Juli 2018 - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Selasa, Juli 31, 2018

Gagal Paham: Belajar Memahami Kata "Ingin" dan "Mau" Ala Mahfud MD

Gagal Paham: Belajar Memahami Kata "Ingin" dan "Mau" Ala Mahfud MD

Foto: kompas.com


Beberapa hari yang lalu saya melihat YouTube, wawancara Aiman (wartawan Kompas TV) dengan Prof. Mahfud MD. Dalam wawancara tersebut nampak terasa enjoy dan santai, sudah tau bagaimana sosok Mahfud MD dan wartawan, Aiman. Wartawan kompas tv, Aiman dikenal sebagai wartawan yang cukup taktis dalam memberikan pertanyaan begitupun Mahfud MD, beliau sering memiliki seribu jawaban untuk menjawab pertanyaan, selama pertanyaan tersebut tidak keluar dari kapasitasnya.

Tema yang diusung dalam wawancara tersebut "Cawapres di saku Jokowi" tema yang menurut saya cukup menarik untuk dibahas belakangan ini. Banyaknya cawapres yang digadang-gadang sebagai pendamping Jokowi tentu membuat penasaran banyak orang, terutama bagi relawan dan masyarakat pada umumnya.

Dari sekian banyak bakal calon wakil presiden (Bacawapres), Mahfud MD adalah termasuk di dalam salah satu diantara mereka yang banyak diperbincangkan, bahkan ada sebagian mengatakan bahwa Mahfud MD adalah sosok paling tepat atau paling potensial untuk mendampingi Jokowi. Maka dari itu selaku wartawan, Aiman ingin tau lebih dalam bagaimana tanggapan Bacawapres yang terus digadang-gadang, sampai pada munculnya beberapa survei yang cukup mungkin untuk bisa dipercaya.

Dalam wawancara tersebut tidak hanya Mahfud MD yang menjadi sorotan aiman untuk diwawancarai, namun seluruh Bacawapres. Akan tetapi dalam ulasan kali ini saya ingin fokuskan pada sosok mantan ketua MK (2008-2013), Mahfud MD saja.

Pertanyaan yang diajukan oleh Aiman membuat Mahfud MD harus tegas menjawab tanpa ragu. Pertanyaan itu menurut saya memang cukup menantang dan harus dimunculkan belakangan ini.

Di tengah perhelatan politik yang cukup tinggi tensinya, cukup tinggi ambisinya, cukup tinggi arogansi kekuasaannya, saya rasa cukup bagus memberikan pertanyaan semacam itu. Pertanyaan yang sebenarnya tidak hanya patut disodorkan kepada Mahfud MD, tapi sayang saya melihat pertanyaan itu hanya ditujukan kepada Mahfud MD.

Apa sih sebenarnya yang ditanyakan wartawan, Aiman kepada Mahfud MD, pertanyaannya adalah "Pak Mahfud, Seberapa besar sih keinginan bapak untuk menjadi wakil presiden?" Tidak ingin, ya tidak ingin samasekali, jawab Mahfud MD, jawaban yang cukup cepat dan akurat menurut saya, beliau seperti tidak perlu berpikir panjang untuk menjawab pertanyaan itu. Bahkan dari saking tangkasnya jawaban itu, aiman belum bisa percaya sepenuhnya dengan jawaban itu. Berkali-kali ia meyakinkan diri atas jawaban Mahfud MD.


Sehingga aiman memberikan pertanyaan baru yang sebenarnya cukup menjebak "Bagaimana jika suatu saat pak Jokowi mengajak pak Mahfud untuk jadi wakil presiden, apakah bapak juga tidak ingin? Tidak "ingin" dan tidak "mau" itu berbeda loh ya, jawab Mahfud MD. Wartawan Aiman dibuat bingung oleh jawaban Mahfud MD, ia marasa sulit untuk menggambarkan jawaban Mahfud MD.

Kemudian Mahfud Menjelaskan bahwa keinginan itu adalah melakukan langkah-langkah agar menjadi kenyataan, misalnya mendekati dan merayu pimpinan politik, datang ke wartawan agar selalu disiarkan, minta dimasukkan ke survei, memasang baliho, memasang iklan, menyuruh orang agar membuat buzzer-buzzer untuk memperkuat dirinya. Begitulah penjelasan Mahfud MD.

Memang ia, walaupun Mahfud MD tidak menjelaskan secara gamblang apa itu kemauan. Seyogyanya kita bisa menarik konklusi, bahwa kamauan itu sejatinya memang berdasarkan pada hati nurani, tidak dibungkus oleh ambisi (dalam tanda kutip). Dan kebanyakan, munculnya kemauan karena ada beberapa faktor dorongan yang cukup tinggi dan mulia sehingga muncul kesungguhan dan keikhlasan dalam bertindak dan memutuskan sesuatu.

Nah, sedangkan jika misalkan Mahfud MD diminta untuk jadi wapres oleh Jokowi dengan bentuk penawaran dan dibungkus dengan pertanyaan, maka seharusnya jawaban yang tepat adalah "mau" atau tidak, bukan "ingin" atau tidak. Inilah konotasi yang membedakan antara ingin dan mau. Sehingga tidak terkesan ada ambisi kuat di dalam dirinya.

Jika pun ada pertanyaan semacam itu, Mahfud MD tidak mungkin akan menjawab secepat dan setangkas itu. Karena sudah beda ranahnya. Bukan "ingin atau tidak" lagi tapi "mau apa tidak". Ketika sudah seperti itu maka secara konotatif kemauan itu didasarkan pada hati dan pertimbangan yang kuat berdasarkan Bashirah.

Untuk menarik benang merah dari dialog dan wawancara itu, tentu sangat penting sekali. Termasuk hal-hal yang dilakukan di dunia ini, apakah berdasarkan pada kemauan ataukah keinginan? Maka dari itu, kata "ingin" dan "mau" tidak selamanya memeliki perbedaan, tergantung situasi dan kondisi yang berlaku. Kalau dalam konteks politik yang di alami Mahfud MD memang harus dibedakan karena lebih pada perebutan jabatan yang mana hal itu sering disampaikan Mahfud MD, jabatan sudah ditentukan di lauh Mahfudz, ngapain harus dikejar mati-matian.

Jika konteksnya belajar atau mencari ilmu apakah masih ada perbedaan antara kemauan dan keinginan? Jelas dua-duanya harus sama dijalankan dan diinstalasikan. Jika ingin memakai definisi kontekstualnya Mahfud MD dalam mengartikan keinginan, maka keinginan harus menjadi prioritas dalam belajar. Begitu juga dengan kemauan yang tidak perlu dipetakan dalam konteks belajar seperti halnya dalam konteks politik yang sarat dengan jebakan yang sering menimbulkan interpretasi yang kurang baik. Dalam belajar harus ada kemauan yang kuat sejalan dengan keinginan yang kuat.

Untuk menjawab pertanyaan itu memang butuh kehati-hatian, jawaban yang cerdas, tepat dan tangkas. Dari penjelasan di atas sudah cukup memberikan pencerahan bagi politisi yang ambisi dalam meraup kekuasaan.

Sebagai sosok inspiratif yang belakangan ini merapat ke pemerintah dan lahir dari keluarga Nahdhiyyin, tentu sangat diharapkan kiprahnya untuk kemajuan bangsa ini kedepan. Mahfud MD adalah Tokoh figur yang moderat yang sudah banyak memberikan pengaruh terhadap bangsa ini. Walaupun demikian, saya berharap Indonesia tetap memegang peranan penting dan kendali yang bagus dalam memajukan bangsa ini.

Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang

Read More

Minggu, Juli 29, 2018

Kerusakan Moral Akibat Alergi Bernostalgia dengan Desanya

Kerusakan Moral Akibat Alergi Bernostalgia dengan Desanya

Ilustrasi
Penulis: Moh Syahri


Masa kecil saya (22 tahun lalu), dunia masih tidak segaduh dan seheboh ini. Hidup di tengah masyarakat desa memang memiliki suatu kelebihan yang sangat luar biasa. Mulai dari indahnya bergotong royong, santun dalam berinteraksi, rendah hati dalam bersikap, dan cair dalam bergaul. Khususnya di daerah tempat saya tinggal. Disamping memang  atmosfer buminya asri, nyaman dan sejuk warganya pun sering menampakkan wajah yang demikian. Ada keserasian antara warga dan bumi yang dipijaknya.

Anak-anak desa memang dididik untuk bersikap ramah dan lemah lembut. Belajar menghargai pendapat orang, belajar menghargai karya orang. Belajar untuk tidak tamak, serakah, berlebihan dalam kebutuhan dunia, dendam, dan nafsu kekuasaan dan nafsu-nafsu buruk lainnya. Bahkan tak sendikit juga banyak yang toleran terhadap orang lain dan lingkungannya.

Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan dalam setiap pergaulan. Titah orang tua tidak sekedar sebagai perintah saja, namun juga banyak yang mempraktekkan untuk bisa ditiru. Orang tua juga banyak memberikan suntikan religiusitas dan suntikan moralitas sampai anak-anak tersebut benar-benar dewasa dan bijak dalam menjalani kehidupan. Artinya, orang tua memang benar-benar memperhatikan betul pergaulan anak-anaknya. Tidak melulu dipasrahkan penuh kepada gurunya.

Setiap harinya bisa dipastikan banyak kegiatan yang berupa ibadah sosial, seperti bagi-bagi makanan setiap malam Jumat untuk menyedekahi para leluhurnya. Bahkan tak jarang juga kegiatan keagamaan seperti ngaji Yasin dan tahlil bersama setiap malam Jumat, yang kadang-kadang hal hal itu sampai menjadi sebuah keharusan bahkan bisa jadi kewajiban bagi sebagian mereka yang memiliki banyak harta dan hajat. Ini salah teladan dan peninggalan/warisan sejarah terbaik buat generasi selanjutnya.

Pertanyaannya sekarang, apakah saat ini sudah tidak damai dan indah? Tentu Ini merupakan pertanyaan yang semestinya banyak memunculkan jawaban yang berbeda-beda, tergantung dimana kita bertempat tinggal. Mungkinkah praktek sosial seperti di atas bisa kita pertahankan?

Kondisi dan situasi sekarang ini memang ada sedikit pergeseran dari yang biasanya peramah menjadi pemarah, yang biasanya aman dari fitnah menjadi cemas karena fitnah. Perasaan ini tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua orang saja, tetapi sudah dirasakan oleh masyarakat yang daerahnya sudah maju dan berkembang dimana teknologi informasi begitu cepat menyeruak ke permukaan. Sehingga masyarakat terus dihadapkan dengan berbagai macam informasi yang tidak jelas, asli atau palsu. Banyak propaganda-propaganda marak dari sumber yang tidak dapat dipercaya dijadikan pegangan kuat yang mengendap dalam akal mereka.

Situasi ini jelas akan banyak memberikan pengaruh besar kepada generasi berikutnya. Indonesia memang sedang sakit moral, sepertinya penyakit ini sulit disembuhkan jika publik figurnya belum bisa mempertontonkan kedewasaan dalam bersikap dan bertindak. Artinya ketegangan-ketegangan yang terjadi saat ini banyak dipengaruhi oleh faktor hegemoni keduniawian sehingga masyarakat tidak terdidik.

Beberapa hari ini saya melihat tontonan di media sosial yang kurang menarik untuk dinikmati, kurang baik untuk disuguhkan kepada mereka yang masih labil. Namun karena media tidak membatasi usia maka tontonan ini mudah sekali dilihat dan dinikmati banyak orang. Sebenarnya semua ada pada diri kita masing-masing, bagaimana menyikapinya.

Orang-orang hebat banyak dilahirkan dari keluarga yang miskin, hidup di desa. Kehebatan mereka banyak dicetak oleh orang tua yang ada di desa. Mereka dulu juga pernah merasakan damainya dunia, dan mereka dulu juga pernah menikmati indahnya suasana. Namun karena perkembangan zaman yang semakin menantang, maka mereka pun dituntut untuk merubah gaya hidupnya sehingga sangat mudah melupakan masa lalunya. 

Sedikit sekali rasanya dari sekian banyak orang hebat untuk bisa bernostalgia dengan desanya, menyapa desanya, bergaul lagi dengan warganya. Ikut ngaji dan tahlil bersama, kembali merajut asa yang sudah lama terlupakan demi masa depan yang lebih baik. Sehingga proses pendewasaannya sangat mudah diingat. Kecenderungan untuk terus menikmati dan menjaga kesehatan akal dan pikiran untuk bisa dihayati oleh hati akan sangat membantu dalam proses belajar hidup di hari-hari berikutnya.

Allah menciptakan memori pada manusia untuk menyimpan, sebagaimana juga menciptakan imajinasi untuk merekayasa masa depan. Orang yang kehilangan akal memorinya dianggap sakit oleh dokter sekaligus masyarakat. Dan dia tidak bisa membangun masa kininya atau masa depannya, kecuali berdasarkan masa lalunya.

Syauqi rahimahumullah pernah menggoreskan syairnya;

"Perumpamaan kaum yang melupakan sejarahnya 
Bak Orang hilang merana di tengah perkampungan 
Atau seorang yang tertimpa sakit memori
Mengadu masa lalunya yang sirna tak diingati"

Wallahu a'lam bisshowab
Read More

Sabtu, Juli 28, 2018

Benarkah Bacaan Shalat Ada Korelasinya dengan Keutuhan NKRI?

Benarkah Bacaan Shalat Ada Korelasinya dengan Keutuhan NKRI?

internet

Penulis: Moh Syahri

Pagi tanggal 28 juli 2018, saya mengikuti pengajian kepengasuhan dengan kitab mursyidul amien yang dibacakan langsung oleh pengasuh pesantren mahasisiswa Al-Hikam Malang, Drs. KH. Mohammad Nafi’. Dalam pengajian kali ini beliau tiba-tiba merasa sangat tidak pantas dengan apa yang beliau bacakan karena saking dahsyatnya isi dari fasal tersebut. Kebetulan fasal yang dibacakan waktu itu adalah fasal tentang syarat bathin dalam mengerjakan amalan-amalan hati. Bahkan beliau berpesan untuk sering-sering mengulang-ulang bacaan ini atau fasal ini karena ini sangat penting dalam menentukan kualitas ibadah, seperti shalat, haji dan ibadah lain.

Fasal yang dibaca pada saat itu tentu menjadi perhatian khusus bagi siapapun yang merasa dirinya masih menghamba kepada Allah Swt. Dalam keterangan kitab tersebut banyak mengacu pada ritual keagamaan yang berhubungan langsung dengan Allah Swt, seperti shalat.
Eksistensi sholat tidak hanya dipandang sebagai gerakan semata melainkan sebagai wujud dan representasi dari pergulatan hati untuk selalu mengingat Allah Swt. Maka seharusnya kita bisa menjaga kekhusyu’an dalam beribadah, agar orientasi ibadah kita semakin efektif, kontruktif dan produktif.

Imam Ghazali mengatakan bahwa “kualiatas ibadah seseorang akan nampak jika pada saat sholat menghadirkan hati untuk mengingat Allah” rasanya hal ini sulit untuk terus kita komitmenkan, namun tidak ada salahnya untuk terus berlatih memfokuskan hati dalam rangka untuk mencapai ibadah yang berkualitas. Tidak ada hal yang mustahil di dunia ini, kemustahilan itu hanya didapat oleh mereka yang tidak berani jatuh bangun dalam berusaha. Sama halnya kita belajar meniti hati sedikit demi sedikit.
Kemudian Imam Ghazali melanjutkan perkataanya “untuk mencapai tingkat kesempurnaan dalam menghadirkan hati saat shalat adalah dengan cara memahami bacaan shalat, mengagungkan, merasa takut, selalu berharap yang baik-baik, dan rasa malu”. Akan tetapi pada kesempatan kali ini saya hanya akan menganalisis dari sisi bacaan sholat yang harus dipahami betul. Buat saya sangat menarik untuk melihat lebih jelas. Sebenarnya apa yang terkandung dalam bacaan sholat, sehingga saya begitu getol untuk mengajukan pertanyaan seperti judul di atas.

Dari saking pentingnya akan memahami bacaan sholat, Drs. KH. Mohammad mewanti-wanti santri untuk bisa memastikan pemahaman akan bacaan sholatnya, yang kemudian hal itu akan dijadikan syarat untuk masuk pesantren sebagai santrinya. Melihat ini, saya sangat setuju dan apresiatif. Setahu saya praktek seperti ini jarang dilakukan oleh banyak pesantren, ada beberapa pesantren saja di sumenep yang pernah mempraktekkan seperti ini, semoga tetap berlanjut.

Kebanyakan pesantren masih banyak yang terjebak dengan identitas saja. Lebih banyak yang bangga dengan hanya bisa mengantarkan santrinya juara puisi dan juara pidato, tetapi lupa akan esensi dari pesantren tersebut. Sebenarnya bukan sesuatu yang salah dan melanggar jika ada pesantren banyak mencetak santri yang tajam dari sisi intelektual. Namun sangat disayangkan jika masih tumpul dari sisi spiritual.

Pesantren bukan tempat adu identitas, tapi tempat berlomba-lomba dalam menunjukkan kualitas baik dari sisi moralitas, spritualiatas, maupun intelektualitas. Identitas bisa menjadi lenyap, akibat kuatnya desakan ruang dan waktu dimana ia harus mengambil manfaat dari sebuah kehidupan yang kemudian membuatnya tidak sanggup lagi tampil menjadi dirinya sendiri. Suatu tindakan yang lebih tepatnya “bunuh diri sebelum mati”.

Maka dari itu, untuk menjawab pertanyaan dari judul di atas, sebenarnya alternatif yang memang sudah tidak ada jalan lain. Saya ingat pesan Prof. Imam Suprayoga ketika beliau mengisi acara semiloka dengan tema “Deradikalisasi Agama Islam” di Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Aly Al-Hikam Malang. Prof. Imam Suprayogo menyampaikan bahwa Indonesia ini bisa menjadi aman sejahtera manakala sholatnya terus diperbaiki. Sebab dari sekian banyak eksprimen yang dilakukan oleh para ahli, nampaknya para ahli sudah kehilangan ide untuk mencegah berbagai macam teror yang sering mengobrak-abrik bangsa ini. Maka hal yang patut menjadi ide terbaik kali ini demi keamanan NKRI adalah dengan shalat yang benar. Bagaimana cara untuk bisa shalat yang benar, maka tidak lain dan tidak bukan adalah dengan cara khusyu’ seperti keterangan di atas.

Kategori khusyu’ menurut Imam Al-Ghazali salah satunya adalah dengan memahami bacaan dalam shalat. Maka penjelasan kedua tokoh di atas ini mengenai pentingnya memahami bacaan shalat jelas memiliki korelasi dengan keutuhan NKRI. Hal ini yang banyak tidak disadari oleh orang islam indonesia sebagai rakyat mayoritas di Indonesia. Kalau kita lihat secara seksama dalam literatur ilmu fiqh bacaan sholat yang wajib tidak terlau banyak, akan tetapi ini sering disepelekan oleh sebagian umat. Akibatnya bangsa ini sering gaduh dan kurang harmonis.

Wallahu A'lam Bisshowab
Read More

Selasa, Juli 17, 2018

Bedanya Politisi dan Akademisi

Bedanya Politisi dan Akademisi

Internet

Penulis: Moh Syahri

Akademisi dan politisi memang banyak memiliki perbedaan, mulai dari definisi, manfaat dan tujuannya. Politisi adalah orang yang berkeinginan untuk mendapatkan kekuasaan dari mempertahankan sampai memanfaatkannya. Sedangkan Akademisi adalah orang yang memiliki pendidikan tinggi, baik sebagai pendidik ataupun tidak.

Seorang politisi selalu memiliki banyak cara untuk mendapatkan kekuasaan. Maka dengan cara seperti itu cenderung memiliki pemikiran yang subjektif, mencari untung, dan condong memihak.

Politisi selalu menjaga jarak dengan orang-orang yang dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan partainya, apalagi memang dilihat berbahaya dan tidak menguntungkan. Tiap harinya selalu dihadapkan dengan persaingan yang semakin ketat, mulai dari aktivitas menarik simpati dan mengatur strategi kemenangan.

Yang dipikirkan politisi hanya soal menang dan kalah, bukan benar atau salah. Tetapi bagi akademisi yang dipikirkan adalah benar dan salah, walaupun menang dan kalah juga menjadi satu pertimbangan yang kuat. Akan tetapi rasionalitas menang dan kalah dari seorang politisi dan akademisi sangatlah berbeda. Cakrawala berpikirnya seorang politisi masih dibatasi oleh kepentingan yang bersifat pribadi atau kelompok. Politisi jauh dari kata moderat. Sedangkan Akademisi masih dimungkinkan untuk moderat.

Sikap totalitas yang ditunjukkan Politisi benar-benar membuktikan spirit kekhidmatan terhadap partainya. Bahkan harus memiliki komitmen yang kuat dalam membangun semangat kebersamaan untuk kekuatan partainya.

Bagi politisi semua bisa jadi kawan baik dan sejati tergantung seberapa besar koalisi itu bisa memberikan penghasilan dan menguntungkan. Kerjasama selalu berjalan mulus dan bersih sepanjang dalam masa koalisi itu tidak terjadi penghianatan.

Dari penjelasan ini, sudah barang tentu, bahwa politisi bukan orang yang mudah diajak kompromi oleh orang yang tidak sejalan dengan partainya, orang yang tidak searah dalam mengatur strategi apalagi beda dalam visi dan misinya.

Rasanya sulit bagi politisi untuk tidak menemukan musuh dan pesaing berat. Sehari-harinya selalu ada dalam ruang kompetisi, selalu mendapatkan tantangan berat dari kompetitornya.

Sedangkan akademisi cenderung memiliki pola pikir yang visioner dalam bidang tertentu, berpikir objektif, dan toleran. Walaupun demikian, ternyata ada juga akademisi yang menyelami urusan politisi. Dan itu sah-sah saja selama urusan itu tidak keluar dari dunia akademiknya, paham substansi perpolitikan dan tau batas-batas akademiknya. Sehingga tidak ada yang aneh dan ngaurrrr kelihatannya jika akademisi ikut campur urusan politisi. Misalnya akademisi jadi pengamat politik, jadi timses, jadi simpatisan dan lain-lain.

Dengan demikian, akademisi tidak boleh terlalu larut dalam dunia politik. Namun tidak ada larangan dalam berpolitik. Jika politik dimasukkan dalam urusan akademik maka sangat mungkin dan potensial untuk tidak maju dan tak bermutu. Netralitas tentu menjadi senjata utama dalam mengendap politik. Sehingga kejujuran dan keterbukaan sebagai akademisi tetap bersih dan terjamin.

Bicara soal akademisi, akademisi cenderung memiliki konsep berbeda dengan politisi. Misalnya soal kalah dan menang. Akademisi masih berpikir objektif, walaupun satu sisi ia harus mengusung kandidat untuk dimenangkan dalam pemilihan. Tidak ambisius soal meraih kemenangan, kalah pun tidak terlalu kecewa. Jika kalah ya kalah saja, jika menang tidak terlalu euforia berlebihan.

Sebenarnya kemenangan bagi akademisi saat dirinya mampu menghasilkan karya-karya ilmiah, merawat nalar, dan terus berpikir demi kemajuan pendidikan yang kompetitif. Kekalahan bagi akademisi saat dirinya tidak mampu menghasilkan sesuatu, baik secara ilmiah maupun non ilmiah, mampu mengantarkan dirinya pada posisi strategis dalam membangun masyarakat sejahtera.

Dalam dunia politik kemenangan itu hanya didapatkan oleh satu orang saja. Bagi akademisi, ijtihad politik merupakan proses menuju kedaulatan rakyat bukan hanya kemenangan partai politik tertentu dan kelompok tertentu. Memang di awal narasi seperti ini sering dimunculkan oleh politisi ke depan publik sebagai penarik perhatian, tapi pada faktanya itu hanya wacana belaka saja, dari dulu pasti ada oposisi. Dan ini menandakan bahwa oposisi menganggap kemenangan hanya dirasakan oleh partai dan kelompok tertentu.

Jadi tidak heran, jika akhir-akhir ini banyak kalangan akademisi menjadi pengkritik pemerintah seolah-olah mewakili rakyat yang menderita bukan mewakili oposisi yang belum bisa menerima kekalahan. Tidak puas dengan hasil kerja pemerintah memang sesuatu yang harus ada dalam dunia politik. Dan itu wajar-wajar saja selama dalam kritik dan ketidakpuasan itu tidak ada unsur kebencian dan dendam. Tapi murni untuk membangun kesejahteraan masyarakat.

Perbedaan ini sesuatu yang patut diapresiasi, karena ini merupakan Sunnatullah. Maka dari itu saya sering mengamati perbedaan ini di media sosial, baik dari logika politiknya politisi dan logika politiknya akademisi. Dari cari pandangnya, keduanya sarat dengan nilai-nilai persatuan, hanya saja konotasinya yang sedikit berbeda. Sebab gelagat seseorang juga sangat mudah ditebak, sehingga perbedaan itu sangat indah untuk dinikmati.

Dua-duanya sangat berbeda sekali bukan lagi dalam hal menang dan kalah, tetapi dari sisi retorika yang mereka sampaikan atas kemenangan dan kekalahan itu. Bagi akademisi kekalahan itu biasa, makanya tidak ada akademisi yang ngotot mencari kemenangan jika ia sudah dipastikan kalah. Tetapi beda dengan politisi, ia akan mencari-cari penyebab kekalahan dan ngotot mengajukan gugatan ke MK atas kekalahan yang menimpanya.

Sikap legowo tentu menjadi identitas terpuji bagi politisi dan akademisi, dengan menunjukkan sikap respek dan toleran terhadap siapapun yang berbeda pandangan.

Wallahu a'lam bisshowab
Read More

Senin, Juli 16, 2018

Berbicara, Soal Keberanian Bukan Kemampuan

Berbicara, Soal Keberanian Bukan Kemampuan

Sumber foto: wali sembilan.com

Penulis: Moh Syahri

Tidak hanya dalam satu kesempatan, saya dihadapkan dengan seseorang yang selalu menyecar pertanyaan, kawan, piye carane lek mau ngomong koyok sampean? Ini pertanyaan yang banyak saya dapatkan dari seorang kawan baik dari kalangan akademisi, praktisi dan santri saat saya menghadiri acara simposium dan diskusi. Entah apa yang mereka temui dari diri saya ini ketika hendak berbicara baik berbicara didepan publik ataupun hanya sekedar diskusi di kelas maupun di tempat yang terbatas.

Kelincahan dalam berbicara memang satu sisi sangat penting, hanya saja hal ini banyak diantara mereka yang masih gagap dan enggan untuk berbicara, bukan berarti mereka gak bisa atau gak ahli, dikarenakan tidak biasa dan tidak dibiasakan. Dalam hal bicara memang memiliki konsekuensi dan resiko yang harus dipertanggungjawabkan lebih-lebih saat mengutarakan sesuatu di depan publik. Hal ini seharusnya tidak boleh dijadikan alasan penghambat berbicara karena tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang mereka utarakan. Tetapi jadikanlah hal ini sebagai tantangan untuk terus bisa berbicara walaupun harus diminta pertanggungjawaban.

Hal mendasar untuk melatih keberanian berbicara adalah berani bertanya saat diskusi dan berani menjawab, walaupun itu hanya pertanyaan dan jawaban yang sederhana. Berangkat dari itu semua, akan bisa membangun keberanian dalam berbicara.

Misalnya dalam diskusi dan forum-forum ilmiah, banyak saya temui diantara mahasiswa maupun kalangan santri masih enggan dan gagap berbicara untuk mengungkapkan gagasannya atau hanya sekedar bertanya, mereka lebih banyak diam daripada berbicara, mereka masih menganggap bahwa diam adalah emas, namun saat di luar forum banyak yang pintar berbicara. Bahkan melebihi apa yang dibicarakan saat forum berlangsung. Boleh jadi diamnya itu hanya sekedar untuk mencari aman. Ini yang sangat berbahaya terhadap diri mereka sendiri.

Saya sudah melewati fase-fase seperti itu, dulu saya adalah orang yang paling males diajak bicara, malu, dan takut apalagi berdebat dan diskusi. Tapi setelah saya mondok, kebetulan di pondok ada program muhadhoroh dan diskusi (Bahtsul Masail), saya memberanikan diri untuk ikut terlibat dalam kegiatan itu, dengan bertanya dan menjawab. Awalnya saya juga gugup. Jawaban dan pertanyaan yang saya lontarkan terus dibantah habis-habisan oleh teman-teman, pertanyaan tidak berbobotkah, jawaban tidak masuk akal. Semuanya saya nikmati dengan gembira dan senang hati dengan terus mencoba memperbaiki diri (introspeksi diri). Seiring dengan berjalannya waktu, Alhamdulillah saya bisa mengisi kultum, memberi sambutan dan moderator seminar tingkat nasional berkali-kali.

Saya melihat berbicara bukan soal kemampuan tapi soal keberanian dan kebiasaan. Generasi kita masih banyak yang takut untuk mengungkapkan gagasannya di depan publik baik secara verbal maupun nonverbal. Berani berbicara dan menuangkan gagasan merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri

Berbicara di depan publik memang tidak mudah, butuh persiapan yang matang, lebih-lebih melatih mental. Karena mental yang kuat akan menentukan alur pembicaraan. Tak jarang saya jumpai beberapa mahasiswa dan kalangan santri yang sudah memiliki mental yang luar biasa namun apa yang dibicarakan tetap tidak mengenak terhadap esensi pembicaranya. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman terhadap apa yang dibicarakan. Salah satu contoh saat diskusi atau dalam bahasa pesantrennya, Bahtsul Masail, atau dalam berpidato.

Bagi orang yang sudah biasa memberi sambutan atau berpidato di depan banyak orang, maka ia tidak akan ragu dan mundur untuk menyambut hal itu, akan tetapi bagi mereka yang tidak terbiasa berbicara di hadapan orang banyak, berpidato dan berdiskusi dengan tanpa ampun mereka akan mundur dengan sendirinya.

Melihat fenomena ini saya langsung terbesit dalam benak saya, bahwa proses belajar yang kita tekuni setiap hari banyak dilatih untuk mendengarkan saja, yang hal itu sangat berpengaruh terhadap kecakapan siswa ataupun mahasiswa dalam berbicara. Proses seperti ini rasanya kurang efektif dalam melatih siswa ataupun mahasiswa untuk melatih kecakapan berbicara. Akibatnya siswa ataupun mahasiswa dibuat pasif di kelas.

Siswa ataupun mahasiswa seharusnya dilatih untuk berani mengungkapkan pikiran-pikirannya baik di kemas dalam bentuk diskusi ataupun yang lain, baik secara tulisan ataupun tidak. Proses belajar dengan pola seperti itu sebaiknya perlu ditingkatkan lagi. Agar pembicaraan di dalam kelas tidak hanya didominasi oleh guru melainkan siswa juga mampu berbicara dan berani' mengungkapkan gagasannya.

Apa penyebab dari semua ini sehingga kita terus terlelap, menunduk dan tidak bisa angkat bicara, satu hal yang perlu diperhatikan yaitu mengubah mindset dan kultur. Seorang pendidik harus sepenuhnya memberikan kebebasan dalam menciptakan sesuatu. Dengan pengawasan yang ketat tanpa harus mengekang  dan tidak keluar dari batas normal. Sehingga tujuan utama dari proses belajar akan mudah tercapai, baik dari sisi moral maupun keahlian (profesional).

Wallahu a'lam
Read More

Sabtu, Juli 14, 2018

Miskin Teladan Di Era Millenial

Miskin Teladan Di Era Millenial

Sumber foto: internet
Penulis: Moh Syahri

Kekhawatiran ini tidak hanya hanya terlintas di benak orang tua kepada anak-anaknya. Ini merupakan masalah kita bersama yang harus kita cari solusinya. Bayangkan kita setiap hari dihadapkan dengan berbagai ancaman dan cercaan yang begitu massif dan luar biasa karena sebuah perbedaan. Setiap saat kita selalu dihidangi semacam ketakutan dan kecemasan. Arenanya bukan hanya di media sosial namun sudah menyeruak ke dunia nyata. Kehebohan yang sering muncul di pemberitaan mengenai bejatnya moral banyak diisi oleh kaum muda. 

Kasus pemerkosaan, mabuk-mabukan dan hubungan sek antara laki-laki dan perempuan semakin banyak terjadi dimana-mana, sopan santun dan keramahan semakin hilang ditelan masa. Pencurian dianggap sebagai torehan prestasi. Penipuan dianggap sebagai hal yang membanggakan. Kejadian ini sungguh sangat memprihatikan. Kegiatan belajar banyak disita oleh pengaruh internet dan media sosial. Beragam kejadian yang sangat memalukan dipertontonkan di depan publik. Maka dampak buruk dari kejadian itu akan dapat mempengaruhi kaum generasi muda baik secara psikologis maupun sosiologis.

Dengan kata lain, setiap kebaikan dan keburukan yang ditampilkan dalam keseharian, menurut Erving Hoffman (presentation of self in everyday life), akan jadi faktor penentu bagaimana asosiasi baik atau buruk akan melekat pada dirinya melalui penafsiran orang lain

Cepat atau lambat, kita akan dihadapkan dengan berbagai fenomena yang sangat luar biasa pengaruhnya. Instrumen transformatif sangat mudah ditemui, dan arusnya deras sekali. Fitnah terus bertebaran dimana-mana tak terbatas oleh ruang dan waktu. Mirisnya, melakukan fitnah dianggap hal yang normal.

Dimanakah posisi hati nurani kita saat disatu pihak kita berpenampilan alim, namun disi lain fitnah dilakukan terus? Banyak orang pandai dan bijak mengatakan, bahwa jejak dari kemampuan kita dalam melaksakan ajaran agama, bukan pada kenampakan fisik kita yang alim dan religius. Namun lebih terlihat pada perilaku kita yang sholeh, ujaran kita yang mendamaikan dan pemikiran kita yang rahmatan lil alamin.

Penampilan yang terlihat sholeh belaka ternyata tidak menjamin orang itu berperilaku sholeh. Berapa banyak orang-orang yang kelihatannya alim, ternyata tersangkut perkara kejahatan(korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, video porno dan sebagainya). Ini menambah bukti, bahwa atribut keagamaan digunakan untuk pencitraan diri dan kelompok. Tetapi kita tahu sendiri, banyak pula orang-orang seperti itu dihinakan oleh Allah SWT melalui terbukanya kepalsuan mereka.

Yang tidak kalah menarik adalah pemimpin, selain memang menjadi pemimpin seharusnya juga harus menjadi panutan bagi umat. Tak cukup dengan kerja dan kerja. Tetapi tunjukkan rasa hormat dan akhlak yang baik, bekerjalah sesuai dengan aturan yang berlaku. Bekerjalah dengan jujur dan adil sejak dalam pikiran sampai mampu mewujudkan kesejahteraan.

Beda fase, jelas memiliki banyak perubahan. Berkembangnya teknologi informasi ini memberikan dampak yang semakin kentara. Ini banyak dirasakan oleh mereka yang menikmati media sosial. 

Media sosial sejatinya adalah tempat menuangkan gagasan dan tinta-tinta keabadian dan penyambung tali silaturahmi. Bukan sebagai platform adu gengsi dan permusuhan. Bukan sebagai tempat untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Dan bukan sebagai tempat meluapkan emosi dan kebencian.

Dekadensi moral memang sangat riskan. Bukan hanya terhadap diri mereka sendiri, tetapi bagi masyarakat, bangsa dan tanah air. Maka pantas jika tokoh figur itu sangat penting di negeri ini. Ulama yang seharusnya menjadi objek kunjungan masyarakat sebagai penunjuk jalan yang benar menurut Allah SWT, malah dialih fungsikan sebagai kunjungan para politikus untuk menggaet kursi kekuasaan.

Ini sebenarnya siapa yang salah, ulamanya atau Politikusnya? Terlepas dari kesalahan mereka, yang harus diperhatikan adalah bagaimana kita menyikapi hal seperti itu. Oleh karena itu, saya tertarik dengan pesan prof. Imam Suprayogo, maka yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana kekeliruan itu tidak berkepanjangan, dan dipertontonkan secara terbuka kepada generasi muda. Jika ada kesalahan atau kekeliruan selama ini harus segera disadari dan kemudian diperbaiki. Apa yang kita pandang selama ini benar, belum tentu pada kenyataannya benar. Sebaliknya, apa yang kita pandang salah, belum tentu hal itu salah. Karena itu melakukan perenungan kembali, dan apalagi selalu memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa seharusnya dilakukan sepanjang waktu. 

Untuk mencari tokoh teladan yang benar-benar bisa dipercaya dan bisa bertanggung jawab secara moral, saya rasa sangat sulit. Karena semuanya serba jatah dan kepentingan. Inilah problematika umat yang saya alami di negeri ini. Walaupun tidak semuanya, tetapi ini sebagian dari bumerang dan pemantik bagi yang lain.

Kesigapan tokoh agama maupun tokoh politik dalam menangani konflik sosial kurang begitu saya rasakan di negeri ini. Tokoh agama dan tokoh politik kebangsaan seharusnya memposisikan dirinya sebagai figur yang moderat yang tidak condong ke salah satu pihak, golongan tertentu dari berbagai sektoral, agar posisi tawarnya semakin kuat di mata masyarakat.

Wallahu a'lam bisshowab
Read More

Jumat, Juli 13, 2018

Lebih Baik Kalah Dengan Negara Lain Asalkan Bukan Dengan Malaysia

Lebih Baik Kalah Dengan Negara Lain Asalkan Bukan Dengan Malaysia


Perjuangan yang cukup membanggakan buat timnas U-19 yang baru saja bertanding melawan Malaysia di semi final piala AFF 2018. Walaupun akhirnya berakhir dengan Kekalahan. Kekalahan adalah akumulasi dari banyaknya kesalahan. Kemenangan adalah akumulasi dari banyaknya kebenaran.

Saya tidak habis pikir dengan timnas kita yang setiap bertanding dengan Malaysia selalu kalah dan kalah. Timnas kita tidak perlu diwanti-wanti untuk terus belajar dari kekalahan dan kesalahan. Ia sudah menyelami dunia kekalahan yang nyata dan berulang-ulang kali.

Sepertinya mindset timnas kita perlu dirubah "kita tidak perlu belajar dari kekalahan dan kesalahan tapi kita harus belajar dari kemenangan dan kebenaran". Mungkin dengan mindset seperti ini dapat meningkatkan kualitas permainan, dapat memenangkan permainan walaupun hanya dengan skor tipis. Memang permainan pasti ada kalah dan menang, tetapi kemenangan tetap menjadi dambaan dan prioritas. paling tidak jika harus kalah, kalahlah dengan terhormat.

Kalah terhormat artinya, kekalahan itu bukan pengaruh kultur pertandingan di Liga Indonesia tempat asal pemain Timnas yang cenderung kasar dan brutal. Sementara hal itu tidak menunjukkan ciri permainan bola level internasional. Sebenarnya itu adalah harapan para suporter yang tulus mencintai negara dan bangsanya melalui sepakbola.

Timnas Malaysia adalah rival klasik Indonesia. Ketika kedua tim ini harus dipertemukan baik di level penyisihan atau kejuaraan layaknya partai final, adu gengsi, dan tidak mau dikalahkan. Adu gengsi jelas masuk kategori pertaruhan harga diri. Harga diri inilah sering bernuansa politik bagi kedua negara ini.

Terasa kurang menarik jika dalam pertandingan timnas Indonesia tidak menyertakan timnas Malaysia. Pertarungan kedua tim ini di lapangan hijau jelas akan memberikan warna tersendiri bagi penonton dan suporter Indonesia. Pendukung kedua tim ini sangat antusias sekali. Melihat antusiasme para suporter yang luar biasa tentu akan memberikan angin segar bagi kedua timnas. Suporter sangatlah penting dalam menjaga mental anak-anak muda berbakat itu. Suporter boleh gemuruh dan segemuruh mungkin demi menyuarakan kemenangan, mensuport dan suntikan semangat buat timnas kita.

Dulu "Malaysia menang di level kebugaran sedangkan Indonesia menang skill  individu pemain. Malaysia punya blok pertahanan yang baik, tapi akan sedikit kesulitan jika terkena serangan balik." Itu kata Rahmad Darmawan ketika masih menangani timnas Indonesia. Tapi untuk saat ini tidak demikian, justru semua sudah hampir dimiliki timnas Indonesia. Hanya saja yang menjadi pertanyaan besar adalah ketika bermain dengan Malaysia talenta dan bakat yang mereka memiliki seolah-olah ciyut dan tak berfungsi apa-apa di tengah lapangan.

Timnas Malaysia tetap menjadi bumerang bagi timnas Indonesia. Timnas Malaysia tetap menjadi rival terberat sepanjang masa. Malaysia menjadi musuh utama dalam kompetensi sepakbola, IP layaknya elclasico, Real Madrid vs Barcelona.

Ketegangan dan kecemasan akan terus menyelimuti para penonton dan suporter saat kedua tim ini berlaga. Kemenangan tetap akan menjadi dambaan sepanjang masa. Timnas Indonesia tidak hanya kalah dalam satu atau dua pertandingan saja, tetapi sudah berkali-kali.  Timnas Indonesia dan pelatihnya sebenarnya sudah paham betul, bagaimana cara menguasai jalannya pertandingan saat berlaga dengan Malaysia, bagaimana cara mengontrol emosi anak-anak saat harus diprovokasi.

Kesempatan menang tetap tidak memihak, Timnas kita tetap di anugerahi kekalahan yang terus menjadi-jadi. Timnas Malaysia tidak pernah kapok menghajar timnas Indonesia, begitu juga dengan timnas Indonesia, ia tak merasa kapok dihajar.

Mengalahkan timnas Malaysia memang tidak mudah. Tidak semudah mengalahkan timnas Singapura, Filipina, laos dan kamboja. Butuh ekstra keras dan kehati-hatian. Butuh sinergi antara pendukung dan pemain. Masyarakat pecinta bola di belahan bumi nusantara ini pasti tidak henti-hentinya mendoakan timnas kita. Mendoakan yang terbaik, menang dan juara. Lebih-lebih saat bertanding dengan Malaysia. Karena dari sekian banyak pertandingan Malaysialah yang sering menjadi penghambat timnas Indonesia untuk melaju ke final.

Negara kita ini memang dikenal dengan negara mistis, mendoakan seseorang memang sebuah keniscayaan, apalagi mendoakan pejuang negeri ini. Mendoakan adalah modal utama bangsa kita, kekalahan Timnas Indonesia dari Malaysia bukan karena tidak didoakan, jangankan negara sendiri, negara lain saja didoakan, makanya Kroasia sudah bisa masuk final, itu berkat doa orang Indonesia juga. Sayangnya Indonesia gagal. Ada apa dengan timnas kita ini.

"Lebih baik kalah dengan negara lain, asalkan jangan dengan Malaysia". kalah dengan Malaysia rasanya lebih menyakitkan dibanding kalah dengan negara lain.


Kemenangan akan membawa nuansa kebanggaan yang luar biasa. Sama halnya juga kalau kekalahan berarti sakitnya lebih luar biasa.

Apa pun hasilnya, kita tetap dukung Timnas kita

Sumber foto: tribun news


Wallahu a'lam bisshowab
Read More

Senin, Juli 09, 2018

Atmosfer Politik Saat TGB Merapat Ke Jokowi

Atmosfer Politik Saat TGB Merapat Ke Jokowi

Google

Ada peristiwa menarik yang muncul di ruang publik kali ini, pernyataan mantan gubernur NTB 2 periode ini sontak mengundang komentar dan reaksi banyak orang. TGB (tuan guru bajang) Muhammad Zainul Majdi menjadi sorotan publik setelah melontarkan dukungan kepada presiden Joko Widodo 2 periode.

"Suatu transformasi enggak cukup hanya lima tahun, ketika periodisasi maksimal 10 tahun. Saya rasa sangat fair kita beri kesempatan Beliau untuk kembali melanjutkan," ucap TGB menyatakan dukungannya pada Jokowi untuk dua periode memimpin Indonesia.

Pernyataan TGB tentu akan memberikan interpretasi kurang baik bagi kesehatan berpikir mereka apalagi bagi seorang politisi dan elit-elit politik. Lebih-lebih munculnya banyak persepsi yang keluar sebagai bentuk perlawanan. Dan ini terbukti linimasa media sosial banyak berisi hujatan, sebutan ustad cebonglah, ustad penjilatlah dan untungnya tidak disebut ustad kampret.

Saya melihat, munculnya para penghujat, pembenci dan pembuat onar yang ditujukan kepada TGB bias dari perlakuan mereka kepada pemerintahan Joko Widodo, ya wajar-wajar sajalah. Membenci atas nama politik memang hal yang sudah pasti dialami, jangankan masalah haluan politik, beda pandangan dalam satu partai politik saja banyak orang berani saling sikut menyikut, gampang benci, gampang mengkalaim dirinya paling benar sehingga yang lain salah semua.

Siapapun jika ingin berpolitik dan mau terjun ke dunia politik harus siap dan berani menerima dua kemungkin, siap gembira dan siap kecewa. Seorang politisi dan pekerja partai politik saat menjelang pemilu akan melimbang luar biasa untuk mendapatkan pengaruh dan simpati masyarakat, apalagi ditengah-tengah perhelatan politik tersebut banyak ditengarai oleh seorang negarawan sekaligus agamawan. Mereka akan bersemangat untuk meraup kekuasaan dari tangan-tangan mereka yang tak beradab.

Saya mengakui betul bahwa TGB Muhammad Zainul Majdi adalah seorang ulama, politisi dan birokrat, artinya beliau seorang pejuang dari segala lini menuju peradaban, tokoh agama sekaligus tokoh politik. Dedikasi beliau terhadap kedaulatan NKRI sudah banyak terbukti setelah ia menjabat sebagai gubernur NTB 2 periode berturut-turut.

Kecemasan dan kekecewaan yang ditunjukkan oleh mereka yang tidak menyukai pernyataan TGB tentu sangat mudah dibaca. Kebencian, fitnah dan hoax yang terus dihembuskan menunjukkan bahwa akal mereka kurang sehat ada konsleting dengan jalur pikirannya. Politik memang memiliki logika sendiri. Dan logika tersebut akan dilogikan berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Bagi seorang politisi yang bernafsu dengan kekuasan mereka hanya berpikir popularitas, kemenangan, dan kebesaran partai politik praktisnya. Dan ini yang banyak ditemui belakangan ini.

Maka jangan terlalu heran, jika kehidupan ini sehari-hari diwarnai oleh suasana saling menjatuhkan, tuduh menuduh, menghasut, konflik, memfitnah dan sejenisnya. Maka, jika direnungkan secara mendalam, suasana yang terjadi hampir tidak ada bedanya dengan kehidupan makhluk lain yang tidak berakal. Siapa yang kuat, merekalah yang menang. Tentu bagi orang yang hidupnya menghendaki suasana damai, sejuk, tenang, dan kekeluargaan, tidak mungkin mendramatisir seseorang yang seolah-olah buruk dan mengklaim menodai agama mereka. Sungguh aneh dan lucucucucucu.

Pemahaman TGB tentang siyasah Islam (politik Islam) membuat dirinya punya bashiroh (pandangan hati nurani berdasarkan ilmu spiritual) sendiri dalam menentukan haluan politiknya. Sebagai orang yang bukan politisi dan tidak terkait dengan partai politik apapun, pasti akan tetap respek dan toleran terhadap pernyataan TGB. Tetapi bagi seorang politisi dan birokrat akan memiliki sikap tsendiri dalam menanggapi hal itu, yang dulunya ngedumel sekarang malah memuji dan memuliakan setinggi mungkin, yang dulunya memuji dan memuliakan sekarang malah menghina dan menghujat sekeras mungkin.

Bagi saya keputusan yang diambil oleh TGB berdasarkan akal sehat dan keumatan, mementingkan persatuan dan kesatuan, menghindari politik identitas, bersikap realistis. Bagi kalangan santri beliau bukan hanya sekedar tokoh politik yang mengisi ruang lingkup kepemerintahan tetapi tokoh figur yang menginspirasi banyak santri. Sebagai hafidz dan ketua alumni Al-Azhar Mesir yang dikenal dengan pusat peradaban ilmu, beliau sudah banyak memberikan suntikan religiusitas dan suntikan motivasi bagi santri nusantara ini.

Perjuangan beliau memang tidak seheroik Gusdur dulu, tetapi beliau termasuk salah satu penerusnya. Sebagai santri yang mampu menempati posisi sebagai pejabat negara tentu sangat ditunggu-tunggu kiprahnya. Sangat jarang sekali menurut saya menemukan sosok seperti beliau yang hafal Al-Qur'an dan paham akan kitab-kitab klasik, seperti kitab tsurats, dan kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan kaum santri di nusantara ini seperti Gusdur dulu.

Tanggapan yang dikemukakan oleh TGB mengenai hujatan dan celaan yang setiap hari dipertontonkan tanpa henti, membuat dirinya tetap kokoh, tidak goyah dan berkomitmen. Beliau tetap bersandar pada Tuhan yang maha menciptakan segalanya, tidak bersandar kepada siapapun yang memberikan keuntungan keberpihakan. Beliau terus menjaga marwah islam yang rahmatan lil Al-Amin, semangat persatuan, semangat persaudaraan. Yang menjadi perhatian khusus dan utama adalah sikap TGB dalam menanggapi hujatan tersebut, tidak melawan dengan hujatan, tetap adem dan memaklimi. Salut sekaligus menginspirasi.

Mari kita junjung tinggi nilai-nilai keislaman kita, orang Islam adalah saudara seagama, orang non Islam adalah saudara kemanusiaan. NKRI itu harga mati jangan sampai menjadi harga murahan gara-gara birokratnya terus menerus diliputi kebencian, fitnah dan hoax demi merebut kekuasaan dengan cara-cara yang tidak berprikemanusiaan dan tak beradab.

Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang
Read More