Lalu Kenapa Kalau Nabi Tak Bisa Baca Tulis? - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Kamis, April 04, 2019

Lalu Kenapa Kalau Nabi Tak Bisa Baca Tulis?

NU.or.id

Penulis: Abdul Rosyidi


Atorcator.Com - Saya percaya Nabi itu ummi, dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak bisa membaca dan menulis. Yang saya tidak percaya adalah logika kita di zaman ini yang meyakani bahwa "buta aksara" itu identik dengan bodoh dan terbelakang.

Buta aksara inilah justru yang menjadi kelebihan beliau. Nabi tidak terjebak logika teks, gramatika tulisan, yang kerap kali membelenggu.

Bukankah al-Quran sendiri adalah ujaran? Perhatikan bentuk rima, pengulangan, dan formulawi kelisanannya. Jelas sekali di sana bahwa Quran adalah lisan. Meski sudah dituliskan sekalipun, dia tetap lisan.

Karakternya sebagai ujaran membuat kitab suci ini selalu dekat dengan pendengarnya. Selalu aktual. Karena ujaran hidup bersama waktu. Sementara tulisan menjauhkan "yang mengetahui" dengan "yang diketahui".

Tapi zaman setelahnya, juga zaman ini, kita memperlakukan Quran sebagai teks mati yang tak hidup. Hilanglah makna dan relevansinya dalam kehidupan. Lalu kita juga memaksakan sejarah dengan mengharap Nabi sebagai yang menulis dan membaca.

Kadang saya suka mikir sendiri, apa jeleknya jika tak bisa baca tulis? Apakah orang yang tidak bisa baca tulis sama dengan bodoh?

Sepertinya asumsi kita tentang hal ini disingkirkan dulu untuk bisa mengetahui kebenarannya.

Dari dulu saya selalu bilang, kesalahan kita memahami sejarah adalah saat pikiran masa kini kita kerap digunakan untuk 'menghakimi' masa lalu. Padahal ada jarak dan ruang yang merentang jauh antara masa lalu dan saat ini. Alam pikir dan cara pandangnya pun niscaya berbeda. Tapi kita senang menghakiminya.

Itulah pentingnya ilmu seperti asbab an-nuzul, asbab al-wurud, sejarah, dsb. Untuk mengetahui masa itu dengan sebisa mungkin logika kehidupan masa itu.

Bagiku, Nabi yang ummi itu justru sangat membanggakan. Karena dia menjadi tidak berjarak dengan masyarakatnya. Beliau bersama detak kehidupan masyarakat.

Bukankah Ferdinand de Saussure juga meyakini bahwa bahasa itu ujaran, teks hanya menuliskan yang ujaran itu. Meski Derrida meyakini berbeda.

Masih banyak unek-unek yang belum saya tuliskan di sini. Mungkin akan saya tuliskan yang banyak itu dalam media lain yang lebih mendalam.

Ya, saya masih perlu pendalaman terkait hipotesis ini. Pagi ini saya niatkan untuk melanjutkan studi S2 dengan mengangkat tema ini. Entah kapan? Semoga ada jalan.



Baca juga