Juni 2019 - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Minggu, Juni 30, 2019

Hafal Al-Qur'an Bukan Satu-satunya Bekal Beragama

Hafal Al-Qur'an Bukan Satu-satunya Bekal Beragama

Penulis: Ahamd Sarwat, Lc.MA
Ahad 30 Juni 2019 11:16
Ilustrasi foto/setiafurqon.com
Atorcator.Com - Saya tidak pernah menyalahkan mereka yang menargetkan anak-anaknya jadi hafizh Al-Quran. Bagus sekali dan memang begitulah dulu para ulama memulai belajar agama.

Cuma yang perlu diperhatikan bahwa hafal Al-Quran itu bukan satu-satunya bekal agama. Masih ada pelajaran yang tidak kalah pentingnya, yaitu belajar hukum-hukum agama.

Lho, apa Al-Quran itu bukan hukum agama? Al-Quran itu kan lengkap. Bukankah semua urusan agama juga bersumber dari Al-Quran?
Benar sekali bahwa Al-Quran itu sumber agama. Tapi yang namanya sumber, tentu masih hasil dilalukan proses pengolahan dulu, baru bisa dipakai.

Bensin yang kita pakai buat bahan bakar itu sumbernya memang dari minyak bumi. Tapi minyak mentah itu tidak bisa langsung dituang ke dalam tanki bensin mobil kita. Malah rusak nanti mesinnya.

Minyak mentah itu kudu diolah dulu lewat proses yang panjang. Kalau sudah jadi premium atau pertamanya, baru bisa dimanfaatkan.

Jadi maksudnya tidak cukup anak itu cuma disuruh hafal hafal dan hafal saja. Tetap harus tahu hukum-hukum agama. Tapi kalau cuma hafal doang, dijamin tidak paham hukum-hukum agama.

Maka masukkan anak pesantren yang justru mengajarkan hukum-hukum agama itu, selain juga menghafal. Tapi kalau harus pilih salah satu, mana yang lebih utama?

Jawabnya bukan hafal Al-Quran. Justru paham dan tahu hukum agama. Hafal Al-Quran sifatnya nilai plus saja. Tapi menguasai ilmu-ilmu seputar hukum agama justru wajib dan mutlak tidak boleh diabaikan.

Keliru besar kalau hanya melahirkan generasi hafal Quran, tapi jahiliyah dalam hukum-hukum agama. Ini namanya beragama secara nyungsang.
Bagaimana wudhu, mandi janabah, tayammum, termasuk semua rukun-rukunnya, wajib diajarkan kepada anak. Sejak dini anak itu harus bisa membedakan mana najis mughallazhah, mutawassithah dan mukhaffafah. Mereka harus tahu bagaimana cara mensucikan najis itu. Juga harus tahu mana saja najis yang dimaafkan dan mana yang khilafiyah.

Jangan sampai anak sudah baligh, tapi keliru fatal dalam cara mandi janabah. Bahkan tidak tahu apa saja yang menyebabkan hadats besar.

Apalagi terkait dengan gerakan dan bacaan shalat termasuk rukun-rukunnya, mutlak kudu diajarkan.

Jangan sampai anak kita tidak bisa niat shalat, tidak tahu bahwa Fatihah itu rukun shalat yang wajib dibaca juga oleh masing-masing makmum. Bukan cuma diam saja.

Apa saja yang termasuk sunnah hai'at dan ab'adh dalam shalat dan mana saja perbuatan yang membatalkan shalat. Jangan sampai tidak tahu urusan begituan. Dosa besar ayah dan ibunya kalau lalai dalam urusan mengajarkan hukum-hukum agama.

Mereka juga harus tahu bahwa shalat yang terlewat itu masih tetap wajib dikerjakan. Dan bahwa sakit itu tidak menggugurkan kewajiban shalat.

Jadi bukannya melarang anak ikut program tahfiz. Jangan salah paham dulu. Silahkan tahfiz. Cuma satu hal yang jangan lalai, ajarkan mereka hukum-hukum syariah. Biar tahu mana yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

Selengkapnya di sini
  • Ahamd Sarwat, Lc.MA Pendiri Rumah Fiqih Indonesia (RFI), Direktur Sekolah Fiqih, dan Penulis 18 Seri Fiqih Kehidupan


Read More
Mengenang KH. Nawawie Bin Noer Hasan Bin Noer Khatim Sidogiri

Mengenang KH. Nawawie Bin Noer Hasan Bin Noer Khatim Sidogiri

Penulis: Abdul Adzim
Ahad 30 Juni 2019 08:00
Makam kiai Nawawie/majalah langitan

Atorcator.Com - Tanggal 25 Syawal, tepat hari wafatnya KH. Nawawie bin Noer Hasan Sidogiri. Dulu saat saya masih di pondok, Hual Beliau selalu diperingati hanya melibatkan santri yang didalam, dengan nasi talaman (loyang, tampan)  yang di antarkan ke daerah (kotakan santri) sebagai ciri khasnya. Kami semua para santri pasti bahagia mengikuti acara Haul Beliau hingga selesai karena di malam itu kami bisa makan gratis dengan aneka lauk pauk menu restoran. Hehehe

KH. Nawawie bin Noer Hasan lahir pada tahun 1862 Masehi silam. Beliau merupakan salah satu cucu keempat Mbah Sayyid Sulaiman.

Karena hidup dan besar di lingkungan pesantren, Kiai Nawawie sudah tidak asing lagi dengan ilmu-ilmu keagamaan sejak kecil. Apalagi Sang Ayah, KH Noerhasan bin Noerkhotim dengan setia selalu membimbing dan mengarahkan Kiai Nawawie.

Dari Bangkalan Sampai Mekah al-Mukarramah kehidupan Kiai Nawawie muda dipenuhi dengan rihlah ke beberapa pesantren untuk mencari ilmu. Mekah al-Mukarramah juga tak luput dari pijakan beliau dalam proses pencarian ilmu.

Pesantren pertama yang menjadi oase Kiai Nawawie dalam mengarungi lautan ilmu adalah pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Syaikhona Kholil dan Kiai Nawawie sebenarnya masih tergolong sanak famili. Dalam satu versi Beliau berdua merupakan cicit Kiai Asror bin Abdullah bin Sulaiman Bangkalan (Bujuk Asror/Bujuk Langgundih), cucu Sayyid Sulaiman yang bertempat tinggal di Bangkalan Madura. Orang Madura biasa menyebut hubungan sanak antar cicit ini dengan du popoh (dua pupu), kelanjutan dari sepupu.

Selain nyantri di Bangkalan, Kiai Nawawie juga pernah mencecap ilmu agama di negara tempat lahirnya Islam, Arab. Di Mekah beliau mempelajari segala bidang ilmu pengetahuan Islam dengan rajin dan tekun.
Konon, Kiai Nawawie nyantri di Mekah selama tiga tahap. Pertama, Kiai Nawawie ditemani oleh KHR Syamsul Arifin, Situbondo. Setelah itu beliau kembali ke Sidogiri. Namun tak lama kemudian Kiai Nawawie kembali ke Mekah karena merasa ilmunya belum cukup dan karena saat itu masih ada kakaknya, Kiai Bahar yang menjadi Pengasuh Pesantren Sidogiri.
Kiai Nawawie kembali lagi ke Mekah setelah diberi pertanyaan oleh sang kakak dan beliau tidak bisa menjawabnya. Kiai Nawawie kembali ke Mekah seraya bersumpah tidak akan pulang selagi belum bisa ‘mengalahkan’ kakaknya.
Kiai Nawawie baru pulang dari Mekah setelah diminta untuk meneruskan estafet kepengasuhan Pesantren Sidogiri karena Sang Kakak, Kiai Bahar telah berpulang ke rahmatullah.

SALAH SATU TOKOH PERINTIS NU

Bermula dari keprihatinan para ulama terhadap perkembangan lslam dunia, khususnya Indonesia, dimana pada masa itu sistem pemerintahan khilafah di Turki dihapus. Bagaimanapun juga, penghapusan sistem khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah bekas jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi.

Dari situlah KH A Wahab Hasbullah menghadap KH Hasyim Asyari untuk mengutarakan niatnya mendirikan suatu organisasi keagamaan agar umat Islam bermadzhab mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaanya.
KH Hasyim Asyari tidak langsung menyutujui niat baik KH A Wahab Hasbullah tersebut, namun beliau menyarankan agar berkonsultasi terlebih dahulu kepada KH Nawawie Sidogiri. Atas saran gurunya itu, Kiai Wahab datang ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah Kiai Wahab menyampaikan maksud kedatangannya, Kiai Nawawie menyarankan agar terlebih dahulu bermusyawarah dengan Ulama Pasuruan. 

Akhirnya Kiai Nawawie dan Kiai Wahab sepakat untuk membicarakannya di Masjid Jami’ Pasuruan. Dari musyawarah tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para ulama di Kediaman KH Wahab Hasbullah pada tanggal 31 Januari 1926 yang kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah jam’iyyah yang diberi nama Nahdlatul Ulama. Dalam catatan Aboe Bakar Atjeh, KH Nawawie bin Noerhasan termasuk salah satu pengurus pertama NU bersama KH Ridlwan Mujahid (Kudus), KH Doro Munthaha (Bangkalan), Syekh Ahmad Ghana’im ( Surabaya asal Mesir), dan KH Rd Hambali.

Di struktur NU, Kiai Nawawie duduk di dewan mustasyar (penasehat) periode pertama. Beliau menjadi mustasyar NU sampai akhir hayatnya.

AIR PEMANDIAN TIDAK JATUH KE TANAH

Pagi itu, Jumat 25 Syawal 1347 H, ada tamu yang bermaksud mengundang Kiai Nawawie untuk melaksanakan salat jenazah. Beliau mengatakan pada tamu tersebut untuk menunggunya sebentar, lalu Kiai Nawawi masuk ke mihrabnya. Lama menunggu, Kiai Nawawie tak kunjung keluar. Santrinya juga menyangka Kiai Nawawie masih melaksanakan Salat Dluha.

Beliau memang istikamah melaksanakan Salat Dluha sebelum membuka pengajian di surau. Lama berselang, Kiai Nawawie juga tak kunjung keluar. Akhirnya salah satu santri memberanikan diri untuk mengintip dari celah lubang kunci, dilihatnya Kiai Nawawie masih sujud. Karena masih tak kunjung keluar, akhirnya santri tadi mengintipnya dan melihat dari mulut Kiai Nawai keluar busa, itupun masih dalam keadaan sujud. Tenyata Kiai Nawawie memenuhi panggilan Sang Khalik dalam keadaan sujud. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Ada kejadian unik saat jenazah Kiai Nawawie dimandikan. Air yang dibuat memandikan jenazah beliau tidak sampai jatuh ke tanah, karena orang-orang yang hadir berebut menadahinya untuk dibawa pulang karena yakin air tersebut mengandung berkah.

Semoga kita selalu diberi hati cinta ulama dan para guru-guru kita serta barokah ilmunya. Amin...


  • Abdul Adzim Lahir di Surabaya. Domisili Bangkalan Madura. Alumni Pondok Pesantren Sidogir. Aktif mengajara di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.
Read More
Tiga Sosok Ilmuwan Kiai Achmad Siddiq, Kiai As’ad dan Kiai Ali Maksum

Tiga Sosok Ilmuwan Kiai Achmad Siddiq, Kiai As’ad dan Kiai Ali Maksum

Penulis: Abdul Muqsith Ghazali
Ahad 30 Juni 2019 06:00
Ilustrasi foto/NU online

Atorcator.Com - Perhari ini, 28 tahun lalu adalah puncak duka cita bagi waga NU. 23 Januari 1991, Rais Am PBNU KH Achmad Siddiq wafat dalam usia 64 tahun.

Saya yang hari itu takziyah ke kediamannya di Jember menyaksikan ribuan manusia tenggelam dalam duka atas kepergiaan Kiai Achmad. Orang-orang mempercakapkan siapa yang akan menggantikan Kiai Achmad. Kegelisahan menyebar di mana-mana.

Tahun itu warga NU hampir saja seperti ayam kehilangan induk. Sebab, para kiai yang menjadi jangkar warga NU meninggal dunia secara berturut-turut, dalam waktu yang tak berselang lama.

Sebelum Kiai Achmad, pada 4 Agustus 1990 Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo (musytasyar PBNU) wafat dan 7 Desember 1989 Kiai Ali Maksum Krapyak (Rais Am PBNU sebelum Kiai Achmad Siddiq) juga wafat.

Hari-hari ini, walau tak persis sama, kita merindukan hadirnya sosok kiai seperti Kiai Achmad Siddiq, Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Kiai Ali Maksum. Yaitu, kiai yang bisa memadukan antara wawasan keislaman dan wawasan kebangsaan secara sekaligus, kiai yang menerima Islam sebagai akidah dan menerima Pancasila sebagai dasar negara.

Disaat sekarang masih banyak tokoh Islam yang tak mau kembali ke pangkuan NKRI dengan Pancasilanya, saya selalu teringat tiga sosok kiai itu.

Pertanyaannya, apakah tiga kiai itu kalah alim dengan tokoh-tokoh Islam yang hingga sekarang menolak Pancasila sebagai dasar negara? Saya kira tidak. Tiga kiai itu memiliki penguasaan yang sangat dalam terhadap sumber-sumber keislaman yang otoritatif.

Bahkan, Kiai As’ad berburu ilmu hingga ke tanah Hijaz. Bertahun-tahun beliau menetap di sana. Kiai As’ad pun lahir di Mekah karena ayahanda, Kiai Syamsul Arifin, telah juga studi di sana sebelumnya selama 40 tahun.

Nafa'ana Allah bi 'ulumihim. Amin.....

Salam,

  • Abdul Moqsith Ghazali Seorang pakar hubungan antar agama asal Indonesia. Ia belajar di Universitas Islam Nasional/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana ia lulus progam S2 pada 1999. Sebelum menyelesaikan pendidikan S3-nya, ia mengikuti dialog agama-agama selama sebulan di Amerika Serikat pada 2002


Read More

Sabtu, Juni 29, 2019

Mengenal Ciri Khas Pondok Pesantren Sarang Versi Tahun 1994-1998

Mengenal Ciri Khas Pondok Pesantren Sarang Versi Tahun 1994-1998

Penulis: K Bahrul Widad
Sabtu 29 Juni 2019 16:42
Ilustrasi foto/NU.or.id

Dalam masalah rangking

Hampir tidak ada yang membicarakan masalah rangking setelah pengumuman. Jadi hampir dilupakan siapa yang rangking satu, dua, tiga dst. berbeda dengan sebagian lembaga yang dijadikan hal luar biasa untuk memberi motivasi pada yang lain. Dan itu ciri khas masing-masing lembaga tanpa perlu menilai mana yang lebih baik.

Tiap hari dan malam mereka terus belajar baik saat ujian atau bukan. Bahkan tidak ada perbedaan belajarnya santri diantara menjelang ujian dan hari lainnya. Berbeda dengan sebagian lembaga yang belajarnya digenjot tiga bulan sekali hanya menjelang ujian, sementara dihari-hari lainnya belajarnya santai.

Dalam hal Musyawarah

Rata-rata santri Sarang tidak bisa santai sebelum materi yang akan dimusyarahkan nanti belum selesai dipelajari. Bukan hanya mempelajari materi tapi masih membandingkan dengan referensi kitab lain.

Dalam musyawarah ini menjadi perhatian mereka. Mulai dari siapa saja yang banyak menjawab saat musyawarah dan siapa saja yang jawaban-jawabannya berbobot. Terutama siapa yang terpilih menjadi Rois musyawirin Fathul Qorib A, B dan C dan siapa yang terpilih menjadi Rois Musyawirin Fathul Muin dst.. Kesimpulannya siapa saja yang Alim dalam periode ini.

Dalam hal memberi makna

Di Sarang semakin lama mondok maka maknanya harus semakin sedikit. Karena menurut Syaikhuna dalam memberi interpretasi maqolah : "ilmu itu bagaikan hewan buruan, makna dan catatan itu bagaikan talinya. Maka ilmu agar tidak lari hendaknya diikat dengan makna (catatan) ". Nah kalau tidak diberi makna hewan buruannya akan lari tapi kalau ikatnya terlalu banyak bisa mati.  Maka ikatlah lehernya atau pinggangnya saja. Jangan diberi makna semua nanti otakmu mati. Makanya jangan heran kalau santri Sarang makna kitabnya jarang sekali.

Tanpa ada maksud membanding-bandingkan, tapi sekedar info ke-khas-an saja. Semuanya lembaga pendidikan itu baik dan masing-masing lembaga pasti punya ciri khas dan keistimewaan sendiri. 

Wallahu A'lam


  • K Bahrul Widad Alumni Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah Sekarang tinggal di Kabupaten Sumenep
Read More
Kiai Sholihin, Santri Mbah Hasyim yang Membunuh Jenderal Mallaby dengan Dua Jari

Kiai Sholihin, Santri Mbah Hasyim yang Membunuh Jenderal Mallaby dengan Dua Jari


Penulis: Jamaluddin Mohammad
Sabtu 29 Juni 2019 10:55
Ilustrasi foto/brigald

Atorcator.Com - Dalam Film “Sang Kiai”, Kiai Solihin - disapa Kang Solihin - diperankan sebagai pembantu kiai [khadim/dalem] yang lucu dan lugu. Sangking ta’zimnya sama kiai, tanpa diminta kiai dan tanpa instruksi Jepang Kiai Solihin meminta sendiri menemani Hadratu Syaikh Kiai Hasyim Asyari di dalam penjara di Bubutan, Surabaya, selama 4 bulan.

Bahkan seperti diceritakan dalam Film “Sang Kiai” juga, Kiai Solihin berlari mengejar dan melompat ke atas truk yang membawa Sang Kiai.Ini cerita nyata.

Kiai Solihin tak sekadar pembantu melainkan “tangan kanan” Hadratu Syaikh Kiai Hasyim. Beliau dikenal tegas, pemberani, dan ditakuti santri-santri.

Beliaulah, menurut cerita tutur banyak orang, yang membunuh Jenderal Mallaby, dengan kedua jarinya tepat di tenggorokannya. Bukan oleh Harun, tokoh fiktif yang diperankan Adipati Dolken itu.

Kiai Solihin dikenal sakti dan pernah menjadi kepala Pondok Tebuireng. Kesaktian dan keberanian Kiai Solihin sudah diketahui Hadratu Syaikh dan santri-santri.

Ada satu cerita, bahwa Kepala Madrasah Tebuireng, Mas Dawam, ditembak mati serdadu Jepang. Jenazahnya dibiarkan tergeletak dan dipertontnkan di alun-alun. Dijaga beberapa serdadu Jepang. Tak satu pun santri berani mengambil.

Hadratu Syaikh Kiai Hasyim menyuruh Kiai Solihin mengambil dan mengurus mayat tersebut. Ia hanya dibekali sepucuk pistol milik Gus Kholik putra Hadratu Syaikh.

Hari itu hujan deras. Sebelum berangkat ke alun-alun, Kiai Solihin berhenti di sebuah musholla. Beliau salat sunah dua rakaat. Setelah itu membaca Hizbu Nashar, Hizbu Nawawi, juga Ilmu Penakluk berbahasa Jawa Cirebon.

Sampai menjelang maghrib Kiai Solihin baru berangkat ke alun-alun sendiri. Di depan serdadu Jepang yang menjaga jenazah tersebut, Kiai Solihin menembakkan pistolnya ke atas langit. Atas izin Allah SWT, suara pistol tersebut menggelegar seperti suara meriam, hingga membuat ciut nyali tentara Jepang dan mereka lari terbirit-birit. Kiai Solihin lantas membawa mayat tersebut ke Tebuireng untuk dimandikan, dikafani, disalati, dan dikubur.

Kiai Solihin dikenal dekat dengan keluarga Hadratu Syaikh [di samping itu saudara-saudaranya mondok di situ, seperti adiknya sendiri, Kiai Bulkin Fanani, dan kakak iparnya, Kiai Masduki Ali. Juga masih bersaudara dengan Kiai Idris Kamali, menantu Hadratu Syaikh].

Hubungan kekeluargaan tersebut masih terjalin sampai Kiai Solihin pulang ke Kampung Halamannya di Pondok Pesantren babakan Ciwaringin – Cirebon. Gus Kholik, Gus Ya’kub, juga Gus Yusuf sering silaturahmi dan bertandang ke rumahnya. Bahkan, menurut sebuah cerita, Gus Ya’kub sering sekali ke rumah Kiai Solihin untuk meminta Jimat.

Kiai Solihin merupakan putra tertua Kiai Muhammad Amin [Ki Madamin]. Beluiau wafat 17 Agustus 1968 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Kiai Abdul Hannan di Babakan Ciwaringin Cirebon. Pada saat dimakamkan tak sedikit keluarga Hadratu Syaikh yang hadir dan ikut mendoakan langsung.

Kiai Ali - adik Kiai Idris Kamali menantu Hadratu Syaikh - menyebut “hadza sohibussijni Hasyim Asyari” pada saat menalkin beliau menuju peristirahatan terakhirnya.

  • Jamaluddin Mohammad Pengajar di Ma'had Ali al-Hika.ussalafiyyah dan Kebon Jambu, Pengurus Lakpesdam PBNU, dan peneliti di Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab)


Hasil wawancara dengan Ny. Syamsyiyyah [putri Kiai Solihin], Kiai Makhtum dan Kiai Tamam Kamali [keponakan Kiai Solihin]

Read More
Syair Munajat, Abu Nawas, dan Sanubari Masyarakat Banten

Syair Munajat, Abu Nawas, dan Sanubari Masyarakat Banten

Penulis: Muhammad Masrur
Sabtu 29 Juni 2019 06:00
Ilustrasi foto/brillio

Atorcator.Com - Syair ini tentu tidak asing bagi kita umat muslim di Indonesia,

Ilaahi Lastu Lil Firdausi A’laa *** Wa laa aqwaa ‘alaa-n-naari al-jahiimi
Fahablii taubatan waghfir dzunuubii *** Fa innaka ghaafiru-dz-zanbi-l-‘adhiimi

Tuhanku, Aku tidak pantas tinggal di Surga Firdaus-Mu *** Aku pun tidak kuat kalau tinggal di Neraka-Mu
Maka terimalah taubatku, ampuni dosaku *** Karena Engkaulah Pengampun dosa besar.

Seingat penulis, syair ini populer disenandungkan di masjid, acara keagamaan seperti maulid, Isra’ Mi’raj, dan acara sejenisnya. Ketika sudah masuk rekaman, ada banyak orang terkenal yang menyanyikannya. Dari K.H. Abdurrahman Wahid sampai penyanyi religi macam Opick dan Raihan. Yang terakhir ini adalah grup Nasyid dari Malaysia. Jika anda mengenal Musthafa ‘Aatif, penyanyi muda dari Mesir yang biasa menyanyikan shalawat, menyatakan kalau syair ini adalah syair terakhir yang diucapkan ayahnya sebelum wafat, seperti yang ia sampaikan lewat akun twitter-nya.

Tapi siapa yang pertama kali membuat syair ini? Pertanyaan ini menggoda kami menjawab karena mendengar kabar yang populer kalau syair ini didendangkan oleh Abu Nawas, seorang jenaka di masa Kekhalifan Abbasiyah. Kabarnya, ia menyanyikan syair ini di akhir hayatnya, sebagai sebuah pengakuan kalau ia dahulu di masa hidupnya bergelimang dosa. Tapi benarkah demikian? anda bisa mengkritisi saya jika informasi ini tidak benar. Saya mencoba mencari tahu lewat googling, hampir seluruhnya menyebut syair ini masuk kedalam Diwan Abu Nawas. Namun, Diwan Abu Nawas yang kami temukan dalam Maktabah Syamilah, software berisi kitab-kitab berbahasa Arab, tidak menyebutkannya.

Dalam beberapa kitab kuning, kami menemukan syair ini dalam Kashifatu al-Sajaa karya Syaikh Nawawi al-Bantani, syarah (penjelasan) atas kitab Safinatu al-Najaa.Dalam kitab tersebut, dinukil dari pendapat Imam ‘Abdu al-Wahhab al-Sya’rani, disebutkan bahwa siapa yang melazimkan membaca syair ini di hari jumat, maka Allah Swt. akan wafatkan dia ketika memeluk agama Islam.

Redaksi yang sama disebutkan dalam I’aanatu al-Thaalibiin, Bughyatu al-Mustarsyidiin, dan Haasyiyah al-Baijurii ‘ala Fath al-Qariib. Ketiganya adalah kitab fikih mazhab Syafi’i. Tapi sampai tulisan ini dibuat, saya belum mengetahui di kitab apa Imam al-Sya’rani, seorang sufi besar di Mesir abad ke-9 H/15 M ini.Wallahu A’lam, jika pembaca mengetahuinya, akan segera saya tambahkan.

Kembali lewat Maktabah Syamilah, penulis mencoba menelusuri di kitab-kitab lain yang barangkali memuat syair ini. Hasilnya menarik. Empat mazhab fikih yang masyhur kecuali mazhab Syafi’i tidak menyebut kitab ini. Tidak juga disebutkan dalam kitab akidah dan akhlak.

Tapi, kami menemukan syair ini dianggap sebagai diantara jenis bid’ah dalam sebuah kitab bernama al-Sunan wa al-Mubtadi’aat karangan Muhammad ‘Abdu al-Salaam Khidr al-Qusyairi. Membaca syair ini digolongkan sebagai ragam bid’ah yang dilakukan di waktu jum’at. Ada kitab lain bernama Mawsu’ah al-Syi’r al-Islaami(Ensiklopedi Syair-Syair Islam). Syair ini disebutkan didalamnya, tetapi tidak disebutkan asal-usulnya. Beberapa karya lain mencantumkannya sebagai bagian dari buku retorika berpidato kalau kumpulan ceramah.

Walhasil, saya menarik kesan kalau syair yang populer di Indonesia ini adalah syair yang sufistik yang dipopulerkan ulama Haramain, yang banyak mempengaruhi perkembangan Islam di Nusantara. Terlepas mana yang benar apakah Abu Nawas terlebih dahulu atau al-Sya’rani yang mencetuskannya, itu tidak lagi menjadi permasalahan utama. Soal dakwaan bid’ah, boleh jadi berangkat dari adanya ganjaran dari amaliah yang secara eksplisit tidak ada dasarnya, tapi bukankah syair diatas mengandung nilai doa. Tentu saja, doa adalah inti dari beragama bukan.

Sebagai informasi yang mungkin patut diberikan perhatian, penulis menemukan kalau anjuran al-Sya’rani dalam Kashifatu al-Sajaa ini masih istikamah dijalankan di daerah Banten. Kami pernah tinggal satu bulan di sebuah daerah yang tidak jauh dari Tenara, daerah Imam al-Nawawi dilahirkan. Di sana, syair ini selalu dibacakan bersama dengan wirid lain setelah shalat jum’at, persis dengan apa yang disebut dalam Kashifatu al-Sajaa. Seorang kawan dari Banten mengaku bahwa syair ini memang masih rutin dibaca setiap jum’at di masjid-masjid Banten. Saya pun bergumam, bahwa pengaruh Syaikh Nawawi al-Bantani masih mengakar kuat dalam sanubari rakyat di daerah Banten.

Selengkapnya di sini


Wallahu A’lam.

  • Muhammad Masrur  Peneliti di el-Bukhari Institute, Alumni Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah dan Dirasat Islamiyah UIN Jakarta

Read More

Jumat, Juni 28, 2019

Abu Nawas: Keadilan itu Seperti Kentut

Abu Nawas: Keadilan itu Seperti Kentut

Penulis: KH. DR. Miftah el-Banjary, MA
Jumat 28 Juni 2019 18:16
Ilustrasi foto/brillio

Atorcator.Com - Suatu hari, Abu Nawas mendatangi sultan Harun al-Rasyid untuk menceritakan perihal mimpinya untuk menggulingkan kerajaan Harun al-Rasyid, jika sang raja itu terus menerus menzhalimi rakyatnya dengan membebani hutang dan pajak yang sangat tinggi.

Demi mendengar hal tersebut, sang raja merasa tersinggung, lalu melaporkan kepada sang Hakim bahwa Abu Nawas telah melakukan makar terhadap kekuasannya yang sah.

Singkat cerita, tuduhan itu membuat Abu Nawas harus mendekam dipenjara selama 3 bulan, tanpa mengetahui kapan ia akan diadili dan atas dasar kesalahan apa dia harus diadili.

Sebab Abu Nawas hanya menyampaikan atas dasar mimpinya yang sebenarnya tidak bisa dibuktikan secara uji materiil sebagai pelanggaran sebuah hukum.

Namun mau tidak mau, Abu Nawas harus menerima keputusan itu. Meski Abu Nawas diperlakukan secara tidak adil dan tidak ada keadilan yang bisa dijadikan ukuran standar atas kasus perkara yang abstrak itu.

Tiga bulan berlalu tanpa kepastian hukum, hingga akhirnya Abu Nawas dipanggil untuk menghadap Hakim dalam sebuah gugatan peradilan melawan kekuasaan raja. Abu Nawas didudukkan sebagai seorang terdakwa.

"Wahai Abu Nawas, benarkah kamu berniat menggulingkan kerajaan Harun al-Rasyid?" tanya sang Hakim.

"Itu hanya mimpi, wahai Tuan Hakim!"

"Tapi itu juga termasuk pelanggaran hukum, wahai Abu Nawas!" sahut sang Hakim.

"Tapi itu tidak adil!" bantah Abu Nawas.

"Jika kamu menganggap hal itu tidak adil, bisakah kamu menunjukkan buktinya, heh?!! Bentak sang Hakim.

"Tidak semua rasa keadilan itu harus dibuktikan dengan alat bukti materi'il, duhai tuan Hakim!" bantah Abu Nawas lagi.

"Jadi kalau begitu, adakah di dunia ini sebuah keadilan dan kebenaran yang dapat dibuktikan kebenarannya, tanpa bukti materiil, ha..ha..ha..?!" ujar Hakim tertawa.

"Keadilan dan kebenaran itu tidak mesti harus bisa dilihat dan didengar, tapi juga bisa dirasakan, wahai Tuan Hakim!"

Sang Hakim tertegun. "Ah, omong kosong, bagaimana hal itu bisa terjadi? Teori hukum yang mana yang kau gunakan, wahai Abu Nawas?!" ujar Hakim mulai ragu.

"Apakah kamu memiliki alat bukti?!"

"Tidak ada, tuan Hakim!"

"Apakah kamu memiliki saksi yang bisa bersaksi untukmu?!!"

"Tidak ada!"

"Lantas, standar apa yang bisa digunakan, tanpa alat bukti dan saksi?!"

"Dengan rasa keadilan itu sendiri, wahai Tuan Hakim!"

"Bagaimana bisa, heh?!!" sela sang Hakim.

"Apakah tuan Hakim ingin membuktikannya?!" tanya Abu Nawas.

"Tunjukkan padaku!" pinta sang Hakim.

Abu Nawas pun berjongkok membelakangi sang Hakim.

"Jawabannya ada di belakang pantatku ini, duhai Hakim yang agung!" ujar Abu Nawas tersenyum.
Lantaran penasaran, sang Hakim mendekatkan wajahnya ke pantat Abu Nawas dalam jarak yang sangat dekat.

Seketika itu juga Abu Nawas melepaskan gas beracunnya yang membuat satu ruangan kalang kabut. Abu Nawas kentut dengan mengeluarkan aroma yang sangat busuk.

Hadirin yang hadir dibuat mual dan muntah-muntah. Terlebih lagi, sang Hakim mengelinjang sesak nafas dan berjalan sekonyong-konyong menyelematkan diri dari aroma yang sangat beracun itu.

Semua hadirin mengeluarkan sumpah serapah, tak terkecuali sang Raja yang hadir sebagai penggugat. Raja ingin segera menangkap Abu Nawas, karena benar-benar menghina lembaga peradilan yang mulia.

Namun, Abu Nawas meminta dirinya diberi kesempatan membela diri untuk menyampaikan argumentasinya terhadap sang Hakim.

"Baiklah, wahai Abu Nawas, apa yang ingin kamu ingin sampaikan terakhir kalinya?!!" Ujar sang Hakim dengan wajah memerah menahan murka.

"Saya hanya ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya keadilan itu seperti kentut!" ujar Abu Nawas meyakinkan.

"Apa maksudmu, wahai Abu Nawas?!" tanya Hakim semakin jengkel.

"Begini, tuan Hakim! Tadi tuan Hakim meminta kepada saya untuk membuktikan kebenaran, padahal tidak semua kebenaran bisa dibuktikan dengan bukti materi'il di persidangan ini!"

"Lantas bagaimana keadilan dan kebenaran itu bisa dibuktikan tanpa alat bukti dan saksi?!" tanya sang Hakim keheranan.

"Rasa keadilan itu sendiri, tuanku!"

"Bagaimana bisa?!"

"Tuan Hakim, apakah aroma kentut saya tadi bisa dilihat dan didengar?!"

Hakim menggelengkan kepalanya.

"Nah, itu dia! Seperti itulah keadilan dan kebenaran, terkadang dia tidak dapat dibuktikan dengan panca indera penglihatan dengan alat bukti yang meyakinkan, terkadang dia juga tidak bisa diperdengarkan kesaksiannya, tapi dia bisa dirasakan kehadirannya."

Hakim pun bungkam dan mengagumi kejeniusan logika berpikir Abu Nawas.

"Keinginanku untuk menggulingkan kekuasaan itu tidak bisa dibuktikan, karena dia hanya sebatas keinginan, jika sang penguasa tak berlaku adil.
Dan hal itu tidak bisa didakwakan dan dikategorikan sebagai sebuah makar, sebab niat itu belum bisa dikatakan sebuah kejahatan, kecuali telah dibuktikan dengan perilaku dan perbuatan.

Begitupula ketidakadilan yang kurasakan tidak bisa aku buktikan secara alat bukti dan saksi, sebab terkadang ketidakadilan itu hanya bisa dirasakan, meski tidak bisa dipaksaksan dalam wujud fisik dan suara.

Terkadang pula, kecurangan dan pengkhianatan itu bisa dirasakan oleh orang yang menjadi korbannya, dan hal itu tidak mesti semua pembuktiannya harus selalu menggunakan alat bukti panca inderawi, sebab hati nurani adalah hakim yang paling adil.

Akhirnya, Abu Nawas dinyatakan tidak bersalah oleh sang Hakim dan penguasa petahana dikalahkan dalam persidangan tersebut. Mimpi Abu Nawas terwujud dalam kemenangan kecil. Sekiranya hakim-hakim Emka itu hidup di zaman Abu Nawas pasti keadilan akan terwujud.

  • KH. DR. Miftah el-Banjary, MA Penulis National Bestseller | Dosen | Pakar Linguistik Arab & Sejarah Peradaban Islam | Lulusan Institute of Arab Studies Cairo Mesir.


Read More
Mengenal Syekh Mahfudz Al-Tarmasi: Ulama Pacitan yang Mengajar Di Masjid Al-Haram

Mengenal Syekh Mahfudz Al-Tarmasi: Ulama Pacitan yang Mengajar Di Masjid Al-Haram

Penulis: Annisa Nurul Hasanah
Jumat 28 Juni 2019 13:54
Ilustrasi foto/Hidayatullah.com

Atorcator.Com - Sekitar Abad ke-19 M. Indonesia telah memiliki ulama-ulama yang berkelas internasional. Betapa tidak, berkat kepakaran dan keilmuannya di bidang agama, mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengajarkan ilmunya di Masjid Al-Haram.

Setidaknya ada tujuh nama ulama terkemuka yang dikenal luas, mereka adalah Syekh Mahfuzh Al-Tarmasi (Jawa Timur), Syekh Nawawi Al-Bantani (Jawa Barat), Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (Sumatera Barat), Syekh Mukhtarom Banyumas (Jawa Tengah), Syekh Bakir Banyumas (Jawa Tengah), Syekh Asy`ari Bawean (Jawa Timur), dan Syekh `Abdul Hamid Kudus (Jawa Tengah). Dan artikel ini akan membahas sedikit biografi tentang Syekh Mahfudz Al-Tarmasi.

Nama lengkap Syekh Mahfuzh adalah Muhammad Mahfuzh bin  Abdullah bin Abdul Mannan bin Diman Dipomenggolo Al-Tarmasi Al-Jawi. Ia dilahirkan di Desa Tremas, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (pada saat Syekh Mahfuzh dilahirkan, Desa Tremas masih termasuk wilayah Karesidenan Solo Jawa Tengah),pada tanggal 12 Jumadil Ula tahun 1258 H bertepatan 31 Agustus 1842 M.

Saat dilahirkan, ayahnya, Kiai Abdullah, sedang berada di Makkah. Ibu dan pamannya adalah yang pertama memperkenalkan nilai-nilai dan praktik-praktik keagamaan kepadanya. Selanjutnya, ia belajar kepada ulama Jawa membaca Alquran serta ilmu agama tingkat dasar. Bahkan ia telah mampu menghafal Alquran sebelum usianya menginjak remaja.

Pada saat umurnya 6 tahun, ia sempat dibawa ayahnya ke Makkah tahun 1264 H /1848 M. Di Makkah, sang ayah memperkenalkan beberapa kitab penting kepadanya. Syekh Mahfuzh menganggap Abdullah lebih dari sekedar seorang ayah dan guru. Tentang ayahnya, Syekh Mahfuzh menyebutnya sebagai murabbi wa ruhi (pendidikku dan jiwaku).

Syekh Mahfuzh remaja belajar kepada ayahnya tentang ilmu Tauhid, ilmu Alquran, dan Fiqh. Dari ayahnya beliau mempelajari Syarh Al-Ghayah li Ibni Qasim Al-Ghuzza, Al-Manhaj al-Qawim, Fath Aal-Mu’in, Fath Al-Wahhab, Syarh Syarqawi `ala Al-Hikam dan sebagian Tafsir Al-Jalalain.

Setelah banyak belajar kepada ayahnya, Syekh Mahfuzh kemudian merantau ke Semarang untuk belajar kepada Kiai Saleh Darat (1820-1903). Kepada Kiai Saleh Darat ini, ia mempelajari Tafsir Al-Jalalain, kitab Wasilah Ath-Thullab dan Syarh Al-Mardini dalam ilmu Falak. Setelah itu pada umur 30 tahun, Syekh Mahfudz Tremas diutus oleh ayahnya bersama sama adiknya yang bernama Dimyathi untuk belajar ke Makkah pada tahun 1872 M.

Berbeda dengan adiknya dan teman-temannya seperti Kiai Khalil Bangkalan yang memilih untuk pulang setelah masa studi demi mengembangkan pesantren di tempatnya masing masing. Syekh Mahfudz Tremas lebih memilih untuk menetap di Makkah untuk mengajar hingga ajal menjemputnya.

Syekh Mahfuzh menikah dengan Nyai Muslimah, seorang putri asal Demak, Jawa Tengah, yang menunaikan haji pada dekade pertama Abad 20 M. Beliau dikaruniai tiga orang anak, tetapi dua anak perempuannya meninggal ketika mereka belum berusia 5 tahun.

Satu-satunya putra Syekh Mahfudz yang hidup adalah Muhammad. Ia didorong kuat oleh Syekh Mahfudz untuk mempelajari Alquran. Wasiat ini dipenuhi oleh Muhammad dengan berhasil menjadi seorang guru di bidang Alquran. Selain itu, Muhammad juga mengembangkan pesantren yang bernama “Bustanul Ussyaaqil Qur`an”di Betengan, Demak, Jawa Tengah dan memiliki banyak murid dari seluruh Nusantara. Adapun kepemimpinan pesantren sekarang adalah di bawah asuhan K.H. Hariri bin Muhammad bin Muhammad Mahfuzh Al-Tarmas.

Selama berada di Makkah, Syekh Mahfudz Tremas dikenal sebagai murid yang dinamis dan sangat tinggi antusiasnya dalam menuntut ilmu. Hal ini dapat dilihat dari caranya menemui beragam ulama dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, fikih, usul, ilmu Arabiyah, ilmu qiraat dan ilmu-ilmu lainnya.

Dan Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Shata (w.1310 H/1892 M) adalah guru yang paling berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan masa depan Syekh Mahfuzh. Ia menyebutnya dengan Syekhuna Al-Ajal wa Qudwatuna Al-Akmal (guruku yang paling terhormat dan teladan yang sempurna).

Syekh Mahfuzh dijadikan sebagai anak angkatnya, dan menjadi anggota keluarganya. Ia belajar sebagian ilmu pengetahuan Islam dari gurunya ini. Sebagai tambahan, ia menjadi musnid hadis dikarenakan gurunya ini memberinya ijazah di berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Dalam kaitannya dengan penimbaan ilmu, Syekh Mahfuzh memiliki karya khusus yang mencatat semua sanad dari setiap ilmu yang ia pelajari. Kumpulan sanad tersebut terdapat dalam karyanya yang berjudul Kifayah Al- Mustafid.
Diceritakan dalam kitab Kifayah Al-Mustafidbahwa Syekh Mahfuzh selain terkenal sebagai seorang `alim yang khusyuk dalam ibadah, tawadlu’ dalam tingkah laku, ridla dan sabar di dalam sikap, juga sebagai seorang ahli dalam Hadis Bukhari.

Selain aktif sebagai pengajar di Masjid Al-Haram, kiprah dan kontribusi keilmuannya, khususnya dan dalam bidang Ulum Al-Hadits adalah menulis beberapa kitab dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk dalam bidang Ulum Al-Hadits.

Dalam menulis kitab, Syekh Mahfuzh termasuk salah seorang intelektual Muslim yang produktif. Produktifitasnya merupakan bukti kecerdasan intelektualnya. Syekh Mahfuzh lebih banyak menulis kitab qira’at dari pada bidang lainnya.

Namun sebagaimana ulama lain yang berpengaruh pada masa itu, ia juga merupakan ulama multidisipliner yang berhasil dalam menulis. Paling tidak, ada 10 bidang pengetahuan: fiqh, ushul fiqh, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, kumpulan hadis, Musthalah Al-Hadits, dan ilmu waris, ilmu bacaan Alquran, dan akhlak.

Dalam menulis, konon Syekh Mahfuzh ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa henti. Gua Hira menjadi tempatnya mencari inspirasi. Ia biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya yang pertama itu. 

Kecepatan Syekh Mahfuzh dalam menulis kitab dapat disebut istimewa. Kitab Manhaj Dhawi Al-Nazhar misalnya ia selesaikan hanya dalam 4 bulan 14 hari.

Mengingat banyaknya karya yang dihasilkannya, tidak berlebihan jika Syekh Yasin Al-Padani, ulama Makkah asal Padang, Sumatera Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an, menjuluki Syekh Mahfuzh dengan sebutan: Al-`Allamah, Al-Muhadits, Al-Musnid, Al-Faqih, Al-Ushuli dan Al-Muqri.

Syekh Mahfudz Tremas sebenarnya memiliki 43 karya, tetapi hanya 20 judul yang berhasil diterbitkan, sebagaimana berikut: As-Siqayah Al- Mardhiyah Fil Asma`al Kutub Al-Fiqhiyyah Asy Syafi’iyyah, dalam 3 bagian (kecil),  Al-Minhah Al-Khairiyah fl Arba’in Hadisan min Ahaadis Khair Al-Bariyyah dalam 2 bagian; AI-Kil’ah Al-Fikriyah bi Syarh Al-Minhah Al-Khairiyah 13 bagian;
Muhibah Dzy al-Fadhl `ala Syarh Muqaddimah Bafadhal 4 jilid besar; Kifayah Al-Mustafi’d fiima `ala min Asanid,1 bagian; AI-Fawa’id At-Tirmisiyah fl Asanid Al-Qira’at Al-Asy’ariyah,1 bagian; Al-Budur Al-Munir fi Qira’ah Al-Imam Ibn Al-Kathir,6 bagian; Tanwir Ash-Shadr fi Qira’ah Al-Imam Abi Amr 8 jilid; Insyirah Al-Fu’ad fi Qira’ah Al-Imam Hamzah 13 bagian; Tamim Al-Manafi’ fl Qira’ah Al-Imam Nafi’,16 bagian;
Is’af Al-Mathali’ bi Syarh Budur Al-Lami’ Nazham Jam’ Al-Jawami’, 2 jilid; ‘Aniyah Ath-Thalabah bi Syarh Nazham Ath-Thayyibah fi Al-Qira’at Al-Asyriyah 1 jilid;  Hasyiyah Takmilah Al-Manhaj al-Qawim ila Al-Fara’idh 1 jilid; Manhaj Dzawi Al-Nazhar bi Syarh Manzhumah ‘Ilm Al-Atsar 1 jilid; Nail Al-Ma’mul bi Hasyiyah Ghayah Al-Wushul fi`Iim Al-Usul, 3 jilid; Inayah Al-Muftaqir fima Yata`allaq bi Sayyidina Al-Hadhar 2 bagian; Bughyah Al-Adzkiya` fi Al-Bahts `an Karamah Al-Auliya, 3 bagian; Fath Al-Khabir bi Syarh Miftah Al-Sair 15 bagian; Tahayyu`ah Al-Fikr bi Syarh Alfiyah Al-Sair 14 bagian; dan Tsulatsiyat Al-Bukhari 1 bagian.

Perlu diketahui istilah “bagian” dan “jilid” menunjukkan adanya perbedaan. Istilah “bagian” merujuk pada suatu bundel kecil yang terdiri atas 25 sampai 50 halaman yang sering disebut dengan kurrasan (lembaran). Adapun ‘jilid’ merujuk pada suatu kitab atau buku tebal yang terkadang berisi lebih dari 500 halaman, seperti kitab Mauhibah Dzi Al-Fadl` ala Syarh Muqaddimah Bafadhal karya Al-Tarmasi dengan 2.339 halaman.

Setelah bermukim dan mengajarkan ilmu di Makkah selama 40 tahun, Syekh Mahfuzh wafat di Makkah pada hari Rabu, tanggal 1 Rajab, tahun 1338 H, bertepatan dengan 20 Maret 1920 M. Sejak berangkat ke Makkah, ia berharap agar akhir hidupnya berada di sana. Ia dimakamkan di Ma`la, di kota Makkah, berdampingan dengan makam Sayidah Khadijah, Istri Nabi SAW. Lokasi tersebut berada dalam pemakaman keluarga gurunya, Sayyid Abi Bakr Muhammad Shata.

Selengkapnya di sini

  • Annisa Nurul Hasanah Peneliti el-Bukhari Institute dan Tim Redaksi BincangSyariah. Alumni Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang dan Darus Sunnah International Institute For Hadith Sciences


Read More
Kekerasan Teologi, Teologi Kekerasan

Kekerasan Teologi, Teologi Kekerasan

Penulis: M Kholid Syeirazi
Jumat 28 Juni 2019 13:30
Ilustrasi foto/paradede

Atorcator.Com - Saya sedang tidak bicara agama lain. Saya sedang bicara agama saya sendiri, Islam. Agama lain biar diurus oleh pemeluknya atau oleh pakar perbandingan agama. Fakta yang ada, tetapi sulit diakui secara jujur, adalah banyaknya aliran keras yang lahir dari teologi kekerasan.

Teologi tidak saya gunakan secara spesifik untuk menunjuk salah satu pilar dalam agama yaitu akidah, tetapi madzhab Islam secara umum. Pikiran yang keras menghasilkan sikap militan, eksklusif, dan intoleran. Pada gilirannya, menghasilkan justifikasi untuk melakukan kekerasan. 

Jadi, kalau ada yang percaya tidak ada hubungan dari jenis ekspresi tertentu dari aliran keras dengan tindakan kekerasan atau potensi untuk melakukan kekerasan, kita mungkin perlu membersihkan kaca mata kita yang buram. Teologi kekerasan inheren dalam kelompok yang mengklaim kebenaran mutlak dan punya justifikasi ‘langit’ untuk memberangus siapa saja yang menolak klaim mereka. 

Saya tidak akan menyebut kelompok mana saja. Saya hanya akan menyebut kriteria dan kualifikasi. Silakan Anda cari sendiri. Teologi kekerasan ada pada dua jenis kelompok aliran dengan dua agenda berikut ini. 

Agenda syirik kubur

Istilah ini saya gunakan untuk menunjuk kelompok dengan agenda memerangi bid’ah. Islam harus dimurnikan dari hal-hal baru yang tidak ada pada tiga generasi terbaik Islam yaitu sahabat, tâbi’īn dan tâbiut tâbi’īn. Apa saja inovasi dalam perkara ubūdiyah adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan tempatnya di neraka.

Pelakunya bukan sekadar fasik, tetapi musyrik dan boleh dibunuh. Kelompok pengusung agenda purifikasi Islam, dalam banyak firqah-nya, bisa digolongkan sebagai salafi. Kenapa disebut salafi? Karena agendanya adalah purifikasi. Kiblatnya generasi salaf, dalam pengertian sempit. Semua aliran Islam yang bermadzhab sebenarnya adalah salafi karena mengikuti jalan para imam madzhab yang hidup dalam kurun tiga ratus tahun sejak zaman Rasulullah.

Namun, salafi puritan ini justru ingin melampui madzhab, dengan jargon kembali kepada Qur’an dan Hadis. Di mana letak kekerasan teologinya? Mereka umumnya takfiri, gampang mengkafirkan orang di luar kelompoknya. Menuding orang lain kafir adalah pangkal kekerasan. Itu satu tahap untuk membinasakan. 

Dalam sejarah Islam Indonesia, kelompok ini pernah menimbulkan pertumpahan darah di tanah Minang. Sekelompok orang, yang dikenal sebagai kaum Padri, sangat keras memerangi praktek bid’ah dan khurafat. Mereka mengobarkan jihad melawan kaum Adat.

Hasilnya, perang saudara bergolak selama dua puluh tahun (1803-1823 M) dan berakhir dengan sebuah kompromi yang dituangkan dalam semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Kiprah kekerasan kaum Padri direkam oleh Parlindungan. Sebagian klaimnya yang hiperbolis dibantah oleh Hamka.

Penganut salafi tidak otomatis teroris. Proses moderasi juga sedang berlangsung di kalangan mereka. Namun, secara hipotetis, salafi takfiri punya modal 50% untuk menjadi teroris atau menjadi pelaku tindak kekerasan. 

Agenda syirik undang-undang

Ada kelompok yang melangkah lebih jauh. Agenda pemurnian itu bukan sekadar memurnikan ubūdiyah dari praktek bid’ah dan khurâfat, tetapi memurnikan hukum dari inovasi manusia. Hukum itu hanya milik Allah. Hukum manusia itu thâghut. Pembuatnya, pelaksananya, penegak hukumnya, dan pendukungnya adalah anshârut thâghut.

Meskipun mereka Muslim yang menjalankan syariat (salat, puasa, zakat, dan haji), mereka adalah musyrik karena menyekutukan hukum Allah dengan hukum manusia. Mereka boleh diperangi dan dibunuh. Dibanding kelompok pertama, agenda kelompok ini sangat bersifat politis. 

Meski ada sejumlah paralelitas, tidak semua penganut agenda syirik kubur adalah penganut paham syirik undang-undang. Kedua kelompok ini malah banyak bentrok. Jangkauan dakwah kelompok pertama bersifat a-politis, berkutat soal pemurnian ibadah. Sebaliknya kelompok kedua sangat politis. Muara dari kajiannya selalu terkait penegakan syariat Islam melalui institusi negara. Anda pernah simak cuplikan video viral ustadz salafi yang mengecam pengasong khilfah, yang “berjemur di Monas”? Itu salah satu contohnya. Pun penganut ideologi syirik undang-undang tidak selalu berasal dari penganut ideologi syirik kubur. 

Anda pernah dengar DI/NII? Generasi pertamanya, di bawah SM Kartosoewirjo, adalah penganut Islam tradisional. SM Kartosoewirjo dilaporkan adalah penganut tarekat. Generasi pertama ini kelak pecah kongsi (infishal) dengan generasi kedua penganut ideologi syirik kubur sekaligus syirik undang-undang. 

Di sekitar kita sekarang ada juga kelompok Islam pengamal ‘syirik kubur’—dalam anggapan kelompok pertama, tetapi agenda politiknya NKRI Bersyariah menuju khilâfah alâ manhajin nubuwwah. Mereka sedang ‘nikah mut’ah’ dengan sebagian kelompok penganut ideologi syirik kubur.  

Secara hipotetis, penganut ideologi syirik undang-undang punya modal 75% untuk menjadi teroris. Stadiumnya lebih tinggi karena mereka mereduksi makna jihad sebagai perang fisik (jihâd qitâl) menegakkan pemerintahan Islam. Karena itu, mereka sering disebut sebagai salafi-jihadi. Jika mereka terjun melakukan amaliah, mereka resmi 100% teroris.  

Melawan radikalisasi

Sekarang ada kelompok penganut ideologi syirik undang-undang yang menolak disebut radikal. Dakwah mereka persuasif dan mengklaim cinta damai. Anda percaya? Saya tidak! Ideologi mereka, secara inheren, adalah manifestasi teologi kekerasan. Menuduh sesama ahli kiblat sebagai kafir karena menolak Khilâfah sebagai rukun iman adalah konstruksi kekerasan teologis. Orang kafir, pada gilirannya, boleh dibunuh dari perspektif fikih yang mereka anut.

Artinya, non sense penganut syirik undang-undang bersifat toleran, pluralis, dan cinta damai. Pada saatnya, jika cukup kuat, mereka akan melakukan cara kasar sebagaimana yang ditempuh kelompok pengusung khilafah di Timur Tengah. 

Dua kriteria ini adalah cara mudah saya menjelaskan radikalisme yang potensial dan aktual. Ketika Pansel KPK mengumumkan akan melibatkan BIN dan BNPT untuk mecegah paparan radikalisme pada capim KPK, ada orang tanya: apa kriteria radikal itu? Dua kriteria ini bisa dipakai. Saya menduga, ini baru dugaan, pegawai KPK—dan juga instansi pemerintahan lain, tidak steril dari penganut dua ideologi itu.

Sejauh ini, kelompok syirik kubur tidak menimbulkan ancaman vertikal langsung kepada negara. Namun, mereka tetap harus diwaspadai karena bisa menimbulkan gesekan horizontal akibat sikapnya yang gampang membid’ahkan. Kelompok penganut ideologi syirik undang-undang menimbulkan ancaman vertikal langsung karena berniat merobohkan nation-state. 

Kedua kelompok ini perlu dibendung. Caranya, regangkan hubungan penganut ideologi syirik kubur dengan syirik undang-undang. Sebab, jika ideologi itu menyatu dalam diri kebanyakan orang Islam, NKRI benar-benar di tubir senjakala. Ada yang bilang, isu khilafah adalah hantu untuk merepresi aspirasi politik umat Islam.

Saya tidak setuju. Ideologi khilafah di Timur Tengah pasca Arab Spring sukses melumat bangsa Arab dalam pertumpahan darah. Kita harus berjuang sekuat tenaga menangkal keberadaan mereka. Karena itu, saya menyesal sekali, sungguh sangat menyesal, jika DKI—sebagai miniatur kebhinekaan Indonesia—dipimpin oleh seorang Gubernur yang ‘main-main’ dengan kelompok ini. 


  • M Kholid Syeirazi Sekretaris Umum PP ISNU
Read More

Kamis, Juni 27, 2019

Jejak Felix Siauw & Sengkarut Kaitannya dengan Anies Baswedan

Jejak Felix Siauw & Sengkarut Kaitannya dengan Anies Baswedan

Penulis: Alamsyah M Dja'far
Kamis 27 Juni 2019 15:08
Ilustrasi foto/tempo

Atorcator.Com - Bagaimana Banser, Felix Siauw, dan Anies Baswedan bisa berkaitan di media beberrapa hari ini? Seorang wartawan dari Jakarta Post tadi sore “kepo” tentang kasus Felix Siauw yang diundang dalam pengajian masjid di Balai Kota Jakarta hari ini. Banser protes dan menggelar aksi demonstrasi di depan tempat Anies Baswedan berkantor. Bagaimana pandangan Anda? Pertanyaan rumit!

Saya bilang saja begini. Pertama-pertama kaidah yang harus dipegang bahwa kita harus menyepakati kebebasan menyampaikan pandangan dan gagasan hal dasar yang dijamin undang-undang. Maka aksi demonstrasi dan penolakan Banser atas Felix Siauw tak bisa disebut sebagai pelanggaran. Begitupun dengan hak Felix Siauw menyampaikan gagasannya.

Bukankah demo menolak presiden datang bukan pelanggaran? Ini bagian dari right to protest! Saya baru menemukan istilah baru: counter demonstration. Lain soal kalau ada kekerasan di dalamnya, termasuk ujaran kebencian baik yang dilakukan Banser atau Felix.

Bagaimanapun jejak digital Felix Siauw menunjukan ia “sangat kritis” dengan Pancasila dan kadang-kadang meminta negara melarang kelompok minoritas seperti Syiah. Saya tidak setuju dengan gagasan itu dan saya berhak menolaknya. Begitupun Banser. Tapi Felix berhak untuk menyampaikan gagasannya.

Nah, masalahnya, ini juga yang saya sampaikan ke wartawan ini. Kerumitan lainnya jika kita dihadapkan pada kasus di mana Felix Siauw mempromosikan HTI yang dinyatakan bubar oleh pengadilan.

Dalam perspektif pemerintah, tindakan itu dapat dianggap melanggar. Terus terang masalah pembubaran HTI ini juga banyak isu yang kita perlu bicarakan “tipis-tipis” yang terbentang dari isu freedom of expression, freedom of assembly, dan freedom of association. Intinya tidak mudah. Lain kali saya bakal bicarakan.

Tapi bagaimana dengan posisi Pemerintah DKI? Tanya wartawan lagi. Sulit untuk mengatakan Gubernur melanggar. Saya bisa mengerti jika Anies Baswedan mengatakan bukankah megundang dan Felix berhak berceramah, sesuatu yang dijamin di negeri ini? Pertanyaan itu sulit saya bantah.

Jadi, kata saya, ini tampaknya perkara kepantasan. Dan saya kira Anies telahmengerti dan sudah berhitung dengan apa yang sudah dipilih dan dinyatakannya di muka media. Semoga wartawan itu tak bingung dengan jawaban saya.

Selengkapnya bisa dibaca di islami.co


  • Alamsyah M Dja'far Staf peneliti di Wahid Institute
Read More