liputanislam |
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Atorcator.Com - Sejak beberapa tahun tinggal dan
mengajar di Arab Saudi, saya gunakan waktu sebaiknya-baiknya untuk menggali
berbagai informasi, perkembangan, dan perubahan kontemporer, khususnya di
bidang keagamaan dan sosial-budaya, yang terjadi di kalangan masyarakat Arab,
bukan hanya masyarakat Arab Saudi saja tetapi juga masyarakat Arab lain di
Timur Tengah.
Kebetulan murid-muridku bukan hanya
dari Saudi saja tetapi juga dari berbagai "negara Arab" di kawasan
Arab Teluk / Jazirah Arab, Levant (Syam), Afrika Utara, dan Afrika Barat.
Sehingga saya banyak belajar dari mereka. Bukan hanya dari mahasiswa, saya juga
banyak belajar dan menggali informasi dari kolega dan sesama dosen Arab dari
berbagai kawasan.
Kesan dan pengamatan saya, dari
sekian banyak negara / kawasan Arab (ada sekitar 22 "negara Arab" di
Timur Tengah dan Afrika), Saudi yang paling konservatif, kemudian disusul Qatar.
Saya sendiri tidak heran kenapa Saudi (dan kemudian Qatar) yang terkesan paling
konservatif.
Hal itu tidak lain karena kedua
negara ini menerapkan Mazhab Hanbali dan banyak diinspirasi dari pandangan
"Wahhabiyah". Negara-negara mayoritas Muslim lain yang menerapkan
mazhab di luar Hanbali rata-rata lebih fleksibel dan elastis. Misalnya, hanya
di kedua negara ini saja masalah hijab dianggap puuueenting sekali. Di kawasan
lain tidak, kecuali Iran.
Dalam sejarah Islam Sunni (Syiah,
Ibadiyah dan lainnya punya sejarah sendiri), Mazhab Hanbali (diambil dari nama
pendirinya, Ahmad bin Hanbal yang hidup di antara abad 8-9 M) beserta
turunannya ("Hanbaliyah") dikenal sebagai mazhab yang sangat saklek,
kaku, dan tekstualis, cukup kontras dengan mazhab-mazhab lain dalam hukum
Islam. Menurut mazhab Hanbali, semakin tekstualis dan leterlek dalam memahami
ayat dan hadis, semakin baik dan mendekati kebenaran.
Kerigidan mazhab Hanbali itu
lantaran mazhab ini dikenal sangat minim dalam menggunakan fungsi rasio dan
akal-pikiran dalam memahami teks, ajaran, doktrin, dan wacana keislaman.
Pengikut mazhab ini menggunakan "prinsip pokoknya": pokoknya begini.
Titik. Nggak pakai koma.
Umat Islam masa kini yang
berpandangan kaku-njeku, termasuk di Indonesia, rata-rata dari golongan Mazhab
Hanbali dan "Hanbaliyah" ini. Kelompok Salafi modern atau
"neo-Salafi" juga banyak dari mazhab ini. Kelompok Wahabi juga
bermazhab Hanbali. Makanya jangan heran kalau pandangan mereka kaku-njeku kaya
tiang listrik dikulkasin.
Menariknya, Saudi dan Qatar sebagai
negara "penyangga utama" Mazhab Hanbali sejak beberapa tahun silam sudah
berubah. Keduanya kini sudah sangat fleksibel dan elastis dalam hal beragama
dan berbudaya. Sejak beberapa tahun silam, Saudi menggemakan pentingnya
"Islam moderat" (wasatiyyah) dan mengucilkan kelompok konservatif
ekstrim.
Sedangkan Qatar sudah berubah cukup
lama. Gerakan reformasi kultural-agama di Qatar lebih duluan ketimbang Saudi.
Sejak 2008 misalnya Qatar membolehkan umat Kristen (yang berjumlah sekitar 13%)
untuk mendirikan gereja di atas lahan yang dihibahkan oleh pemerintah. Berbagai
umat Kristen: Katolik, Anglikan, Ortodoks Suriah, Mormon, dlsb, cukup aktif
disini. Pemerintah Saudi juga konon akan membuka gereja di Jeddah. Begitu pula
sikap terhadap umat agama lain, khususnya Hindu karena ada banyak imigran dari
India dan Sri Lanka.
Sikap kedua negara terhadap
komunitas Syiah (yang berjumlah sekitar 15-20%) juga sudah berubah cukup
drastis. Di Qatar, sejumlah tokoh Syiah bahkan menduduki jabatan sebagai
menteri negara.
Saudi juga gencar melakukan
reformasi kultural-agama. Misalnya, "Polisi Syariat" yang dulu suka
menjadi "malaikat" di jalan-jalan nangkepi atau nyabetin orang-orang
yang nggak berhijab atau nggak salat saat salat tiba, kini sudah dibekukan dan
dibonsai perannya (beda dengan Aceh yang lagi ngetren).
Berbagai aktivitas yang dulu
diharamkan (dengerin musik, lihat pilm di teater, dlsb) kini dibuka
lebar-lebar. Pula, warisan-warisan kultural-sejarah-arkeologis yang dulu
"dikapirkan", kini dibuka lebar-lebar.
Tampaknya mereka memang sudah bosan
sekali dengan konservatisme, kekolotan, dan militansi agama yang justru
menjauhkan mereka dari pergaulan dengan peradaban dunia. Ironisnya,
konservatisme, kekolotan, kekakuan, dan militansi keislaman itu kini malah
diadopsi dengan riang-gembira oleh rombongan "keledai mendem" di
Endonesah.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
Baca juga