menghayati sikap dan keteladanan Rasulullah jauh lebih penting bagi warga Madura daripada membahas kebidahan maulid yang sering diperdebatkan oleh mereka yang kurang kerjaan.

Sumber foto: Madura expose
Read More

Selasa, November 13, 2018

Ketika Santri Nonton Film A Man Called Ahok di Tengah-tengah Penonton Tionghoa

Ketika Santri Nonton Film A Man Called Ahok di Tengah-tengah Penonton Tionghoa


Penulis: Moh. Syahri

Nonton film sebenarnya bukan hobi saya. Dari dulu saya memang tidak suka nonton film, hemat saya semua film itu fiksi walaupun ada sebagian yang diambil dari kisah nyata. Tapi buat saya tidak penting untuk bahas ini, jika saya harus masuk pada pembahasan fiksi dan non fiksi bisa-bisa saya diseneni pak Rocky Gerung. Intinya ketika saya mau dan tertarik untuk nonton film ya tinggal berangkat saja, tak peduli harga tiketnya berapa, tokohnya siapa, sutradaranya siapa yang terpenting duitnya ada.

Hari Sabtu kemarin, hari weekend saya disempatkan nonton film A Man Called Ahok. Sampai di Malang City point loket tiket film A Man Called Ahok sudah dipenuhi oleh orang-orang Tionghoa, ya itu orang yang biasa kalian sebut kafir-kafir. Saya dipaksa untuk mengantri di deretan para Tionghoa itu. Saya sempat berpikir "ini saya gak salah tempat ta?

Seperti biasa saya mencoba bersabar di tengah kerumunan dan deretan antrian panjang mereka yang berwajah-wajah oval, ya itu yang kalian biasanya sebut mata sipit. Mungkin wajah saya yang terlihat aneh waktu itu, antara wajah-wajah Afrika dan wajah-wajah Asia tenggara, karena wajah-wajah Arab sangat tidak mirip sekali.

Tak lama kemudian, sudah sampai pada giliran saya untuk membeli tiket. Hemat saya situasi yang paling sulit selain memilih calon istri, calon presiden, calon gubernur, calon bupati sampai pada calon kades adalah memilih tempat duduk di bioskop (maaf ini khusus buat yang jomblo).

Cuma kita kan harus tau diri, ditengah antrian sebanyak itu seharusnya kita tak perlu bingung soal tempat duduk karena bioskop bukan seperti tontonan orkestra atau dangdut kampungan yang harus berdesak-desakan untuk melihat biduan penyanyinya. Tempat duduk yang sudah bertanda merah (sould out) menandakan bahwa di jam ini sudah banyak yang boking beda halnya dengan yang masih biru (available). Kalau tidak salah mungkin tinggal 2 atau 3 kursi saja yang itu jaraknya antara atas dan bawah. Mau pilih yang mana saja tetap saja nanti saya pasti duduk dengan mereka-mereka.

Dan film ini pasti diterima di seluruh pelosok Nusantara, buktinya, hampir seluruh kursi bioskop di Indonesia full untuk nonton film A Man Called Ahok. Saya sudah menyangka film A Man Called Ahok pasti banyak digemari oleh masyarakat luas, luas pemikirannya, luas duitnya, luas pengalamannya dan luas sifat kemanusiaannya. Santri adalah termasuk dari salah satu bagian dari masyarakat yang luas pemikirannya, sekalipun dia tidak luas duitnya tapi dia luas keberaniannya untuk ngutang ke temannya.

Ternyata betul film ini sama sekali tidak ada maksud untuk memasukkan counter issue tentang penistaan agama. Dan rasanya memang tidak perlu ada counter issue tentang penistaan agama. Buat apa juga, toh semuanya sudah paham arah politik mereka yang memusuhi pak Ahok.

Sepanjang yang saya lihat mulai awal sampai akhir film ini sama sekali tidak membahas seputar agama, apalagi kampanye politik. Film ini murni persembahan dari sutradara yang kagum dengan prestasi dan perjuangan pak Ahok kepada Indonesia.

Tidak penting buat saya siapa pak Ahok, yang terpenting apa yang sudah dibuat pak Ahok untuk kemajuan Indonesia. Tidak penting buat saya agama pak Ahok yang terpenting sifat dan karakter dia dalam hal kemanusiaan. Saya ingat, waktu kecilnya pak Ahok yang diam-diam membantu tetangganya yang mau melahirkan sampai rela memecahkan tabungannya atau celengannya.

Pelajaran yang paling menyentuh buat saya ketika Ahok kecil bertanya kepada ayahnya, " Pa sebenarnya kita ini orang Indonesia apa orang China?", Apa jawaban bapaknya, " jangan pernah berhenti mencintai Negeri ini, Hok".

Banyak hal yang dapat saya jadikan pelajaran dari kisah hidup pak Ahok mulai dari kecil hingga dewasa dan menjabat sebagai Bupati Belitung. Pak Ahok adalah sosok yang semangat belajarnya luar biasa, dia ingin sekali belajar di Jakarta dan ingin melihat Monas.

Tercapailah cita-cita dia belajar di ibu kota negara. Namun, oleh sang bapak justru dia harus tetap kembali ke kampung halamannya sekalipun hidupnya sudah makmur di luar sana karena pembangunan desa sendiri itu jauh lebih penting, dan masih banyak permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan di kampungnya sendiri.

Film ini secara keseluruhan sangat menginspirasi, dan sangat berkesan. Sangat bagus jika harus ditonton oleh santri mahasiswa, dimana bioskop pada film ini bisa dijadikan majelis kedua mereka untuk mengaji dan menumbuhkan semangat persatuan dan kemanusiaan.

Sumber foto: redaksi Indonesia
Read More

Sabtu, November 10, 2018

Kekhilafan Pak Sandi Melangkahi Kuburan

Kekhilafan Pak Sandi Melangkahi Kuburan


Penulis: Moh Syahri

Pertama kali melihat video yang beredar di media sosial ketika Pak Sandi (calon wakil presiden) melangkahi kuburan kiai Bisri Syansuri terus terang saya merasa kasihan dan iba, ingin sekali rasanya menasehati beliau ibarat orang tua dulu menasehati saya waktu kecil yang lari-lari di atas kuburan dan melangkahi kuburan dan seolah-olah gak punya dosa atau salah. Tapi apa daya, saya bukan siapa-siapa, ustadz bukan, kiai bukan, apalagi ulama. Dan tidak pantas rasanya jika harus menceramahi calon wakil presiden.

Karena saya lahir dan dibesarkan di kampung, nyantri juga di kampung, sekolah di kampung, belajar agama juga di kampung. Cuma kuliah saja yang kebetulan di kota, karena di kampung gak ada perguruan tinggi.

Jika melihat biografi saya di atas, saya memang asli orang kampung, pedalaman, yang jauh dari hingar-bingar dan polusi dan tak punya jabatan apa-apa. Jadi tidak pantas sebenarnya menceramahi dan mentausyiahi orang terhormat calon wakil presiden yang melangkahi kuburan itu.

Saya melihat pak Sandi sedang khilaf saja, tidak ada kesengajaan dalam dirinya untuk melakukan itu. Soal dia tau atau tidak tentang adab berziarah itu bukan urusan saya tapi urusan orang PKS yang menjuluki dia sebagai santri dan ulama. Yang jelas sosok santri dan ulama yang saya tau ia sosok yang  faqih, paham atas yurisprudensi Islam, tahu halal-haram, baik-buruk, pantas tak pantas, norma dan kesusilaan.

Kembali lagi, saya merasa iba dan kasihan saja melihat Pak Sandi yang sedang khilaf, Apalagi itu makam atau kuburan orang alim, terkenal dan dimuliakan banyak orang lantaran reputasi spiritual dan kesahajaan hidupnya yang asketik (Zuhud). Tidak perlu masuk pada hukum halal-haram yang harus menunjukkan dalil-dalil bertumpuk-tumpuk tapi lebih kepada pantas tak pantasnya, norma dan kesusilaannya.

Tapi saya sangat bersyukur sekali dan senang sekali melalui fenomena ini saya jadi tahu bahwa Pak Sandi ternyata juga suka berziarah ke kuburan seperti golongan kami, semoga bukan karena apa dan siapa. Artinya ini cukup untuk dijadikan amunisi baru untuk menguatkan julukan yang baru saja disandangnya. Karena santri dan ulama itu memang identik dengan SARKUB (sarjana kuburan).

Santri memang senang ke kuburan bahkan sangat akrab dengan kuburan. Oleh karena kecintaan dan Kesenangannya pergi ke kuburan untuk berziarah dan untuk memburu barakah mereka tak segan belajar adab berziarah, mulai dari berangkatnya, niat dan motivasinya, sampai ke bagaimana seharusnya memperlakukan makam yang sudah kita ketahui bersama sejak ribuan tahun lalu telah diajari sebuah warisan moral untuk menghormati dan tidak merusak kehormatan makam.

Yang paling anih dalam fenomena berziarah sebenarnya adalah berziarah itu dapat apa. Percaya atau tidak berziarah ke makam para wali, orang tua, kakek nenek dan makam orang muslim itu semata-mata untuk memburu dan mendapatkan barakah (nilai tambah). Ini memang mistis.

Sulit untuk dipercaya, makanya banyak membidahkan. Tapi sebagai orang yang mengaku santri dan ulama harus percaya karena barakah (nilai tambah) itu senjata paling ampuh yang dimiliki santri. Karena tak semua umat Islam percaya hal mistis ini maka santri lah yang harus mempercayainya. Walaupun kadang santri tak dimasukkan ke golongan umat Islam karena keakrabannya kepada kuburan. Tidak apa-apa, karena santri itulah islam itu sendiri.

Gak ada waktu untuk santri membidah-bidahkan. Karena yang terpenting buat mereka adalah bermanfaat bagi orang dan memberikan kemaslahatan untuk orang banyak.

Kembali ke Pak Sandi yang sedang khilaf, sekali lagi saya katakan khilaf. Sepanjang perlakuan tidak bermoral itu tidak disengaja maka makam tidak akan pernah mengutuk keras hidupnya akan sial. Cuma sangat penting untuk belajar adab-adab berziarah.

Saya yakin dan percaya 100 persen Pak Sandi tidak sedang berkampanye kepada kuburan. Terlepas beliau menggunakan syafaat kuburan sebagai pendongkrak elektabilitasnya saya tidak tahu. Yang tahu tim suksesnya.

Sumber foto: BBC.com
Read More

Senin, November 05, 2018

Benarkah Pernikahan Menjadi Bumerang Bagi Pendidikan

Benarkah Pernikahan Menjadi Bumerang Bagi Pendidikan


Penulis: Moh Syahri

Tak jarang saya temukan peristiwa pernikahan yang dilakukan seseorang beralasan hanya untuk mengantisipasi terjadinya perzinahan dan hal-hal yang haram yang mengakibatkan masa depan yang buram. Sehingga jalan satu-satunya yaitu menikahkan anak secepat/sedini mungkin. Zina adalah perbuatan haram dan mudarat. Akan tetapi tidak seharusnya dicegah dengan menikahkan anak yang cenderung juga banyak memberikan kemudaratan. Karena masih banyak cara lain untuk menghindari zina, seperti Alquran memerintahkan supaya menjaga perilaku dan pandangan, atau seperti kata Nabi dengan berpuasa atau dengan melakukan berbagai aktivitas positif yang memalingkan dan atau mengurangi hawa nafsu seseorang.

Dan yang paling banyak menjadikan orang tambah pesimis adalah ketika sudah diceramahi dengan kata yang sangat memabukkan ini “Ngapain sekolah tinggi-tinggi toh pada akhirnya juga jadi petani, jadi ibu rumah tangga” saya menganggap perkataan ini sebatas kata yang keluar dari orang yang tidak sadar (tapi tidak sampai gila) dan boleh jadi, mereka malu untuk mengakui kalau kecintaan kepada ilmu itu biasa-biasa saja.

Maka kecintaan kepada ilmu seharusnya lebih dimanja ketimbang memanjakan pasangan yang belum jelas qada dan qadarnya, seperti mengoleksi buku bacaan, ikut pengajian keagamaan, sering-sering sowan kepada guru, kiai dan mubaligh untuk menambah wawasan keilmuan. Cara-cara seperti ini yang nantinya akan menjaga kewarasan berpikir, sehingga tak sempat memikirakan nikah untuk sementara waktu.

Seiring dengan asumsi-asumsi yang kebenarannya belum teruji secara komprehensif. Dengan tanpa sadar pendididikan tak lagi menjadi perhatian khusus. Menikah di usia yang cukup rentan lebih menjadi prioritas daripada bersekolah setinggi mungkin, ini sesungguhnya kurang benar.

Sementara hukum asal menikah dalam literature ilmu fiqh adalah mubah, sebagaimana dikatakan di dalam beberapa kitab seperti kitab Qurratul ‘Uyun dan kitab-kitab yang lain. Menikah memang banyak berkaitan dengan syahwat, keluarga dan sosial. Pertimbangan matang dalam menjalani rumah tangga atau menjalani kehidupan yang kian banyak disibukkan dengan urusan domistik tentu harus diniatkan dan harus menjadi komitmen untuk mendatangkan kebaikan pada diri dan keluarga.

Walaupun demikian, Akan tetapi yang terjadi dilapangan justru sebaliknya, sehingga hak-hak untuk mendapatkan pendidikan banyak tercederai. Sebagai anak yang secara usia mungkin sudah cukup untuk menikah namun dalam kehidupan yang keras dan kian mencekam ini banyak yang masih rentan dan goyah. akhirnya mereka memutuskan sesuatu yang memang halal tapi sangat dibenci tuhan yaitu cerai atau talak. Dan ini banyak terjadi di pedesaan yang jauh dari peradaban keilmuan. Artinya kesiapan dhohir dan bathin harus benar-benar terukur dan seimbang dan harus menjadi faktor pendukung dalam menjalani hakikat romantika itu (rumah tangga).

Sebagai seorang yang yakin dengan ajaran islam bahwa pendidikan itu wajib, maka seyogyanya seluruh elemen dan komponen masyarakat, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun negara harus benar-benar mengupayakan dalam mengoptimalkan pendidikan yang layak bagi anak-anak di usia mereka yang masih strategis dan fresh itu. Dan sebagian ini banyak terjadi pada kaum perempuan. Karena secara sosial, perempuan memang cederung banyak mengalami kerentanan baik secara fisik maupun psikologis. Maka salah satu solusi untuk mengantisipasi hal seperti itu adalah pendidikan yang maksimal.

Perempuan harus ditempatkan pada porsi yang sama dengan laki-laki dalam urusan pendidikan. Tidak ada diskriminasi dalam hal pendidikan semua memiliki tempat yang sama dan kesempatan yang sama. Karena perempuan akan menjadi ibu yang akan mendidik dan merawat anak sampai membesarkan mereka. Jika perempuan pintar, kuat dan tangguh maka keluarga pun akan menjadi kelaurga yang kuat dan tangguh pula.

Label-label jomblo yang banyak bermunculan di permukaan tidak perlu kita tanggapai dengan serius apalagi kontennya hanya sekedar memprovokasi saja. Menjomblo dalam satu sisi termasuk sebuah keniscayaan. 

Ulama tidak melarang menjomblo bahkan banyak ulama-ulama yang menjomblo sampai akhir hayatnya, hal seperti ini bukan berarti harus diikuti dan beliau juga tidak mengajak orang lain agar sama dengan beliau. Beliau bukan berarti tidak paham dengan hukum-hukum menikah, hanya saja beliau lebih mengikuti prinsip yang orientasinya pada bashirah (pandangan hati nurani berdasarkan ilmu spiritual), yang hal itu banyak diantara kita belum sampai pada maqomya (tingkatannya). Artinya predikat jomblo tidak semestinya dicap sebagai orang yang paling buruk.
Ibn al-Jawzi
وَأختار للمبتديء في طلب العلم أن يدافع النكاح ما أمكن، فإن أحمد ين حنبل لم يتزوج حتّى تمت له أربعون سنة، وهذا لأجل جمع الهم – أي للعلم -.

“Saya memilih (pendapat) bagi pelajar tingkat awal untuk menghalau keinginannya untuk menikah sebisa mungkin. Sesungguhnya Imam Ahmad bin Hanbal tidak menikah sampai berusia empat puluh tahun. Itu semua demi mengumpulkan ilmu.”
sumber foto:cewekbanget.grid.id
Read More

Minggu, November 04, 2018

Penghafal Alquran Bisa Jadi Teroris Karena Tak Paham Pancasila

Penghafal Alquran Bisa Jadi Teroris Karena Tak Paham Pancasila


Penulis: Moh Syahri

Atorcator.ComIslam menempatkan keragaman dan perbedaan sebagai Sunnatullah kehidupan. Seperti halnya dalam diri seseorang , terdapat keanekaragaman, adanya mata, hidung, mulut, telinga, kaki, tangan, jantung dan lain-lain. Unsur-unsur fisik ini bisa bekerjasama dan saling melengkapi sehingga aktivitas kehidupan dapat kita jalani dengan penuh seimbang. Sama halnya dengan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.

Tidak bisa kita bayangkan seandainya fisik ini diciptakan hanya dengan satu model yang sama seperti warna kulit yang sama, wajah yang sama, pemikiran yang sama dan bahasa yang sama. Bagaimana mungkin kita bisa membedakan antara orang yang satu dengan orang lainnya. Sementara kita masih belum mampu menembus penglihatan mata dari ujung timur ke ujung barat.

Peran yang sangat vital dan sangat diharapkan oleh bangsa ini adalah peran penghafal Alquran. Diakui atau tidak, saat ini banyak orang-orang yang mengunakan ayat-ayat jihad dimaknai sebagai ayat perang yang berorientasi pada kekerasan. Oleh karenanya, memahami ayat jihad sangatlah penting di negara yang majemuk ini, terlebih bagi mereka yang hanya sekadar hafal Alquran tapi tak paham dengan isinya dan realitas kehidupan yang ada di Indonesia.

Kenapa saya mengangkat judul seperti itu? Terus terang saja, bahwa saat ini, sudah mulai banyak bermunculan pejuang Islam yang seakan-akan memperjuangkan Islam tapi justru merusak kehormatan dan kemuliaan Islam itu sendiri. Seolah-olah mengamalkan alquran tapi justru keluar dari esensi Alquran yang sebenarnya. Kenapa bisa demikian, karena mereka hanya mampu mentekstualisasikan Alquran tapi tak mampu mengkontestualisasikan Alquran. Maka pemahaman yang mereka sampaikan cenderung pada pemahaman teks saja tidak pada konteks.

Di sinilah ruang dan bibit-bibit terorisme radikalisme mudah masuk dan menjelma menjadi manusia pejuang alquran tapi sikap dan tindakannya tidak mencerminkan Alquran. Mengaku paling islami tapi cara dan tindakannya tidak islami.

Alquran seharusnya tidak hanya sekadar bersuara di mulut tapi harus bersuara di kehidupan sehari-hari. Tidak hanya sampai pada tenggorokan saja, tapi harus mampu menusuk hati sehingga muncul pemahaman dan aksi yang berorientasi pada 'kasih dan sayang' kepada sesama.

Belajar dan menghafal Alquran harus mampu memberikan kesejukan rohani dan jasmani yang tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri tetapi juga dirasakan oleh banyak orang. Munculnya rasa kasih sayang tidak lepas dari apa yang ia pahami dari Alquran itu sendiri.

Oleh karenanya, memahami Alquran termasuk bagian dari memahami nilai-nilai Pancasila, dan memahami Pancasila termasuk bagian dari memahami nilai-nilai Alquran karena Alquran merupakan sumber ajaran pancasila. Nilai-nilai Pancasila banyak terkandung di dalam Alquran.

Sebagai orang yang mengetahui ajaran islam, termasuk mencintai Alquran, mereka pasti meyakini bahwa keberadaan alam semesta ini bukti keberadaan tuhan. Ini salah satu bukti keselarasan dengan Pancasila 'ketuhanan yang maha esa'.

Alquran pun dengan tegas dan jelas mengajarkan kita untuk berlaku adil dan beradab kepada siapapun. Dan menyeru kepada persatuan dan kesatuan. Karena persatuan dan kesatuan akan mengokohkan tembok kebangsaan, seperti bagaimana seharusnya bersatu dalam merawat persaudaraan antar umat manusia, tanpa harus membeda-bedakan suku, agama, dan budaya. Jika semua sudah bersatu, persaudaraan terus dirawat tanpa harus saling mencurigai satu sama lain maka stabilitas dan keamanan bangsa dan negara pasti akan baik, aman dan tentram. Hubungan kemanusiaan pun akan lebih terasah.

Dan yang tak kalah penting adalah dalam Alquran pun Islam mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat agar terhindar dari keegoisan dan fanatisme sektoral.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh siapapun termasuk oleh pemerintah dan pejabat-pejabat yang lain untuk mencapai kemaslahatan umat.

تَصَرُّفُ اْلإمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌا بِالْمَصْلَحَةِ

”Tindakan penguasa terhadap rakyat harus terarah untuk mencapai kemaslahat.

Pancasila adalah suara alquran. Tulisan ini hendak mengajak hafidz alquran agar supaya tidak hanya sekadar hafal saja tapi paham apa isi dan substansi yang ada di dalam Alquran. Dan juga mampu memahami Pancasila dan mensinergikan Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.

Banyaknya instansi yang memiliki orientasi untuk penghafal Alquran menunjukkan semangatnya dalam memperjuangkan Islam, karena bukan sesuatu yang tidak mungkin jika pahala hafidz Alquran benar-benar besar dan mulia. Namun perlu diingat juga, bahwa banyak hadis yang juga memperingatkan penghafal Alquran. Dan pastinya hadis ini tidak ada maksud melarang menghafal Alquran hanya saja mengingatkan bahaya dan tantangan hafidz Alquran. Karena setiap sesuatu pasti ada tantangan dan risikonya.

Diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa suatu ketika Rasululah Saw bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah seseorang yang membaca Alquran, hingga terlihat kebesaran Alquran pada dirinya. Dia senantiasa membela Islam. Kemudian ia mengubahnya, lantas ia terlepas darinya. Ia mencampakkan Alquran dan pergi menemui tetangganya dengan membawa pedang dan menuduhnya syirik. Saya (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Nabi Allah, siapakah diantara keduannya yang lebih berhak atas kesyirikannya, yang dituduh ataukah yang menuduh?” Beliau menjawab: “yang menuduh”. [HR. Bazzar].

Pemahaman terhadap Alquran benar-benar sangat dibutuhkan saat ini. Jika kita belum paham arti yang sebenarnya dalam Alquran jangan memaksakan diri untuk memahaminya.

Mari kita buat Alquran sebagai petunjuk dan pedoman bagi kehidupan yang lebih baik, bukan sebagai alat menghakimi seseorang yang beda dengan kita, dan mencari pembenaran perbuatan kita.

Belajar Al quran harus bisa “meniru ” sifat Rahman Allah, yang menyayangi setiap makhluk, bahkan kepada iblis sekalipun. Tanpa ada rasa sayang dalam hati, mustahil seseorang bisa mengerti-paham al quran.

Alquran tidak pernah mengajarkan kita untuk melupakan hak-hak orang di sekeliling kita. Dan makna dari ayat-ayat jihad tak selamanya berorientasi pada kekerasan.

Penulis Moh Syahri adalah Pimpinan Redaksi dan Founder Atorcator

Sumber foto: ummuhabibah.com
Read More