Juli 2019 - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Rabu, Juli 31, 2019

Teladan Budaya Mengantre di Kehidupan Pesantren

Teladan Budaya Mengantre di Kehidupan Pesantren

Penulis: Moh. Syahri
Rabu 31 Juli 2019
Ilustrasi foto: Instagram PP Al-Hikmahsmg
Atorcator.Com - Saya ingin mengambil hikmah tentang teladan budaya mengantri yang terjadi di kehidupan pesantren. Berdasarkan pengalaman pribadi saya belajar di Pondok Pesantren Darul Istiqomah Batuan Sumenep Madura, dengan menggunakan sistem belajar langsung kepada kiai, mulai dari setoran hafalan, sorogan kitab kuning, dan setoran membaca Al-Qur’an, itu semua dilakukan dengan cara mengantre. Bahkan, untuk urusan sehari-hari seperti memasak, mandi, wudhu, dan makan semua dilakukan dengan mengantri. Rangkaian kegiatan itu semua menunjukkan bahwa mengantre sudah menjadi aktivitas yang sangat melekat dalam kehidupan santri.

Kehidupan di pesantren memang membentuk dan melatih santri agar sabar, tangguh dan mandiri. Di sisi lain, nilai-nilai tersebut juga mereka dapatkan dalam pengalaman panjang mengaji kitab kuning yang menjadi bahan diskusi setiap harinya.

Sikap sabar ini pernah disampaikan oleh Syaikh Zarnuji dalam kitab etika belajar yang begitu masyhur di pesantren (sekaligus membentuk pandangan pesantren tentang etika belajar) berjudul Ta’limul Muta’allim. Beliau mengingatkan kepada kita semua khususnya para santri bahwa,


واعلم بأن الصبر والثبات اصل كبير في جميع الأمور ولكنه عزيز

“Ketahuilah! Sungguh! Sabar dan tekun adalah modal besar segala hal. Akan tetapi jarang yang memilikinya”

Ini seperti dikatakan dalam syair Arab,


لكل إلى شأن العلى حركات # ولكن عزيز في الرجال ثبات

“Segala sesuatu tentu ditargetkan pada tingkat yang paling tinggi atau maksimal # Tetapi jarang orang yang mampu bertahan dalam mencapainya.”

Dikatakan dalam sebuah ungkapan yang dikutip dari guru saya, Ustadz M, Hizbulloh Al-Haq Al-Fulaini: “Keberanian adalah kesabaran sesaat.” Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “”Keberanian sama sekali tidak diukur dari kekuatan badan, melainkan diukur dari kesabaran menanggung segala penderitaan yang menimpa.”

Tulisan ini sebelum dimuat di BincangSyariah.Com


  • Moh. Syahri Founder Atorcator | Pernah Nyatri di Pondok Pesantren Darul Istiqomah Batuan Sumenep Madura


Read More

Selasa, Juli 30, 2019

Ummat Islam dan Dhuafa Politik

Ummat Islam dan Dhuafa Politik

Penulis: Nurbani Yusuf
Selasa 30 Juli 2013

Atorcator.Com - Para ulama dianggap tak punya kemampuan mengatur urusan negara Muwakalah Hasanah wa Musyarabah Jamilah--gagasan ekstrim Mu'awiyah. Sejak saat itu para ulama diberi tugas ngurusi wudhu dan shalat agar politik tak gaduh karena perbedaan manhaj dan mazhab.

Bagi sebagian umat Islam yang tergabung dalam ijtima ulama (yaitu para ulama yang berasal dari FPI, HTI dan PKS) Pilpres 2019 adalah kekalahan telak 'umat Islam?'--dalam urusan politik terutama dalam perebutan kekuasaan orang nomor 1 di Indonesia. 

Bukan hanya jagoannya yang kalah bahkan HTI salah satu unsur pendukung juga terlebih dulu dibubarkan pun dengan FPI sebentar lagi---ironisnya dukungan pembubaran kedua ormas itu justru berasal dari sesama kelompok Islam sendiri yang merasa tak nyaman oleh kehadiran dua ormas yang dianggap keras dan gampang marah itu. 

Ben Anderson--tentang pasang surut hubungan Islam dan negara, menyatakan bahwa masih banyak yang tak sepakat dengan definisi politik umat Islam. Lantas politik umat Islam kehilangan makna generiknya tak lagi universal milik semua tapi menyusut menjadi kelompok umat Islam tertentu dengan manhaj yang juga sangat kecil. 

Selanjutnya Ben Anderson juga kurang sarujuk bila partai-partai semacam Masyumi, NU, PARMUSI menjadi satu-satunya yang berhak secara biologis mewakili umat Islam menafikkan Soekarno yang mendirikan PNI--sayangnya Soekarno anak emas Hadji Oemar Said Tjokro Aminoto dan santri nginthil Kyai Dahlan inipun dianggap bukan mewakili politisi Islam-- disitulah letak kekacauan berpikirnya. Meski pada kenyataannya ide Politik Soekarno lebih Islami sebagai representasi rahmatan lil alamien--adalah politik kompromi dan hasil konsensus bukan politik identitas dan primordialisme para 'politisi Islam' yang hanya sibuk dengan urusan kepentingan kelompoknya. Percayalah politik macam begini tak bakalan laku dan rawan pecah belah. 

Sayangnya Ijtima ulama di mana ada FPI dan bubaran HTI di dalamnya hanya memperjuangkan kelompok kecil umat Islam--bukan bagian dari kompromi dari berbagai kepentingan dan keragaman umat Islam--maka tak heran jika FPI dan HTI dibubarkan karena dianggap tak sejalan. Dalam situasi begini sebagus apapun narasi FPI dan HTI tentang Pancasila dan janji setianya pada NKRI akan dianggap drama kelas teri. 

NKRI yang ditawarkan Mr Moh Natsir adalah kesadaran bahwa Indonesia dibangun berdasar konsensus--bukan hanya perbedaan fisik berupa pulau, ras, agama atau bahasa tapi juga ide, gagasan dan ideologi. Indonesia adalah hasil federasi pemikiran dan ide--yang kemudian Muhammadiyah menawarkan konsep Daarul Ahdy wa Syahadah--negeri konsensus atau kesepakatan. Para foundhing negara membangun negeri 'boeat semoea' bukan untuk sekumpulan kecil-kecil yang fanatik. 

Pidato dan sikap Mu'awiyah di hadapan ratusan ulama Madinah di awal pelantikan barangkali dapat dijadikan dalil politik bahwa 'politik ulama' sudah kalah--Peran 'politik ulama' sudah dipangkas habis oleh Mu'awiyah sambil menawarkan sistem: Muwakalah Hasanah wa Musyarabah Jamilah. Sistem ini sekaligus menghapus prasyarat kepemimpinan umat harus didasarkan kepada legitimasi “berpedoman pada al-Quran, sunnah Nabi, Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab.” Syarat ini sudah lama ditiadakan sejak Mu'awiyah memegang kekuasaan khalifah. Umat Islam sudah menerima dan bersepakat selama ratusan tahun silam ...

wallahu taala a'lam 

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar
Read More

Senin, Juli 29, 2019

Nikah itu Pilihan

Nikah itu Pilihan

Penulis: KH. Husein Muhammad
Senin 29 Juli 2019
Ilustrasi: Shopee
Atorcator.Com - Nikah pada dasarnya adalah pilihan, kecuali ada kondisi yang menghendaki lain. Sejumlah tokoh besar dalam Islam dan otiritatif dalam keilmuan Islam memilih tidak menikah. Antara lain : Ibnu Jarir al-Thabari (syeikh al-mufassirin/guru para ahli tafsir), Zamakhsyari (ahli tafsir kaum rasional), Rabi'ah al-Adawiyah (perempuan sufi master), Ibn Taymiyah (muhaddits/pendiri aliran Salafi), Imam Nawawi (muhaddits faqih) dll.

Filsuf Arab besar dan penulis produktif dari Mesir: Abdurrahman Badawi, memilih lajang/jomblo. Dalam buku otobigrafinya: "Sirah Hayati", dia menceritakan sendiri alasan mengapa dia memilih tidak menikah. Ia menyampaikan hal ini kepada polisi saat dia ditangkap di Benggazi, Libya. Dalam interogasi di tahanan, polisi bertanya:

Polisi: Bagaimana pendapatmu tentang Sartre?
Badawi: Sartre lebih sebagai seorang sastrawan daripada seorang filsuf. Saya sudah menyampaikan pendapat saya ini dalam buku saya “Dirasat fi al-Falsafah al-Wujudiyah” (Kajian Filsafat Eksistensialisme).
Polisi: Mengapa anda tidak menikah?
Badawi: Saya lebih memilih untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan. Saya tidak ingin ada hal-hal yang mengganggu saya dalam kerja-kerja ilmiyah dan proyek-proyek penelitian. Anda tentu paham bagaimana kesibukan memikirkan keluarga dan anak-anak.

س : ماذا رأيك فى سارتر ؟
ج : سارتر اديبا اكثر منه فيلسوفا. وانا قد عبرت عن رايى فيه فى كتابى "دراسات فى الفلسفة الوجودية ".
س : لماذا لم تتزوج ؟
ج : لانى آثرت التفرغ للعلم وحده. ولم أرد ان يشغلنى عن العلم والبحث العلمى شيئ وأنت تعلم مشاغل الاسرة والاولاد. 
(سيرة حياتى جزء 2 ص 249)


Kisah ini diambil dari bukuku "Memilih Jomblo. Kisah para intelektual muslim".


Pernah ditulis tahun lalu di sini.

Read More
Kenapa Santri Harus Menulis? Ini Alasannya

Kenapa Santri Harus Menulis? Ini Alasannya

Penulis: Moh.Syahri
Ilustrasi:Twitter-Santri-Menulis
Atorcator.Com - Sedari dulu saya menyadari bahwa pesantren tidak hanya tempat santri beretorika dan tempat berdiskusi saja. Pesantren tidak hanya tempat melatih orang berbicara dan mendengar. Menulis belum menjadi tradisi keilmuan yang begitu menarik di kalangan pesantren. Padahal ulama-ulama terdahulu karya tulisnya hebat-hebat.
Santri seringkali diidentik dengan kaum tradisional, kaum yang mempertahankan tradisi-tradisi kuno, kolot, kampungan dan ndeso. Arti tradisional tidak mesti harus diartikan seperti demikian. Lebih-lebih untuk kaum santri.
Kita akui saja santri memang bagian dari kaum tradisionalis yaitu santri yang benar-benar konsisten untuk mempertahankan tradisi lama dengan membaca dan menulis.
Hal demikian, harus ada dalam diri seorang santri. Lebih-lebih di era yang serba gonjang-ganjing narasi keagamaan yang salah kaprah. Santri harus keluar dari sarangnya. Salah satunya dengan menulis. Santri tidak boleh menyepi dari keramaian problematika sosial. Santri harus menulis supaya tradisi keilmuan di pesantren tidak terasa sunyi.
Internet sudah menjadi media yang sangat praktis untuk berdakwah lewat tulisan-tulisan untuk menyampaikan ide, gagasan dan syiar Islam. Karenanya, santri harus masuk ke dunia internet. Santri harus bisa berkontribusi dalam menyuarakan aspirasi dan syiar-syiar Islam via online.
Dengan menggunakan metode dakwah tulisan lewat internet, santri bisa menangkal narasi-narasi menyesatkan yang sering dilontarkan oleh kelompok konservatif yang kaku memahami Islam. Dunia internet harus dikuasai oleh orang-orang yang paham dengan Islam toleran, ramah, progresif, dan penuh kasih sayang. Bukan oleh orang-orang yang beriman tapi tidak punya integritas keimanan.
Perjuangan seperti itu merupakan bagian dari perjuangan ulama terdahulu. Nah, sekarang saatnya kita sebagai santri untuk melanjutkan perjuangan mereka dengan situasi dan kondisi yang berbeda.
Mari kita sebagai santri untuk membudayakan membaca kemudian kita menulis. Para ulama Indonesia adalah tidak lepas dari tradisi menulis bahkan kebanyakan mereka penulis produktif. Seperti kiai  KH. Saifudin Zuhri, Mahbub Djunaidi, KH. Abrurahman Wahid, KH. A. Musthofa Bisri, Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Nur Cholis Madjid, dan lain-lain. Dengan karya mereka keilmuan di pesantren tetap membumi, bergerak ke mana-mana, bahkan tetap lestari.
Terakhir, Sebagai motivasi dan inspirasi. Tulisan ini saya kutip dari tulisan KH Husein Muhammad di Beranda Facebooknya, seorang sastrawan sekaligus teolog besar, Abu ‘Amr al-Jahizh menulis tentang buku dan pena:
الْقَلَمُ اَبْقَى أَثَراً  وَاللِّسَانُ أَكْثَرُ هَدَراً
لَوْلاَ الْكِتَابُ لَاخْتَلَّتْ أَخْبَارُ الْمَاضِيْنَ
وَانْقَطَعَ أَثَرُ الْغَائِبِيْنَ
وَاِنَّمَا اللِّسَانُ شَاهِدٌ لَكَ وَالْقَلَمُ لِلْغَائِبِ عَنْك
                                                         الْكِتَابُ يُقْرَأُ بِكُلِّ مَكَانٍ  وَيُدْرَسُ فِى كُلِّ زَمَانٍ
Jejak goresan pena lebih abadi                                                                                              
Suara lidah acap tak jelas
Andai tak ada buku
Tak lagi ada cerita masa lalu
Dan terputuslah jejak

mereka yang telah pulang
Tulisan ini sebelumnya dimuat di BincangSyahriah.com
Read More
Perang Uhud dan Sebagian Ulah Kelompok Orientalis

Perang Uhud dan Sebagian Ulah Kelompok Orientalis

Penulis: Muhammad Nur Khalis
Senin 29 Juli 2019
Ilustrasi foto; Tirto.id
Atorcator.Com - Perang Uhud adalah peperangan yang sangat mendebarkan sekaligus sangat membuat hati Nabi Muhammad pilu. Banyak dari kalangan sahabat yang meninggal pada saat itu termasuk paman Nabi Muhammad SAW. Hamzah Bin Abdul Muthollib yang meninggal mengenaskan dengan kedua kuping yang diiris, hidung yang juga diiris, sekaligus bagian dada yang tercabik-cabik oleh dengan organ dalam yang tidak lengkap.

Meskipun dalam perang ini Ummat Islam menerima kekalahan, bagi kita sebagai Ummat yang tidak mengikuti perang itu, tetap memiliki hikmah yang luar biasa. Berbagai rentetan insiden sebelum perang dan sesudah perang sekalipun, tetap memiliki hikmah bagi kita yang perlu untuk kita petik dan kita ambil sebagai sebuah uswah.

Setidaknya Syekh Sa’id Ramadlan Al-Buthi, menguraikan beberapa pelajaran sekaligus bahan perenungan untuk kita petik. Hal ini beliau utarakan dalam bukunya yang berjudul Fiqh Sirah. Penting diketahui bahwa buku ini menjadi sebuah buku yang mencoba memurnikan Sirah Nabawi dari setiap pemikirian-pemikiran kaum orintalis jahat yang berusaha mencoba merubah nilai-nilai yang ada pada Sirah Nabwi. Namun penulis hanya mengambil satu kisah menarik.

Dalam Peperangan yang terjadi di bukit Uhud itu, terdapat sebuah kisah heroik dari dua orang anak yang bahkan belum menginjak usia 15 tahun. Kedua anak itu, bernama Samrah bin Jundub RA. dan Rafi’ bin Khadij RA. (penulis memberi RA. mengingat keduanya merupakan sahabat Nabi, meskipun masih berumur belia).

Saat akan berangkat menuju medan tempur, Rasulullah SAW. berhasil mengumpulkan ribuan sahabat. Sebelum mereka akan berangkat, datanglah kedua anak tersebut untuk turut berperang dijalan Allah SWT bersama baginda Nabi. Namun melihat keduanya masih belia Rasul melarang keduanya untuk ikut berperang. Namun ada seorang sahabat nabi yag berkata kepada Rasul bahwa Rafi’ pandai memanah. ketika Rafi’ diizinkan maka Samrah pun berkata pada nabi bahwa dirinya lebih pandai berkelahi dibandingkan Rafi’ akhirnya keduanya mendapatkan izin untuk turut berperang bersama Nabi.

Para kaum orientalis menganggap, bahwa yang dilakukan oleh kedua pemuda itu adalah hal yang biasa dan sering terjadi di dunia Arab pada masa itu sehingga tidak perlu di heroik-heroik-kan. Tindakan keji ini, dengan tidak melihat betapa heroik serta betapa semangat yang mengebu-ngebu dalam diri kedua pemuda itu sangat disayangkan. Jangan sampai hal kecil ini kita abaikan begitu saja. Sebab bagaimana pun juga kaum orientalis juga menulis sebuah karya tulis.

Melalui karya tulis yang mereka lakukan ini-lah kaum orientalis melakukan ghazw al-fikr (perang pemikiran) untuk mengelabui para Ummat Islam. Sebagai contoh saja, alasan mengapa ummat islam yang ada pada saat ini begitu sulit untuk bersatu, merupakan dampak dari begitu menghunusnya pedang pemikiran kaum orientalis dalam hati kaum muslimin di dunia. Setidaknya ini menurut Syekh Said Ramadlan Al-Buthi.

Kembai ke pembahasan. Guna memurnikan pemikiran kaum Orientalis ini, Syekh Said memberikan sebuah tanggapan yang sangat menohok kepada mereka. Syekh Said berkata bahwa pemikiran kaum orientalis itu sangat bodoh!, dengan tidak melihat pada ulah Abdullah bin Ubay yang melakukan pembelotan ketika berangakat menuju medan peperangan. Dia, Abdullah bin Ubay yang merupakan gembong kaum munafik berhasil membuat sepertiga dari kaum muslimin yang akan perang melakukan pembelotan.
Sebuah tindakan pengecut yang sangat memalukan.

Kaum orientalis tidak melihat bahwa yang dilakukan oleh kedua sahabat nabi yang masih belia itu merupakan sebuah bentuk kemurnian dari rasa cinta serta iman yang luar biasa kepada Allah dan Rasulullah. Sehingga ketika menganggap biasa saja pada sikap keduanya, merupakan tindakan yang bodoh serta amat jauh dari sikap menghormati para sahabat Nabi.

Dan sebagai penutup dari tulisan ini, mari kita pikirkan kembali rasa kepedulian kita kepada sesama Ummat Islam. Jika rasa persatuan itu masih kuat, mengapa kita masih tidak memikirkan nasib ummat islam di Palestina, di Syiria, di Yaman, dan masih banyak lagi. Mari kita renungkan “apakah hati kita telah terserang oleh pemikiran-pemikiran kaum orientalis?” mari kita renungkan!


Wallahu A’lam

  • Muhammad Nur Khalis Santri Mahasiswa STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang
Read More
Belajar Menjadi Sufi dari Sahal ad-dusturi

Belajar Menjadi Sufi dari Sahal ad-dusturi

Penulis: Naufal Kamaly
Senin 29 Juli 2019
Ilustrasi: NU-Online

Atorctor.Com - Sahal bin abdullah ad-dusturi seorang sufi dari dustur salah satu daerah bagian selatan negera Iran. Diusianya yang menginjak tiga tahun, sahal ad-dusturi pernah melihat muhammad bin suwar pamannya sedang melaksanakan shalat malam. Kemudian dia ditanya oleh sang paman apakah engkau tak ingin mengenal tuhan yang telah menciptakan-mu?.

Bagaimana caranya paman? Jawab sahal. Ketika engkau hendak tidur di atas kasur bacalah
allahu maiy, allah nadzirun ilayya, allahu syahidi (allah bersamaku, allah melihatku dan
allah menyaksikanku). Bacalah sebanyak tiga kali didalam hatimu.

Selang beberapa hari, sahal kembali untuk menemui sang paman memberi tahu bahwa
tarekat atau dzikir yang telah diajarkannya sukses dijalankan dengan tanpa hambatan. Sang
paman menyuruh untuk terus dilanjutkan sambil ditambah menjadi tujuh kali, kemudian
ditambah lagi hingga sebelas kali. Muhammad bin suwar berpesan agar dzikir ini dibaca
sampai masuk dalam liang lahat.

Satu tahun sudah berjalan, Sahal ad-dusturi berhasil menjalankan apa yang telah
diperintahkan oleh sang paman, hingga akhirnya merasakan kelezatan dan enjoy-nya dalam
berdzikir. Artinya dalam segala hal kita tidak bisa langsung melompat kepada sesuatu yang
berat, seharusnya kita memulai segala hal dari yang sederhana. Asalkan istiqamah/terus
menerus dalam melaksanakannya meskipun dari hal yang sepeleh.

Namun, saat sahal sudah menginjak masa sekolah rasa cemas mulai menghantui.
Karena merasa takut kesibukannya disekolah dapat merusak semangat dzikir setiap hari. Oleh karena itu, sahal meminta kepada sang paman untuk masuk sekolah sewaktu-waktu dengan jadwal berbeda dengan yang lain. Walhasil, diusia tujuh tahun sahal pun berhasil
merampungkan hafalan al-qur’an.

Tirakat sahal kini mulai bertambah berat, diuasia menginjak dua puluh tahun dia
memilih untuk puasa dahar (puasa setiap hari berturut) dan membeli pecahan gandum dengan kualitas rendah seharga satu dirham yang nantinya dijadikan roti sebagai bekal berbuka puasa tanpa ada campuran sama sekali. Akan tetapi, bedanya sahal baru berbuka diwaktu sahur.

Selanjutnya, sahal meningkatkan lagi laku puasanya yang tadinya satu hari penuh,
sekarang bertambah menjadi tiga hari baru berbuka puasa. Bobot puasa sahal semakin
bertambah dari tiga hari menjadi lima, tujuh, hingga dua puluh lima hari baru berbuka puasa.

Puasa ini dijalankan sepanjang dua puluh tahun. Jelas dalam fikih puasa wishol semacam ini
tidak boleh. Sekedar selingan, puasa wishol adalah puasa selama dua hari berterut-turut atau lebih.


Pelajaran yang bisa kita petik dari kisah sahal yakni rahasia untuk menjadi seorang sufi atau wali besar tidak bisa dijalani secara instan, apalagi hanya dalam waktu setahun dua tahun. Untuk menjadi seorang ahli seharusnya latihan sudah dimulai sejak usia dini. Latihannya pun tidak harus dari hal yang berat, tapi bisa dimulai dari hal yang sederhana asalkan terus menerus dan bertahap.


Salah satu contoh lain menjadi pemain sepak bola profesional seperti Ronaldo dengan
banyak meraih tropi baik dikanca klub, negara dan dunia. Resep sang mega bintang
sebenarnya adalah latihan sepak bola tanpa henti dan tanpa patah hati, sejak masa kecil mulai

dari sekolah sepak bola, masuk klub, menjadi pemain profesional diusia lima belas tahun,
hingga berhasil meraih balon d’or berkali-kali sebagai pemain terbaik dimuka bumi.
Pelajaran yang bisa kita petik untuk menjadi seorang pakar, ahli dan maestro dalam
segala bidang kita harus melatihnya mulai sejak dini, meskipun dari hal yang sederhana.


  • Naufal Kamaly Santri Ma'had Aly Situbondo
Read More

Minggu, Juli 28, 2019

Madura dan Hilangnya Peradaban Maritim (2)

Madura dan Hilangnya Peradaban Maritim (2)

Penulis: A Dardiri Zubairi
Ahad 28 Juli 2019
Ilustrasi foto: Kompas
Atorcator.Com - Jembatan Suramadu sebagai iconic hilangnya peradaban maritim Madura sudah selesai dan tidak menyisakan perdebatan lagi sebagaimana Ulama Bassra dulu yang dianggap oposan oleh pemerintah Orde Baru. Keberadaannya sudah diterima, dinikmati, dan dibanggakan oleh orang Madura. Jika Anda masih berpikir kritis terhadap jembatan sepanjang 5 km itu, Anda akan dicemooh. Paling sial jika Anda diintrogasi karena ikut menikmati jembatan itu.

Justru bagi saya di sinilah masalahnya. Secara budaya, cara pikir kita soal Madura sudah ditaklukkan. Ditundukkan. Tak banyak orang yang menyoal efek domino jembatan Suramadu. 

Yang paling miris justru diamnya kita ketika "tanah madura" yang kita injak dipaksa lepas dan kita dibiarkan tak berjejak di tanah itu. Entahlah, sejak Bangkalan sampai Sumenep berapa ratus ribu hektar yang berpindah kepemilikan ke tangan investor, sosok ghaib yang bentuk kumisnya saja orang Madura tidak tahu? 

Di tanah itu kemudian dibangun aneka ragam industri atau bisnis yang sepenuhnya bersifat privat. Tak peduli di pedalaman yang jarang penduduk atau di bibir pantai yang keindahannya di renggut keserakahan atas nama reklamasi. Ini pembangunan(isme) bung. 

Tak perlu ditanya untuk siapakah pembangunan itu. Cukuplah orang Madura menjadi buruhnya, mengais rizki dengan membuka warung kopi, mencari botol air mineral dan aneka macam sampah yang bisa dijual, atau jadi sekuriti.  Sementara dari pembangunan yang digaungkan, orang Madura menunggu tetesan air kran. Cukup tetesnya. Soal sumber air pembangunan biar pemodal dan elit penguasa yang maha tahu dan yang menguasai. 

Lengkap bukan? Peradaban maritim dihilangkan tetapi sumberdayanya dikeruk. Ingat, eksplorasi migas di Madura banyak offshore. Ketika peradaban maritim hilang, daratan juga sudah diacak-acak. Tanah-tanah dikuasai. Tentu dengan isi perutnya. Ekslorasi migas kemudian beralih dari offshore ke onshore. Lihat misalnya di Kecamatan Saronggi, Sumenep, perusahan migas berdiri kokoh meski kabarnya menyisakan banyak masalah di sana. 

Sekali-kali lihat ketika melintas ke arah surabaya baik jalur  selatan maupun pantai utara, begitu banyak alih fungsi lahan. Atau tanah diratakan untuk disulap menjadi bangunan. Belum lagi rencana proyek besar yang (akan) segera di bangun semisal Islamic Saince Park di Bangkalan yang butuh lebih 100 ha, pabrik Gula dan perkebunan tebu di Pamekasan (sebagaimana saya baca di Kompas, lupa edisi berapa), dan Sport Centre yang saat ini sedang dibangun dan rencana pembaungan PLTG (Saronggi) di Sumenep sebagai cadangan listrik yang dipersiapkan untuk industri di Madura. 

Itu baru pembangunan yang kita dengar. Belum yang masih ada dalam otak investor. Pokoknya ke depan Madura akan menjadi surga bagi para investor yang sudah kadung dipercaya akan menjadi penyelamat perekonomian Madura dan menjadikan (orang) Madura beradab, makmur, dan sejahtera. 

Luput dari perhatian yang pro kebijakan ini, rakyat akan kehilangan "tana sangkolnya", persoalan ekologis akibat alih fungsi lahan akan makin akut, tradisi lokal masyarakat petani yang guyub tak lagi menemukan jejaknya. Dan pelan-pelan rakyat yang belakang hari makin tidak punya apa-apa akan terus dipinggirkan. Atau bertarung diantara mereka memperebutkan tetesan pertumbuhan ekonomi yang tak seberapa, dibanding sumbernya yang dikusai secara privat dengan penuh rakusnya.

Inilah gambaran Madura kini dan akan datang. Peradaban maritim dihancurkan kemudian daratan diacak-acak. Persis seperti petuah kearifan lokal Madura, "etapok ekala' odengnga" alias rugi dua kali. Sampai di sini saya tak mampu meneruskan imaginasi saya, karena tak lagi menemukan pijakannya. Madura seperti "tada' ajina", "tada' kalangmante'na" alias tidak sakti lagi.

Wallahu A'lam 

Matorsakalangkong

Pojok Madura, 28 I 7 I 2019


  • A. Dardiri Zubairi Peminat Kebudayaan Madura Mengabdi di PCNU Sumenep dan PP Nasy'atul Muta'allimin Gapura
Read More
Sosok Ulama Agung Kiai Nahrawi Banyumas yang Mukim di Makkah

Sosok Ulama Agung Kiai Nahrawi Banyumas yang Mukim di Makkah

Ahad 28 Juli 2019

Atorcator.Com - Salah satu ulama Banyumas yang menjadi guru para ulama di Mekkah adalah Syaikh Achmad Nahrawi Mukhtarom Al Banyumasi Al Makki. Dari tangan beliaulah Thariqah Syadziliyah berkembang sampai ke Indonesia.

Syaikh Achmad Nahrowi lahir di Banyumas sekitar pada 1800 M. Beliau adalah putra pasangan KH Hardja Muhammad dan Nyai Salamah, generasi ketiga imam Masjid Darussalam (Masjid Kauman Purbalingga).

Dari pasangan ini lahir Syaikh Achmad  Nahrowi Mukhtarom dan KH Abu ‘Ammar, dua Ulama terkemuka dari Purbalingga Jawa Tengah.  
Masa kecil Nahrowi dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama kepada KH Harja Muhammad yang juga dikenal Imam Masjid Darussalam Purbalingga.

Sebagaimana ulama Jawa kebanyakan Nahrowi Mukhtarom dan Abu ‘Amar belajar ke Mekkah. Saat itu bertepatan dengan puncak geger Perang Diponegoro (1825-1830 M) yang membuat banyak sekali santri dan kalangan terpelajar dari tanah Jawa pergi ke luar negeri untuk mempelajari agama sambil lalu menunggu suasana tanah air tenang. 

Saat itu juga Mekah menjadi pusat peradaban ilmu dengan guru-guru ulama yang sangat mumpuni seperti Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah, Syaikh Ahmad An-Nahrawi al-Mishri al-Makki,  Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi dll.

Sejak itu Syaikh Nahrowi tidak kembali ke Nusantara. Beliau memilih berkarier di Makah dan guru yang ulung. Berbeda dengan sang Kakak, Abu ‘Ammar. Abu Ammar pulang ke tanah air dan menjadi Imam Masjid Agung Purbalingga.

KH. Abu Ammar pulang dari Mekkah langsung menghidupkan dan memakmurkan Masjid Agung Purbalingga. Masjid tersebut merupakan peninggalan Mbah Abu ‘Amar dan keluarganya. Sebab, tanah wakaf itu atas nama KH Hardja Muhammad yang tidak lain adalah ayah Mbah Abu ‘Amar. 

KH Abu Ammar juga dikenal dengan kelapangan dan luwes dalam bergaul. Hal itu dibuktikan dengan kedekatan Mbah Abu ‘Amar dengan tokoh lintas organisasi, seperti KH Hasyim Asy’ari (NU) dan Kiai Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) pernah datang dan berdiskusi di Masjid Kauman semasa Mbah Abu ‘Amar. Bahkan Syaikh Syurkati, pendiri Al Irsyad Al Islamiyah dari Mekkah dikabarkan juga pernah bertandang.

KH Abu ‘Amar adalah seorang intelektual muslim yang sangat disegani tidak saja pada regional Banyumas akan tetapi juga nasional. Kancah KH Abu ‘Ammar di tingkat nasional bisa ditelusur ketika berteman akrab dengan seorang hakim Belanda yang sangat terkenal yaitu Prof. Terrhar. 

Diskusi yang intens KH ‘Abu ‘Amar ini dengan Terrhar ini kemudian memunculkan perlunya sebuah peradilan bagi kaum inderland tersendiri yang terpisah dengan landrat yang ada ketika itu. Peradilan ini hanya diberlakukan buat kaum inderlands yang berhubungan dengan hukum-hukum perdata (Begerlijc Wetbook).

Sektor yang diurus oleh peradilan ini meliputi pernikahan, perceraian, hukum waris. Peradilan ini kemudian dikenal dengan Pengadilan Agama. Peradilan agama ini telah berkembang sekarang sampai keseluruh persada nusantara.

Dalam sejarah peradilan di Indonesia, pengadilan agama ini telah menjadi salah satu dari empat peradilan di Indonesia. Pengadilan Agama telah sama kedudukannya dengan pengadilan umum serta dibawah satu atap Mahkamah Agung. Bahkan kewenangan Pengadilan Agama kini telah meluas tidak saja hal-hal yang berkenaan denngan hukum Perdata tapi juga menerima sengketa pidana yang bersifat syariah.

Sementara Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi tidak mau pulang ke tanah Jawa. Bahkan oleh Pemerintah Saudi Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom diangkat menjadi guru mengajar santri dari berbagai Negara. Beliau Banyak mempunyai murid dan bahkan menjadi hakim agung di Arab Saudi (lihat; Islam transformasi; Azyumardi Azra; Gramedia; 1997).
Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Syaikh Ahmad  Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi.

Bisa dipastikan waktu Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi ini habis untuk mengkoreksi dan mentahshih ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara yang pada waktu itu terkenal sangat produktif menulis karya. Seperti Syaikh Mahfudz Al Tremasi, Syaikh Soleh Darat, Syaikh  Nawawi Al-Bantani, Syaikh Cholil Al Bangkalani, Syaikh Junaid Al Batawi  dll. Syaikh Nahrowi iabaratnya adalah editor handal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama Nusantara pada masa itu.

Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom disebut banyak ulama melahirkan kitab-kitab berjalan yang tiada lain murid-muridnya yang kebanyakan belajar ilmu thariqah kepadanya. Selain mengasas kitab, Syaikh Achmad Nahrowi juga menjadi Mursyid Thariqah Syadziliyah. Thariqah Syadziliyah muncul secara Besar-besaran di tanah Jawa baru di abad 19 ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air.

Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah.

Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syaikh Shalih, yakni Syaikh Achmad Nahrawi Mukhtarom yang seangkatan dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syaikh Muhammad Shalih.

Ulama-ulama Jawa yang berguru thariqah Syaikh Nahrowi antara lain K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Achmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Syaikh Abdul Malik, Kedungparuk Mersi, Purwokerto, Banyumas.

Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Achmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga).

Perlu diketahui, Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili Al Hasany, ulama kelahiran Ghamarah. Yakni sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko. Beliau lahir pada tahun 593 H (1197 M) dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M).

Beliau adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga mengajarkan bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah). Beliau mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Qutul Qulub.

Syaikh Nahrawi Mukhtarom Al Makki Al Banyumasi wafat pada tahun 1926 M pada usia 125 tahun dan dimakamkan di Mekkah. Meski demikian kiprah dakwahnya di tanah air tidak pernah terputus. Dakwah terus bersambung dilanjutkan keluarganya di Purbalingga.
(DutaIslam)

Read More

Sabtu, Juli 27, 2019

Kelamin yang Tidak Sekolah

Kelamin yang Tidak Sekolah

Penulis: Taufiq Wr Hidayat
Sabtu 27 Juli 2019
Ilustrasi:guediku
Atorcator.Com - Di sebuah warung kopi, orang mengatakan bahwa kelamin manusia itu "tidak sekolah”. Orang menertawakan kekonyolan tersebut dengan kepingkel-pingkel. Mereka melihat kelamin seolah makhluk lain yang melekat di bawah perut, dan tidak mau lepas “ila yaumil qiyamat”. Ia memiliki pelayan setia yang bernama indera. Tatkata mata menangkap sesuatu yang membangkitkan hasrat purba, sekitar pusar geli, menunjukkan perangkat paling istimewa yang bernama kelamin terjaga.

Lho kenapa “tidak sekolah"? Menurut orang yang di warung kopi itu, urusan kelamin bikin orang bodoh, walaupun ia sudah sekolah. Sehebat apa pun status pendidikan seseorang, bertekuk lutut di bawah kelamin. Orang kehilangan akal sehat. Sahwat bertahta menjadi Tuhan. Disembah dan dilayani. Padahal bentuk kelamin itu---dilihat dari sudut artistik, sangat tidak indah. Ia berbentuk lobang gelap yang lembab dan empuk dengan aroma yang tak terjelaskan.

Di lain pihak, berbentuk mirip lontong yang ditumbuhi rambut, menggelantung senantiasa. Sama sekali tidak menyimpan nilai seni yang tinggi. Hanya cinta yang membuatnya indah melampaui segala-galanya, kata seorang penyair yang setengah sempoyongan dalam pengaruh alkohol.

Di samping itu---menurut orang yang di warung kopi, dia tidak berpendidikan dan pemalas! Ketika sekolah dulu, orang belajar dengan serius, tapi kelaminnya malah tidur. Ketika orang bekerja keras, kelamin mendengkur. Giliran orang mau beristirahat, kelamin terjaga minta makan. Dan orang harus memberinya makan ketika ia sedang lapar dengan segala pengorbanan dan perjuangan yang tak mengenal ampun.

Padahal ia memiliki daya tarik hanya ada dalam persepsi dan kebutuhan mendesak atasnya. Bagai sejumlah orang yang merasakan orgasme hanya karena mendengarkan suara kecipak air dan suara sabun yang digosokkan pada bagian-bagian tubuh seorang perempuan muda yang sedang mandi dalam “Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi”nya Seno Gumira Ajidarma yang mashur itu. Ketika yang sesungguhnya bersalah adalah khayalan mesum yang berakibat pada aksi, kenapa tubuh yang harus dihukum? Hasrat yang dirangsang dari pendengaran itu metafisik, namun ia menjadi masalah sosial yang tak gampang diuraikan.

Tapi lupakanlah omongan tolol dari orang yang di warung kopi itu. Baiknya tiap orang menginsafi dirinya dengan memeriksa kelaminnya masing-masing; apakah masih berada di tempatnya atau ketinggalan di kamar madi tadi pagi?

Dalam khasanah keilmuan Islam, jenis kelamin tak pernah jadi ukuran nilai. Artinya Islam melihat kelamin sebagai keniscayaan yang harus disadari dan dijaga dengan sepenuh keimanan. Menurut Rasul, dua hal yang paling mudah membuat orang celaka: mulut dan kelaminnya. Mulut banyak bicara, nerocos tak kenal arah, berdusta dan membudidayakan serapah. Sedang kelamin yang tiada henti minta dilayani tanpa mempertimbangkan keselamatan dan akal sehat. Bukankah sesungguhnya kelamin itu merupakan salah satu ukuran keimanan?

Tetapi ajaran Islam memuliakan jenis kelamin perempuan. Itu bukan berat sebelah. Melainkan ajaran Islam yang diimani dengan ilmu dan cita, meletakkan nilai kemanusiaan yang ideal sepanjang masa. Sejak pra hingga pasca Islam, perempuan selalu disisihkan. Bahkan hingga hari ini di hadapan segala pencapaian teknologi dan kebudayaan manusia. Di dunia visual---tak dimungkiri, perempuan kerapkali sebagai obyek laki-laki. Atau obyek dari perempuan sendiri.

Sehingga pemosisian perempuan sebagai yang subyek, ditegaskan tanpa ragu-ragu dalam narasi suci. Al-Farabi mengibaratkan kesetaraan jenis kelamin itu dengan amat sederhana. Baginya puisi yang baik bukanlah “puisi laki-laki”. Juga bukan “puisi perempuan”. Melainkan puisi yang indah adalah puisi yang memang indah. Tak ada jenis kelaminnya. Bahwa penyetaraan jenis kelamin---kemudian pemuliaan narasi suci terhadap jenis kelamin perempuan, tidaklah berlebihan. Melainkan kewajaran. Lantaran landasannya adalah nilai kemanusiaan yang tak terikat jenis kelamin maupun gerbong profil tubuh dan bentuk-bentuk kebudayaan.

Tatkala dalam "Republik" Plato mengatakan perempuan makhluk imitasi, Ibn Rusdi membantahnya. Keliru! Katanya dengan sejumlah argumentasi yang tak terbantah. Dalam “Mabadi’ Ara al-Madinah al-Fadhilah”, al-Farabi justru menguatkan kesetaraan jenis kelamin di segala-gala bidang kehidupan, terutama dalam kepemimpinan politik. Apa yang dikemukakan para penggali ajaran Islam yang luhur itu, tak lain upaya menegaskan teks suci untuk memuliakan perempuan, sesama manusia, sebagai sesuatu yang sewajarnya dalam sejarah. Lantaran peminggiran salah satu jenis kelamin perempuan---yang dianggap lemah, justru seringkali dilakukan atasnama ajaran agama. Dan atasnama tahta suci Tuhan.

Naguib Mahfouz mengisahkan ketimpangan hidup di tengah para penganut agama. Tatkala kemiskinan dan lemahnya hukum sudah parah, segolongan orang semakin keras, kaku, dan fatal dalam segala hal. Terutama dalam agama. Ketika kesejahteraan hidup dan keadilan hukum tak ditemukan, orang frustasi. Rasa frustasi itu membuat orang hanya berharap janji surga dalam agama secara fatalistik. Agama bukan tempat pulang, tapi tempat melarikan diri. Agama sebagai topeng ketakmampuan diri menghadapi kenyataan dan musuh terhadap perubahan. Agama menjadi gawat dan menakutkan.

Naguib Mahfouz, sastrawan Arab yang mashur itu, mengetengahkan persoalan tersebut dalam banyak karyanya. Umpama dalam novelnya "Khan al-Khalili, Dar-Misr Li-at-Taba'ah" (Mesir, 1979). Kemiskinan dan lemahnya hukum, dalam karya Mahfouz, telah menciptakan masyarakat yang menyembah dogma, menikmati tari telanjang, seks bebas, dan membunuh atasnama Tuhan dan syariat agama.

Dalam keadaan seperti itu, seorang anak kecil, dalam sebuah cerita Mahfouz, sudah memiliki hasrat seks pada lawan jenisnya yang sebaya akibat kerasnya pendidikan orangtua yang miskin. Anak kecil ini harus menyaksikan seorang perempuan dibunuh di gedung kumuh, bangunan terlantar bekas Gedung Keuangan dan Hakim. Perempuan itu dicekik kekasihnya hanya perkara tak mau memberi uang buat makan sehari.

Fanatisme buta ialah pemberhalaan agama dengan mengingkari sifat Tuhan yang mahapenyayang. Sehingga agama gagal menyelesaikan persoalan kehidupan. Justru memperparah masalah sosial, memperalat orang-orang miskin, bodoh, dan diperlakukan tak adil dengan janji bidadari, semangat yang kelam membela agama, dan arogansi primordial.

Jika kebaikan terdapat pada banyak hal, kenapa kebenaran diklaim satu golongan atau kelompok mayoritas belaka? Manusia yang kikir, maka agamanya agama kekikiran. Manusia angkuh, agamanya agama keangkuhan.

Bagi Naguib Mahfouz, itu kesalahan sejarah. Apakah yang dipikirkan Naguib Mahfouz dalam karya-karya berbahasa Arabnya itu bukan cermin dari sebagian masyarakat Islam saat ini di negara-negara berkembang yang terbelakang, miskin, tertutup, bodoh, terjebak dalam fanatisme buta, lalu diperalat pemuka-pemuka agamanya yang “diremote” kekuasaan dan orang-orang yang tergila-gila pada kekuasaan?

Dalam sebuah film India---yang selalu asik dalam gagasan-gagasan cerita dan gaya bahasanya, dikisahkan sejumlah perempuan yang memberontak pada keadaan demi kebebasannya meraih kepuasan alamiah manusia: seks. Film itu berjudul "Lipstick Under My Burkha". Judul yang nakal! Menceritakan kehidupan rahasia sejumlah perempuan bercadar yang menemukan gairah seksualnya "yang lain" setelah ditinggal mati suami mereka.

Barangkali kata "yang lain" itu merupakan perlawanan pada "yang lain" versi Beauvoir, yang eksistensi perempuan ditegakkan dari sudut pandang hasrat laki-laki terhadapnya. Para perempuan bercadar yang ditinggal mati pasangannya itu, menyimpan hasrat purba yang kehausan di balik cadarnya. Ia merindukan panggilan asasi manusia paling wajar: telanjang dan bermain-main dengan tubuhnya. Juga kelaminnya. Film garapan Alankriti Shrivastava ini menarik, sinemanya dalam. Ia memvisualkan fantasi seksual yang tak dapat dipenjara suatu doktrin agama atau keimanan yang diterapkan secara tak manusiawi.

Fantasi dan hasrat seksual itu liar, menggedor-gedor simbol-simbol doktrin yang disebut cadar yang membungkus tubuh nyaris setiap incinya. Tapi hasrat dan kebebasannya berontak. Gelisah. Menggoda untuk merayakan kebebasannya yang paling asasi itu. Dan paling purba. Tanpa busana. Juga bermain-main dengan tubuh dan mempersatukan antartubuh dalam pergulatan kelamin yang mendebarkan. Tetapi ia yang tak kuasa memungkiri kehidupannya, tata aturan, ketaatan pada nilai, atau pada keniscayaan sebagai manusia yang memiliki identitas dan jati diri. Sehingga kebebasan dan pembatasan selalu bertengkar di dalam diri, pertengkaran yang tiada akhirnya, selalu cekcok, saling cakar, saling mengalahkan sepanjang hidup seseorang dalam sejarah.

Lupakan saja film India itu. Yang tentu, bahwa narasi perihal tubuh selalu menciptakan persoalan yang tak pernah selesai dipecahkan. Lantaran ia harus senantiasa berdamai dengan realitas hidup yang dijalaninya pada sebentuk keniscayaan primordial atau agama. Namun manusia berdaulat atas dirinya. Ia dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Atau memilih menyatakan "tidak" pada apa saja, ujar Nietzsche.

Namun barangkali untuk "meng-iya" atau "men-tidak" pada dunia---pada suatu keadaan, ia harus dapat bernegosiasi atau berdamai dengan kenyataan. Lantaran itu kiranya, sejatinya ajaran agama sangat menghargai kebebasan, kedaulatan, dan pilihan manusia. Agama pun lahir dari yang asasi. Paling dasar. Sehingga ia hadir sebagai pembanding yang berdialog dengan akal dan hati. Bukan memaksa. Sebab segala pemaksaan adalah politis. Pragmatis dan praktis. "Tiada paksaan dalam agama, karena telah terang yang jelas dan yang sesat," ujar segaris teks suci (QS.2:256).

Dengan demikian agama sesungguhnya bercakap-cakap dengan akal dan hati di tempat sunyi, pada relung yang hikmat, takzim, amat personal, dan tersembunyi. Sehingga setiap gerak yang dilandaskan pada nilai-nilai agama, sejatinya panggilan asasi manusia yang dengan sepenuh kesadaran mengarifi kenyataan kehidupannya yang partikular.

Peminggiran jenis kelamin perempuan tak dapat ditolak---secara diam-diam atau terang-terangan, kadangkala dilakukan hasrat perempuan itu sendiri. Bukan kebebasan alamiah yang dirayakan. Melainkan kebebasan praktis yang ditegakkan dari kebanggaan-kebanggaan meluap-luap atas tubuh, yang obyek. Sedang yang lain, merayakannya atas hasrat menikmati tubuh---sebagai obyek itu, dengan semena-mena. Manusia pun merendahkan nasibnya yang agung.

Pada sisi lain yang tiada daya, tubuh harus kalah dan dipersembahkan secara terpaksa atau suka rela. Alangkah agung nasib manusia! Namun betapa terbatasnya ia. Tetapi daya hidup yang manusiawi, membuat orang bertahan pada suatu keadaan yang paling sulit. Atau menghikmati kebebasan dirinya dengan memaklumkan, menjaga kebebasan dan keselamatan sesamanya. Pada pengertian ini, seyogianya agama hadir sebagai harapan. Bukan belaka janji surga yang tak pernah terjadi di atas meja makan atau di atas ranjang. Bukan pula hanya kutukan, hukuman, dan ancaman.

Dan perempuan adalah segalanya. Ia yang feminin. Tetapi ia yang dapat melampaui tubuhnya, menjadi yang maskulin. Ia licin. Empuk. Menggoda dan sanggup menjatuhkan malaikat sekalipun. Juga berbahaya. Kuat. Dan lembut. Licik. Juga baik hati. Setidaknya dalam "Red Sparrow", Jennifer Lawrence---sebagai Dominika Egorova yang muda, memerankannya dengan sempurna. Perempuan berpinggul agung, berdada agung, jangkung, berbibir merekah, dan lentur itu harus menggunakan tubuhnya yang ranum sebagai spionase Rusia. Ia mesti terampil memikat untuk menjerat. Menggali informasi buat negaranya. Ia menerima kenyataan itu lantaran profesinya sebagai penari balet kebanggaan Rusia harus ditinggalkan sebab sebuah kecelakaan “yang disengaja”. Negara segera merekrutnya. Memanfaatkan tubuhnya yang memesona, pikirannya yang berbahaya, hasratnya yang bergolak demi kepentingan negara. Betapa sejauh itu negara telah menguasai warganya, bahkan dapat menentukan kebebasan seseorang atas tubuhnya.

Apa yang ditengarai Foucault sebagai seksualitas yang dikontrol kekuasaan. Apakah ia kekuasaan kapital atau politik. Agama atau tradisi. Lantaran tubuh dan hasrat asik bermain-main dengannya sebagai obyek yang tak pernah membosankan dalam sejarah. Sebagian orang baik-baik saja. Sebagian lainnya celaka karenanya. Tapi "kapok lombok", kata orang Jawa. Makan lombok bagaikan "makan kelamin". Menyesal mulut kepanasan, perut mual, dan mencret. Tapi tak lama kemudian, makan lagi. Tak mau jera. Diulang-ulang bagai repetisi. Hasrat tak pernah meniscayakan batas. Seolah Sisifus---yang dalam Albert Camus, mengusung batu ke atas gunung, menggelindingkannya ke bawah, lalu mengusung lagi. Terus menerus tiada hentinya, bagai kutukan. Absurditas yang dirayakan dengan kebahagiaan atau penderitaan yang ganjil.

Tubuh memang punya batasan. Ia dikalahkan usia. Tetapi hasrat tak mau tunduk. Sesungguhnyalah nilai agama seyogyanya hadir mendamaikannya dalam penyadaran, perilaku yang menyadari penderitaan lalu menciptakan kebahagiaan. Memberinya harapan dan mendudukkan sebuah tujuan luhur yang tak dikalahkan ruang, waktu, dan peristiwa. Bukan penghakiman-penghakiman yang sewenang-wenang.

Tembokrejo, 2019


  • Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi ‖Suluk Rindu‖ (YMAB, 2003), ‖Muncar Senjakala‖ (PSBB, 2009), kumpulan cerita ‖Kisah-kisah dari Timur‖ (PSBB, 2010), ‖Catatan‖ (PSBB, 2013), ‖Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti‖ (PSBB, 2014), ‖Dan Badut Pun Pasti Berlalu‖ (PSBB, 2017), ‖Serat Kiai Sutara‖ (PSBB, 2018). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi
Read More
Tiap Malam Jum’at, Mbah Dimyati Banten Sowan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Tiap Malam Jum’at, Mbah Dimyati Banten Sowan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Sabtu 27 Juli 2019

Atorcator.Com - Salah satu ulama’ besar yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah KH Abuya Dimyati Cidahu Banten. Sosok penuh karomah yang kisah-kisahnya masyhur di Nusantara, bahkan sampai negara-negara Timur Tengah.

Salah satu kisah karomah Mbah Dimyati adalah kisah seorang seorang kiai dari Jawa yang pergi ziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Irak. Kiai itu merasa sangat bangga, karena tidak banyak kiai di Jawa yang bisa ziarah sampai Irak. Mayoritas ziarahnya adalah di Mekah dan Madinah.

Ketika sampai di makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, terjadilah dialog antara kiai Jawa dan penjaga makam.

“Dari mana sampeyan berasal.”

“Saya dari Indonesia.”

“Ohh.. dari Indonesia. Begini, di sini setiap malam Jum’at ada seorang ulama’ dari Indonesia yang kalau datang ziarah hanya duduk saja di depan makam. Tapi kemudian semua peziarah akan diam dan menghormatinya. Ketika ia membaca al-Qur’an, maka peziarah yang lain akan meneruskan bacaan mereka.”

Mendengar kisah penjaga makam ini, kiai dari Jawa ini kaget. Akhirnya kiai dari Jawa ini berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at datang.

Hari itu yang ditunggu tiba. Malam Jum’at itu, kiai dari Jawa itu khusyu’ menunggu di makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Setelah menunggu penuh penantian, akhirnya muncul ulama’ Indonesia itu, yakni KH Abuya Dimyati Banten. Jama’ah peziarah pun bahagia dan penuh takdzim dengan hadirnya Abuya Dimyati.

Kaget dan penuh kejutan. Kisah ini sangat membekas bagi kiai Jawa itu. Kisah itu juga akhirnya ia ceritakan kepada para santri dan masyarakat.

Itulah karomah Abuya Dimyati Banten. Semoga kita selalu meneladani jejak hidupnya. Amiiiin… Alfatihah…

(m/red)

Source Selengkapnya bisa dibaca BangkitMedia
Read More
Haji: Antara Ibadah Fisik dan Finansial

Haji: Antara Ibadah Fisik dan Finansial

Penulis: Nur Kholilah Mannan
Sabtu 27 Juli 2019

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (28) ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ (29) 

Legitimasi untuk melaksanakan haji datang setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalām rampung membangun kakbah. Ketika itu ia berdiri di maqamnya dan menyeru semua makhluk untuk berhaji, lantas batu-batu, pepohonan dan manusia menjawabnya dengan kalimat talbiyah لبَّيك اللهمّ لبَّيك. Menurut at-Ṭabarī (w. 923), siapapun yang menjawab seruan itu dialah yang kemudian hari akan beribadah ke baitullah  (Rumah Allah).

Haji adalah rukun islam urutan kelima, ia berada di urutan terakhir bukan karena pahalanya yang paling kecil, bukan juga karena ibadah yang layak diakhirkan melainkan karena ia merupakan ibadah yang tak hanya memerlukan kerja fisik tapi juga cukupnya finansial yang tak sedikit.


  • Rukun ibadah pertama, syahadatain, cukup dengan tekad dalam hati dan ungkapan dengan lisan kemudian dibuktikan dengan penyempurnaan perbuatan, maka ia sudah sah sebagai saksi bahwa seseorang telah bersyahadatain. 


Rukun islam kedua, menegakkan shalat, rukun ini memang sedikit mengeluarkan biaya seperti kain untuk menutup aurat tapi kewajiban shalat tak bisa gugur meski tak mampu membeli kain karena penutup aurat bisa diganti dengan lumpur.

Rukun Islam ketiga berpuasa di bulan Ramadan, ibadah ini termasuk ibadah yang paling ringan dilakukan. Mengapa? Karena salah satu ibadah yang tak perlu mengeluarkan biaya, cukup menahan dari makan, minum dan hal yang membatalkan yang lain. Berpuka puasa tak wajib dengan makan dan minum yang memerlukan biaya untuk membelinya tapi cukup dengan niat membatalkan puasa.

Selanjutnya rukun Islam keempat, membayar Zakat, rukun ini memang objek utamanya adalah harta tetapi selain kewajiban mengeluarkan zakat hanya setahun sekali (zakat fitrah) zakat tidak dianggap berat karena harta yang dikeluarkan tidak begitu besar lain halnya dengan rukun Islam kelima, ia tak cukup dengan berbekal tekad dalam hati saja melainkan harus disertai aksi fisik disamping jauh sebelumnya sudah menyiapkan bekal finansial yang memadai, bukan hanya untuk orang yang ingin melaksanakan haji tapi ia juga harus memikirkan biaya hidup orang-orang yang ditinggal pergi selama berhaji.

Itulah alasan mengapa saya mengatakan bahwa ibadah haji itu adalah perpaduan fisik dan finansial. Dalam ayat di atas Allah menggambarkan orang-orang yang menjawab seruan nabi Ibrahim berasal dari penjuru dunia, فَجٍّ عَمِيقٍ bermakna “tempat yang jauh”, mereka berdatangan dengan kendaraan-kendaraan mereka sesuai dengan kemampuan finansial masing-masing, ada yang menggunakan unta, keledai, kuda, mobil, pesawat dan ada pula yang berjalan kaki.

Ini salah satu alasan bahwa haji adalah bentuk dari jihad di masa kini. Berjuang dengan harta yang dimiliki disertai ketangguhan fisik selama perjalanan sampai selesai semua rentetan ibadah haji dan yang terpenting adalah berjuang menekan nafsu selama beribadah untuk tidak debat kusir, berkata kotor dan berbuat fasik. Tuhan Maha Mengetahui bahwa untuk melaksanakan haji seseorang membutuhkan biaya besar.

Semoga jiwa kita termasuk yang menjawab panggilan Nabi Ibrahim ‘alaihissalām yang meski dengan biaya besar kita diberi kemampuan untuk melaksanakannya.

Wallahu a'lam


  • Nur Kholilah Mannan Santri Salafiyah Syafi'iiyah Sukorejo Situbondo 


Read More