Januari 2019 - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Kamis, Januari 31, 2019

Mengapa Orang Madura Agamanya Disebut NU?

Mengapa Orang Madura Agamanya Disebut NU?


Penulis: Moh Syahri

Atorcator.Com - Saya sebagai orang Madura awalnya juga kaget, mengapa agamanya orang Madura kok disebut NU. Padahal tidak ada agama NU yang ada agama Islam, Kristen, Budhha, Katolik, Hindu dan Konghucu.

Lantas kenapa orang-orang menganggap agamanya orang Madura itu NU. Tidak lebih itu hanya sekadar guyonan atau candaan anekdot lucu atas kagumnya tradisi amaliah NU yang begitu kental dan menjamur di Madura. Sehingga sampai ada yang mengatakan NU dengan ayam-ayamnya.

NU di Madura sudah seperti mendarah daging dalam tubuh orang Madura. Bahkan pergerakan NU saat ini begitu masif dan masuk pada pelosok desa. Seperti pelatihan Banser NU yang laksanakan di tiap kecamatan dengan mengkader anak muda milenial. Ansor yang belakangan ini juga pergerakannya nampak di tengah-tengah masyarakat. Belum lagi pengajian dan ceramah rutin bulanan kiai pesantren yang ikhlas mendatangi rumah warga secara bergiliran.

Tidak perlu menakut-nakuti apalagi mencoba membid'ah-bid'ahkan amalan-amalan dan tradisi keislaman orang Madura yang masih setia dan terus mendekat kepada ulama kharismatik sebagai pijakan utama dalam segala tindakannya. Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kehati-hatiannya dalam memulai bercocok tanam yang dengan terlebih dahulu sowan ke kiai demi keberkahan hasil taninya, memulai berdagang demi kelancaran dagangannya dan lain-lain. Hebatnya, orang Madura merasa sungkan dan bersalah jika membeli motor atau apapun tapi tidak diselamati dulu sebelum dipakai karena itu akan mengurangi keberkahan.

Baca juga: Ikhlas dan Sabar Kunci Utama Menjaga Nahdhatul Ulama

Bukan hanya itu, hal-hal yang menjadi keraguan dan dilema dalam menjalani hidup tidak segan-segan mereka meminta petuah kepada kiai NU, bukan kepada mbah Google. Sebab mereka tidak yakin ada mbah google yang NU yang ada hanya mbah kiai yang NU. Orang Madura sangat tidak mungkin menuhankan Mbah Google yang belakangan ini kerap dijadikan senjata dan tuhan kedua oleh kelompok mabuk agama.

Ketaatan seseorang kepada kiai tidak mungkin membuat sesuatu yang bisa memancing keributan. Justru akan banyak mendedikasikan hidupnya untuk memberikan manfaat dan kebaikan. Itulah ajaran NU.

Ada kiai kampung yang terus menjaga marwah ahlussunah wal jamaah, kiai yang jauh dari gemerlap media, kiai yang ikhlas tanpa embel-embel bayaran dan gaji bulanan. Kiai yang lebih memilih terkenal di langit daripada di bumi.

Tahlil, shalawatan menjadi rutinitas yang terus dipelopori oleh kiai dan ibu nyai dan muslimat kampung di Madura. Hampir tiap malam rutinitas amaliah NU terus menggema di sudut-sudut perkampungan warga Madura. Mulai dari yasinan, perkumpulan kelompok tani yang diwadahi oleh NU. Maka teror untuk meruntuhkan dan menyerang amaliah NU tak akan pernah berhasil.

Tradisi keilmuan di pesantren Madura tidak hanya berkutat di pesantren saja, adanya Bahtsul Masail yang terus digelar di pelosok-pelosok dan masjid-masjid tiap daerah mampu membuat amunisi baru dalam memperkokoh amaliah NU. Dan luar biasanya, para kiai sepuh, kiai muda, para santri dan kaum muda tidak segan-segan menghadirinya dan sangat antusias.

Di tengah menggelagaknya politik yang kian memanas, saling adu domba, caci maki, saling tuduh menuduh dan saling menyesatkan, bahkan sasarannya tak jarang juga mengarah kepada NU, justru kiai kampung di Madura lebih memilih diam dan tak mau mengambil sikap karena yakin doa pendiri NU dan para pengurus saat ini sudah sangat dipercaya karena tak mungkin Allah memilih pengurus yang tak mampu mengemban kepengurusannya apalagi sekelas ormas NU yang jelas memiliki tujuan mulia demi kemaslahatan agama dan negara.
Read More
Otokritik Vs Penistaan

Otokritik Vs Penistaan


Kebersihan bagian dari iman, kata teman saya. Bagi dia seorang Muslim itu harus bersih lahir bathin demikian juga lingkungan dan tempat tinggalnya. "Tapi kamu lihat, data statistik penduduk Jakarta bilang mayoritas kita adalah Muslim.

Saya ingin tahu, dibanding Singapore apakah Jakarta itu bisa disebut bersih?", tanyanya. Buat saya itu otokritik. Tapi karena dia bawa-bawa agama, saya menyarankan otokritik itu jangan dulu dilempar ke publik karena bisa terpleset jadi penistaan.

Apa itu penistaan? Perbuatan (perkataan dan sebagainya) untuk mencela, membuat aib dan atau menodai. Apakah teman gw dan gw yakin ini juga otokritik yang banyak dilontarkan Muslim lain-- melakukan penistaan terhadap agamanya sendiri dengan mengkritik kebiasaan penganut agamanya itu?


Baca juga: Hal-hal yang Kamu Ketahui Saat Pria Selingkuh

Agama adalah subjek benda. Agama tidak dapat merasakan panas dingin asam asin karena dia kata benda, abstrak pula. Tapi penganut agama punya jeroan dan hati yang dapat tersinggung.

Mereka yang tersinggung ini dilindungi UU negara ini lewat pasal Penistaan Agama tadi. Maka sebuah kritik atau pernyataan tendensius dapat dikenakan pasal penistaan. Jika demikian adanya, bagaimana posisi otokritik?

Dalam Islam otokritik diistilahkan sebagai I’tibar. I'tibar adalah mengambil ibrah (pelajaran/pembelajaran). Ibrah adalah  pemahaman secara kritis dengan mengamati dan tafakur, dimana seseorang akhirnya paham yang benar memang benar, yang salah memang salah. Untuk dapat I'tibar seseorang harus terbuka melihat fakta dan mengolah itu dengan akal lewat kemampuan mengambil ibrah tadi.

Jadi sejatinya Muslim itu bukan seseorang yang anti kritik. Muslim seharusnya bukan orang yang kawatir dengan penistaan dalam sebuah kritik.

Karena penistaan bagi Muslim tidak terdapat dalam kritik atau otokritik. Dalam I'tibar, tiap pernyataan dikaitkan dengan ibrah dan dari manapun datangnya sebuah kritik, Muslim sejati tidak memandang itu sebagai penistaan.

Penulis Estiana Arifin adalah Creative Writer di Author/ Writer dan Bekerja di Public Consulting

Sumber Facebook: Estiana Arifin 
Read More

Rabu, Januari 30, 2019

Tujuan Diciptakannya Lisan Menurut Al-Ghazali

Tujuan Diciptakannya Lisan Menurut Al-Ghazali



Penulis: Moh. Syahri

Di dalam kitab Bidayatul Hidayah Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan bahwa, ada empat tujuan kenapa lisan ini diciptakan oleh Allah Swt.

Pertamazikrullah (memperbanyak mengingat Allah). Dalam tataran praktisnya, belakangan ini, mengingat Allah bisa dilakukan dengan berbagai cara dan dalam keadaan apapun, tak terkecuali melalui cara yang hukumnya wajib tidak bisa dinegosiasi seperti salat. Mengingat Allah merupakan sebuah kewajiban kita sebagai makhluk ciptaanNya yang tidak boleh dibatasi oleh tempat, waktu dan keadaan.

Masyarakat kita masih banyak yang terjebak dalam situasi zaman kebodohan yang kronis, yakni orang-orang dan kelompok tertentu yang merasa paling dekat dengan Tuhan dan tahu maksud Tuhan. Sehingga kelompok lain salah, dan akhirnya disesatkan. Allah itu satu, sendiri dan bersembunyi. Allah memperlihatkan dirinya dengan segala penciptaannya agar supaya manusia bisa kenal, bisa menalar, dan tentu bisa dijadikan tempat bertumpunya semua makhluk untuk memohonkan segala permohonan.


Dengan demikian, pendekatan dalam rangka untuk mengingat Allah tidak hanya bisa dilakukan dalam bentuk ibadah individual tetap bisa dengan ibadah sosial atau pergaulan sosial. Itulah kenapa Allah Swt. disebut sebagai maha yang tak terbatas dan tak terhingga dan melampaui ruang dan waktu.

Kedua, membaca Alquran. Dengan membaca Alquran, manusia akan banyak mendapatkan inspirasi dan motivasi dalam spirit beragama. Maka di sinilah sebenarnya peran penting lisan diciptakan oleh Allah Swt. sebagai pengingat bahwa tugas utama lisan adalah membaca ayat-ayat Allah. Maka membaca Alquran adalah salah satu kemuliaan besar dibanding kemuliaan-kemuliaan membaca yang lain, apalagi ditambah dengan pemahaman, pengetahuan serta pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, mengarahkan atau menuntun makhluk Allah kepada jalan yang benar (agama yang dijalani Rasulullah dan para sahabatnya). Di era sekarang ini banyak sekali para penceramah, mubalig ustad, kiai, dan tokoh agama yang melenceng dari tujuan utamanya. Berapa banyak mubalig yang masih suka jualan proyek melalui ormasnya.

Berapa banyak mubalig yang masih memasang tarif, dan seolah-olah jamaah dijadikan mesin ATM. Mubalig hadir di tengah-tengah masyarakat memiliki tugas mulia yaitu menyampaikan firman Allah dan sabda Nabi, namun pada saat yang sama mubalig juga bisa sebagai penasihat pemerintah dengan keilmuan dan pengetahuan.

Mubalig atau pendakwah adalah orang yang tidak hanya bermodalkan ilmu tapi juga etika. Etika ini adalah soal kepantasan. Kepantasan inilah yang mampu memberikan kewibawaan bagi seorang mubalig. Jangan karena kita berbeda dalam pilihan politik, lantas tidak mampu menuntun masyarakat kepada jalan yang diridhai Allah.

Mari kembali kepada tugas suci kita sebagai mubalig yang tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menuntun makhluk Allah kepada jalan yang benar, mengajak kepada kebaikan dan kebenaran. Bukan mengajak untuk membenci dan melaknat seseorang, bukan mengajak untuk memusuhi seseorang karena sebuah perbedaan.

Rasulullah adalah makhluk yang memiliki sikap lemah lembut kepada orang lain. Ketika Rasulullah berdakwah maka yang diutamakan adalah kelembutan dalam bertutur kata, kelembutan dalam bersikap. Dan dakwah Rasulullah berhasil bukan karena kekerasan, paksaan dan kegarangannya tetapi karena kelembutan dan kasih sayangnya.

Keempat, menampakkan isi hati melalui lisan demi memenuhi kebutuhan agama dan dunia. Contoh misalkan dalam memenuhi kebutuhan agama, ketika ada niat untuk berdzikir maka berzikirlah dengan lisan.

Adapun contoh dalam memenuhi kebutuhan dunia, misalkan, ketika hendak atau berniat menyuruh karyawan untuk bekerja maka segeralah menyuruh dengan lisan agar mereka bekerja dan paham akan maksud hati. Atau ketika kita hendak atau berniat mengkritik kebijakan pemerintah maka kritiklah dengan baik dan sopan secara verbal maupun nonverbal.

Maka pada bagian ini, dalam urusan agama dan urusan dunia hati tidak sepenuhnya menjadi prioritas untuk diandalkan. Maka perlulah lisan sebagai manifestasi dan pendukung dari isi hati untuk memperjelas.

Ketika lisan yang digunakan tidak sesuai dengan empat macam tujuan di atas maka sama halnya kita telah kufur nikmat.

Selengkapnya di sini

Sumber Foto: Hidayatullah.com
Read More

Selasa, Januari 29, 2019

Nyaleg Tanpa Modal Mau Meniru Gus Dur yang Hanya Modal Dengkul, Yakin Menang?

Nyaleg Tanpa Modal Mau Meniru Gus Dur yang Hanya Modal Dengkul, Yakin Menang?


Penulis: Moh Syahri

Sudahlah nggak usah berlagak hebat, kontestasi politik tidak lebih hanya urusan dunia saja. Mau nyaleg tapi nggak punya uang, mimpi. Memang uang bukan segala-galanya tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa segala sesuatu itu harus pakai uang.

Bahasa "modal" dalam kontestasi politik konotasinya ya pastinya tidak jauh dari uang. Gus Dur mungkin salah satu orang dalam pencalonan dirinya yang hanya bermodalkan dengkul bisa menang.

Lah....situ sok-sokan mau nyaleg tapi nggak punya modal. Modal pas-pasan saja bisa kalah apalagi tak bermodal apa-apa. Yakin bisa menang?

Hitungannya sederhana saja. Tentu para caleg pengin dikenal dan diperhatikan oleh masyarakat untuk bisa dipilih. Untuk dikenal mustahil mendatangi satu persatu dari pemilih. Maka poster menjadi inisiatif yang cukup signifikan untuk memperkenalkan caleg, sedangkan buat poster tidak bisa hanya bermodalkan dengkul.


Baca juga: Politisi yang Susah Ditausiahi

Saya setuju kejujuran dan kerja keras memang menjadi modal utama. Saya pun sepakat kalau caleg itu tidak harus kaya harta tapi lebih baik kalau kaya iman dan punya prestasi yang bisa dibanggakan. Lantas, masihkah hal semacam itu menjadi modal satu-satunya untuk tetap laris manis di mata masyarakat?

Poster sudah menjadi syarat mutlak bagi seorang calon untuk dibuat sarana kampanye, di mana-mana poster kampanye cukup memberikan pengaruh yang signifikan. Jika si caleg mencalonkan diri di dapil IV, maka titik rawan dari empat kecamatan itulah yang cocok dipasangi spanduk kampanye.

Itu masih di bagian poster saja, belum lagi di acara kopi daratnya untuk meyakinkan masyarakat langsung dengan program-program yang sudah dibuat. Kopinya berapa, rokoknya berapa berdasarkan total jumlah masyarakat yang hadir?

Dalam kontestasi politik sikap zuhud sebaiknya jangan dipertontonkan dulu. Bukan karena apa-apa.

Di desa saya, pernah dulu ada seseorang yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif yang katanya tidak mengeluarkan biaya besar dalam pencalonannya, ia hanya mengeluarkan biaya wajib, tapi setahu saya ia juga buat poster kampanye di titik-titik tertentu. Tapi apa hasilnya, ia pun masih kalah.

Kita sebagai pemilih tentu masih mikir-mikir juga dengan fenomena yang demikian. Sebab, seorang caleg seharusnya dinilai dari seberapa besar dia mau berkorban untuk rakyatnya, jika berkorban untuk dirinya saja masih sulit bagaimana akan berkorban untuk kepentingan rakyat.


Baca juga: Gus Dur Bertamu Ke Saya

Sekali lagi saya katakan sejauh ini masih belum ada yang sehebat Gus Dur yang menang dalam kontestasi politik dengan bermodalkan dengkul itupun dengkulnya Amien Rais, kata Gus Dur. Sejauh ini uang tetap menjadi satu-satunya modal terpenting untuk kemenangan politik terlepas dari qoda dan qodar Allah.

Sumber Foto: Kontan
Read More

Senin, Januari 28, 2019

Kelisanan dan Ucapan Kang Said yang Disalahartikan

Kelisanan dan Ucapan Kang Said yang Disalahartikan

Repot sekali ya kalau tuturan yang bersifat lisan kemudian dituliskan. Apalagi yang nulisnya sudah berpretensi macam-macam, atau salah penafsiran, atau memang kurang konsentrasi saat liputan. Ketiganya mungkin.
Sejak kemarin hape saya ramai pembicaraan mengenai ucapan Kang Said dalam pidatonya di Harlah Muslimat ke-73 di SUGBK, Minggu 27 Januari 2019. Sebagai orang NU tentu saya marah. Bagaimana tidak, banyak media menuliskan berita tentang ceramah ini dengan makna yang berpotensi memecah belah.
Kesan yang muncul dalam berita-berita tersebut, Kang Said mengatakan bahwa “kalau dipegang selain NU, salah semua”.
Saya ambil contoh satu saja berita dari salah satu media online. Dalam salah satu laman ditulis:
"Agar berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran apa? Peran syuhudan diniyan, peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, Pak Menteri Agama, harus dari NU, kalau dipegang selain NU salah semua," ujar Said Aqil.
Berita ini tentu berpotensi besar memecah belah dan menimbulkan kebencian dari ormas Islam lain. Tapi pertanyaannya, benarkah Kang Said ngomong demikian? Lalu ucapan tersebut maksudnya bagaimana?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita simak dulu berita atas peristiwa yang sama yang ditulis NU Online.
"Peran agama harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA (kantor urusan agama), menteri agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, (nanti dianggap) salah semua: nanti banyak (tuduhan) bid'ah kalau selain NU. Ini bid'ah nanti. Tari-tari sufi (dituduh) bid'ah nanti," ujar Kiai Said sambil menunjuk kepada para penari sufi.
Perhatikan, kata-kata yang berada di dalam kurung. Kata-kata itu ditambahkan redaksi (bisa wartawan atau redakturnya). Tujuannya apa? agar pembaca bisa mengetahui maksud tuturan.
Dulu saat jadi wartawan maupun redaktur saya biasa menambahi keterangan .red sebelum tutup kurung sebagai tanda bahwa kata-kata dalam kurung adalah tambahan dari redaksi, bukan ucapan narasumber.
Dalam hal ini, saya ingin mengatakan bahwa wartawan bekerja tidak hanya menuliskan kata-kata yang didengar, melainkan juga memahami maksud ujaran. Wartawan itu bukan notulen. Wartawan itu penulis, dia pendengar sekaligus penafsir.
Saya cukup lama menjadi wartawan dan sering menemukan kasus di mana narasumber yang saya wawancara bicara dengan nuansa lisan yang sangat kuat. Saya tahu Kang Said itu orator, muballigh, orang yang lahir dari daerah dengan tradisi lisan yang mengakar kuat: Cirebon. Tentu bisa dibayangkan betapa kuatnya nuansa lisan pada setiap beliau ceramah.

Baca juga: Ikhlas dan Sabar Kunci Utama Menjaga Nahdhatul Ulama

Kekuatan ceramah bukan hanya pada gramatikanya, melainkan pada penekanan, pada intonasi, dinamika, mimik, dan gaya penyampaian. Orang yang belajar retorika, ceramah atau belajar pidato pasti mengetahuinya.
Saya tahu, Kang Said sering ceramah dengan gaya bodoran khas Cirebon yang ceplas-ceplos. Itu adalah gayanya di atas panggung. Tapi bukan berarti Kang Said tidak paham ilmu gramatika. Beliau bahkan sangat ahli di bidang itu. Saya tahu karena orang yang bisa baca kitab kuning pasti sudah ngelotok ihwal gramatika tulisan.
Tapi ceramah yang bersifat lisan selalu dinamis. Pembicara akan selalu melihat audiens-nya. Kita semua tahu, audiens waktu Kang Said pidato adalah ibu-ibu muslimat. Dari situ kita tahu, Kang Said ingin berbicara dengan bahasa yang biasa digunakan dan bisa diterima dengan renyah oleh ibu-ibu muslimat yang datang dari daerah.
Saya tidak perlu jelaskan, bagaimana psikologi ibu-ibu pengajian dalam menangkap informasi. Kalau Anda tidak pernah ikut pengajian dan majelis taklim mereka, Anda tak akan pernah mengerti apa yang saya gambarkan.
Kembali lagi ke pembahasan kita. Berita Kang Said yang seolah mengatakan bahwa “kalau dipegang selain NU, salah semua”, menurut saya, bisa terjadi karena sang juru warta salah memahami, atau pun salah dengar mengingat banyaknya peserta yang hadir. Kebisingan peserta bisa mengganggu pendengaran wartawan.
Kalau iya, harusnya itu tidak jadi alasan. Karena masalah mis-understanding harusnya tidak terjadi karena jurnalistik mempunyai standar verifikasi. Wartawan bersangkutan harusnya verifikasi ke narasumber langsung. Atau kepada pihak-pihak terkait.
Wartawan bisa saja berdalih bahwa dia punya rekamannya. Tapi rekaman, selama ini kita punya pengalaman buruk, tidak bisa menangkap suasana kelisanan sepenuhnya.
Dan suasana itulah yang tidak bisa dia sampaikan kepada pembaca. Nuansa itulah yang ikut membentuk makna ujaran. Nuansa itulah yang membuat NU Online memberikan tafsiran-tafsiran atas ujaran Kang Said, dengan menambahkan dalam kurung di dalam kalimat langsung.
Tapi saya juga bisa memahami standar verifikasi itu kini telah menjadi barang mahal di tengah jurnalisme-digital dengan prinsip adu cepat. Saya ingat sekali, dulu redaktur saya selalu bilang bahwa jurnalisme itu bukan sekadar metode, tapi juga etika.

Selengkapnya di sini

Sumber Foto: NU Online
Read More
Pemancing Ikan, Melatih Kesabaran dari Pancingan Emosi

Pemancing Ikan, Melatih Kesabaran dari Pancingan Emosi


Pulang kampung benar-benar membuat saya memiliki harapan besar terhadap bangsa ini. Keharmonisan benar-benar saya rasakan ketika saya diajak mancing dengan teman-teman. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan dan perang politik yang sangat mencekam.

Mengelilingi kampung halaman hingga sampai pada suatu Dam milik masyarakat umum yang biasa didatangi oleh para pemancing dari seluruh penjuru kota Sumenep. Dulu saya biasanya mancing hanya di sungai-sungai, mengelilingi sungai dari hulu ke hilir dengan air yang keruh bercampur sampah dan plastik.

Saya yang sudah sekian tahun tidak memancing tentu masih terlihat canggung soal dunia perpancingan. Saya banyak belajar dari teman-teman yang sudah lebih mahir, mulai dari bagaimana cara memegang joran, hingga pada posisi tubuh yang tepat dan tenang.

Dari memasang umpan hingga cara melempar kail pancing ke tengah Dam itu saya masih kelihatan sangat kaku, tak pelak menjadi bahan tertawaan rekan-rekan pemancing yang lain. Ternyata memang ada caranya, bagaimana seharusnya kail pancing itu bisa secepatnya dimakan oleh ikan. Dan itu berpotensi bisa mendapatkan ikan yang banyak.
Baca juga: Tragedi Bus dengan Kecepatan yang Tidak Manusiawi

Saya juga belajar memancing dari teman-teman mulai dari bagaimana mengatur kedalaman kail pancing yang juga tergantung dari kedalam air itu. Kedalaman kail pancing bisa diatur dengan antang (penanda) yang ada di senar pancing itu. Ketika ikan mulai memakan kail maka dengan antang itu kita bisa tahu dan siap untuk ditarik.

Iya betul, selain harus menguasai teknik memancing yang tepat dan benar juga harus menguasai diri untuk bersabar menunggu joran. Sebagus apapun teknik memancing kesabaran pasti menjadi lakon dari pemancing itu sendiri.

Bagi pemancing yang sudah menjadi profesi, mungkin sudah biasa, kail pancing hilang tanpa ada tanda-tanda kail itu dimakan atau tidak. Tapi bagi pemancing yang masih seumur jagung pasti akan membuat emosi, sudah kailnya habis, nunggunya lama banget, ikan pun tak kunjung dapat.

Tidak hanya terbatas pada itu saja ujian terberat bagi pemancing. Keberadaan teman pemancing nyaris kadang juga bisa jadi hantu lantaran dirinya gagal mendapatkan satu ikan saja. Menceburkan batu ke tempat pemancingan menjadi keisengan tersendiri dari pemancing yang gagal.

Sumber Foto: Dokumen Pribadi
Read More

Minggu, Januari 27, 2019

Ibu Saya Muslimat, Tapi Nggak Tau NU Apa Tidak

Ibu Saya Muslimat, Tapi Nggak Tau NU Apa Tidak


Di desa saya dulu ada semacam kumpulan rutinan setiap hari selasa sore. Ibu saya adalah salah satu anggota aktif yang ikut rutinan itu. Salah satu acara rutin yang diikuti dengan aktif oleh ibu saya ya acara Selasa sore itu saja.

Saya yang masih kecil, hanya sering mendengar dengan istilah "kumpulan Muslimatan", ketika saya nanyak ke ibu, "Bu, ibu mau kemana, kok pakek seragam biru-biru?". "Ibu mau ke Muslimatan nak" jawab beliau.

Ibu saya memang sering pakek seragam yang biru-biru (maaf warna hijau bagi orang Madura ya tetap warna biru) itu, sekalipun banyak teman-temannya yang tidak pakai seragam itu. Dan jawaban ibu ketika ditanya selalu seperti itu, artinya beliau tidak pernah menambahi kata "NU" di belakang kata Muslimat, mau ke Muslimatan NU nak, tidak. Dan bahkan beliau enggan menjelaskan dirinya itu NU.

Acara rutinan ini, dipelopori oleh ibu Nyai yang ada di desa saya, dia dikenal dengan tokoh agama yang santun dan ramah. Karena beliau seorang ibu nyai yang banyak disegani masyarakat sekitar, tentu pengikut beliau juga banyak di acara rutinan muslimat itu. Saya melihat hampir perempuan satu desa ikut semua karena saking banyaknya waktu itu.

Ketika masih kecil, saya tidak tau apa itu muslimat, pertama kali saya ikut ke acara itu. Saya kaget. Kok semuanya pada perempuan, laki-lakinya mana? Dalam hati saya membatin.


Baca juga: Ikhlas dan Sabar Kunci Utama Menjaga Nahdhatul Ulama

Ketika pulang saya coba iseng-iseng nanyak-nanyak ke ibu "Bu, kok tadi perempuan semua, laki-lakinya mana kok nggak ikut? Nak itu memang khusus perempuan, namanya juga muslimat bukan muslimin," jawab beliau dengan suara yang agak ngeledek saya. OWalah gitu ya bu.

Mulai saat itu saya tau apa itu muslimat dan apa saja isi dari acara kumpulan muslimat itu. Dimulai dari shalat ashar berjamaah, kemudian membaca yasin bersama, tahlil bersama, burdah, shalawat dan diakhiri tausiah dari ibu Nyai. Itulah kira-kira serangakaian acara yang dilakukan oleh ibu-ibu muslimat yang diikuti oleh ibu saya dulu.

Ini lah kenapa sampai saat ini saya masih ragu, almarhum ibu saya itu Muslimat NU apa tidak. Tapi bagi saya tidak terlalu penting mau Muslimat NU apa tidak. Yang terpenting jadilah Muslimat yang baik, ramah, santun, toleran, berakhlak mulia, pintar, cerdas dan mati khusnul khatimah

Wallahu 'alam

Sumber Foto: NU online
Read More

Sabtu, Januari 26, 2019

Tragedi Bus dengan Kecepatan yang Tidak Manusiawi

Tragedi Bus dengan Kecepatan yang Tidak Manusiawi

Perjalanan Malang-Surabaya benar-benar membuat saya berada di ambang kematian dan ingin misuh karena kecepatan yang tak berbanding dengan kepintaran sopir menyetir. Seperti sopir yang sedang belajar mengemudi bus dengan penumpang penuh.

Ini bukan lagi bus yang biasa saya naiki sepanjang hidup saya. Secepat-cepat dan seugal-ugalnya bus Mira Surabaya-Jogja kini tidak ada apa-apanya dengan bus yang satu ini yang saya naiki waktu itu.

Oke, memang hal biasa ketika melihat bus dengan kecepatan di atas rata-rata. Dulu saya biasa naik bus Mira Jogja-Surabaya jam 10 malem, bus Mira ini dikenal dengan bus yang memiliki kecepatan tinggi dan pelari cepat. Beda halnya dengan Bus Eka. Sekalipun demikian, bus Mira masih bisa membuat saya tidur nyenyak dan bangunya nampak lebih segar dan tidak membuat tulang punggung remuk.

Biacara perihal kecepatan, ngebut, ugal-ugalan memang bisa dibilang relatif dan tergantung persepektif. Bus dengan kecepatan yang standar akan lebih sedikit menerima cacian dan lebih banyak menerima pujian.


Baca juga: Politisi yang Susah Ditausiahi

Persepektif saya kecepatan bus ini sudah di luar batas wajar. Kecepatannya tak lagi membuat penumpang nyaman lebih-lebih soal tidur, ngemil, ngobrol, dan bahkan sekadar minum saja untuk menghilangkan rasa takut tidak bisa blass. Saya coba mendekati kondekturnya, untuk membujuk halus agar kecepatannya dituruni sedikit saja.

Sialnya, kondektur tidak memenuhi permintaan saya, dia hanya manggut-manggut saja dan senyum-senyum. Dalam hati saya membatin" ini kondektur senyum-senyum dikira penumpang bus ini semua orang waras, bagaimana jika ada penumpang yang kenak serangan jantung akibat kecepatan bus yang tidak manusiawi ini, kan bisa mati mendadak nanti di dalam bus". Saya yakin driver dan kondektur sudah bersekongkol, apa iya seorang kondektur tidak punya hak untuk mengingatkan sopir yang sudah keterlaluan.

Saya satu kursi dengan seorang kakek tua. Setiap naik Bus saya biasanya ngobrol-ngobrol dengan orang-orang yang ada di samping saya yang masih satu kursi. Kali ini tidak, saya hanya bisa mendengar bacaan wiirid, shalawat, bahkan sampai pada doa yang tidak saya kenal demi keselamatan.

Selain kecepatannya yang tidak manusiawi, bus ini juga sudah lancang dan berkali-kali mendahului kendaraan lain dari kiri. Benar-benar kurang ajar alias kurang belajar mengenai peraturan lalulintas.

Seharusnya PO nya lebih intensif lagi dalam mengedukasi para drivernya untuk taat aturan dan standar kecepatan. Sebab sopir yang nyaman sekalipun busnya tidak terlalu nyaman-nyaman amat akan terasa nyaman semuanya yang penting fasilitasi colokan listrik untuk ngecas. Hehe....

Sumber Foto: Wilnzreent.
Read More
Mengapa Saya Golput?

Mengapa Saya Golput?


Filipinaisasi dalam politik. Partai politik di Indonesia, menurut kajian ilmuwan politik dari Jerman bernama Andreas Ufen, yang banyak meneliti perkembangan demokrasi dan politik di ASEAN, menuliskan bahwa Indonesia banyak mengikuti trend negatif Filipina. Sama-sama lepas dari kediktatoran, Ferdinand Marcos dan Soeharto, kedua negeri itu kemudian terjebak dalam liberalisasi politik superfisial yang gaduh tapi minim partisipasi. Gejala-gejalanya seperti berikut:
Fokus pada cabang dan ranting bukan pada pohon dan akarnya. Perlu saya ingatkan kembali kepada kita semua, bahwa pemilu elektoral (memilih) hanya satu bagian saja dari apa yang disebut sebagai politik. Salah satu bagian dari instrumen demokrasi. Kita terlampau menghabiskan energi cukup besar membahas dan bertengkar soal cabang dan ranting politik: tata cara pemilihan, ambang batas pencalonan presiden, ambang batas parlemen, histeria soal siapa calonnya dan polarisasi yang tajam, ketimbang membahas akar dan pohonnya yakni bangunan demokrasi dan sistem kepartaian kita.
Partai-partai bersifat sentralistik. Seringkali partai politik justru adalah rumah yang tidak demokratis karena dikendalikan oleh kepemimpinan yang tidak cukup mengakar, oligarkis bahkan otoriter sehingga memicu faksionalisme internal. Pada saat yang sama, banyaknya partai dan sistem pemilihan yang rumit mengharuskan mereka membentuk koalisi-koalisi pragmatis yang rapuh karena sebagian besarnya tak memiliki ideologi yang jelas atau prinsip-prinsip politik yang ingin diperjuangkan.
Baca juga: Modal Pemimpin Versi Atorcator, Catatan untuk Jokowi dan Prabowo
Partai presidensial belaka. Indonesia pasca-Soeharto dicirikan oleh munculnya “partai presidensial”, partai yang dibentuk atau dimobilisasi sekadar untuk memenangkan kandidat presiden. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada partai baru saja, tapi, itu juga berlaku untuk partai lama. Partai tidak punya ikatan kuat dengan konstituen dan akar-akar wilayah tempat partisipasi ditumbuhkan, prinsip-prinsip politik diperjuangkan, masalah-masalah publik dipecahkan dan kader-kader partai yang mengakar serta berdedikasi pada urusan publik yang harus dihasilkan. Umumnya partai hanya semacam panitia penyelenggara atau event organizer dari kepentingan elit partai yang membutuhkan suara masyarakat.
Partai bertambah tapi miskin ideologi. Aspirasi membuat jumlah partai politik cukup tinggi namun tak berbanding lurus dengan tingginya tawaran ideologi atau perjuangan politik yang ingin diwujudkan. Sebagian besar partai tidak aktif kecuali pada musim pemilihan. Keanggotaan resmi partai sangat rendah. Organisasinya lemah. Kesetiaan kepada partai sangat longgar, baik di kalangan pemilih maupun politisinya. Pada banyak hal, kondisi itu terjadi karena kandidat, bukan partai serta program-programnya, yang menjadi fokus pemilihan setiap lima tahun sekali. Partai kehilangan ideologi atau tujuan besar dan mulia dari pembentukannya.
Kita punya banyak partai namun cita-cita politik dan platform yang ingin diwujudkannya kalaupun ada, begitu serupa dan hanya penghias di atas kertas. Dengan mudah bisa kita teliti partai politik yang berpolitik begitu zig-zag dan inkonsisten terhadap suatu isu kebijakan: dulu pro kemudian kontra, kemudian pro lagi lebih karena melayani kepentingan politik.
Menguatnya kartel politik. Salah satu ciri kepartaian Filipina yang kita warisi adalah munculnya kartel politik. Meski berbeda-beda partai, para politisi cenderung berkomplot untuk menjaga status quo. Partai masih banyak didominasi terutama oleh motif keuntungan material, partai mencari uang dari anggota parlemen, calon bupati, walikota, maupun pemodal. Di parlemen, partai-partai masih melayani kepentingan anggota parlemen yang mencari akses mudah kepada sumber uang. Para pemburu rente merajalela, menggadaikan negara seperti terlatih dan biasa. Seperti Bung Hatta dulu peringatkan negara bagi mereka hanya tunggangan, kekuasaan dan kekayaan menjadi tujuan. Money politics, kolusi dan korupsi tidak malah berkurang.
Kini pertanyaannya, mungkinkah kita merombak dan mengoreksi secara serius sistem kepartaian kita?
Pilihan saya adalah berusaha mengoreksi sistem dengan cara menolak dan mendelegitimasi sistem politik yang ada. Termasuk ritual-ritualnya. Jika golput angkanya semakin tinggi, itulah mekanisme publik memperbaiki sistem politik yang berpenyakit. Golput bisa sangat berperan penting mewujudkan perubahan yang lebih radikal dari sisi aspirasi publik.
Satu hal tak kalah penting yang ingin saya gelisahkan di sini, tempat persemaian lahirnya ilmuwan dan cendekiawan politik, bahwa kita dapat melihat semakin sedikitnya ilmuwan dan cendekiawan politik menjalankan peran intelektualnya sementara semakin banyak dari ilmuwan dan cendekiawan politik terlibat membuat kantor konsultan politik, pemilik lembaga survei, serta pollster yang pada akhirnya tak terelakkan kerjanya lebih banyak mencari peluang bisnis dari sistem politik yang ada.
Kita membutuhkan ilmuwan politik yang tekun meneliti, menulis dan mau bertindak menjadi intelektual publik untuk mengkritisi dan mempertanyakan bahkan menggugat sistem politik yang ada, menafsirkannya sesuai ruh zaman, melepaskannya dari status-quo dan oligarki.
Tapi itu semua akan sulit terjadi jika semakin banyak ilmuwan dan cendekiawan politik meninggalkan tanggung jawab intelektualnya untuk kemudian menyibukkan diri menjual jasa konsultasi serta survei politik. Saat itu terjadi, alih-alih mempersoalkan sistem politik, sebagai penyedia jasa bisnis politik, yang akan terjadi justru mereka melanggengkan dan menabalkan kemapanan sistem politik yang ada yang justru harus diperbaiki.
Selengkapnya di sini
Sumber Foto: Rmol.Sumsel
Penulis Hertasning Ichlas Aktivis kemanusian dan Pembela kaum lemah


Read More
Problematika Ganja Di Era Pos Truth

Problematika Ganja Di Era Pos Truth


“Ganja tidak diciptakan tuhan untuk kematian” demikian sebuah caption tertulis dari akun Instagram yang berkonten tentang Ganja. Setelah dipikir-pikir, ada benarnya juga, sih. Sejenak lalu penulis berpikir, lantas mengapa stigma masyarakat dan penulis menganggap bahwa ganja merupakan barang haram dan musti terlihat sebagai barang yang tercitra dalam lingkaran kejahatan dan cenderung kriminal?

Apa selama ini ada stigmasisasi buruk oleh perusahaan farmasi besar dunia seperti nasib rokok? Awalnya penulis berpikir demikian. Kemudian, penulis mencoba mencari informasi lebih dalam terkait ini. Dan, benar saja! Apa yang saya duga bahwa perusahaan farmasi besar dunia berusaha menutupi manfaat Ganja dengan menggandeng organisasi-organisasi kesehatan, yang tertinggi adalah WHO, untuk membuat propaganda bahwa Ganja adalah barang jahat.

Berdasarkan data beserta fakta yang tersebar di beberapa media, dapat disimpulkan bahwa perusahaan farmasi besar dunia takut merasa tersaingi oleh keberadaan Ganja sebagai obat anti depresan, anti mual, dan anti cemas yang lebih murah dan mungkin juga lebih ampuh dari obat jenis yang sama yang dijual oleh perusahaan farmasi dunia itu.

Sebagai penguat, ada tujuh belas Negara yang telah memberanikan  diri untuk melegalkan Ganja dan bahkan di Negara Urugay Ganja sudah dapat dibeli dengan mudah di apotek-apotek pinggir jalan. Namun tentu dengan pengawasan ekstra ketat untuk mengatur dosis dari pengguanaan Ganja ini agar tidak overdosis. 

Di sana, negara-negara yang melegalkan Ganja, mereka mampu menghemat pengeluaran biaya obat-obatan mencapai 160 juta US Dollar saat menggunakan obat-obatan milik perusahaan Farmasi besar dunia. Dan bisa dibayangkan batapa ruginya mereka, perusahaan farmasi besar dunia ketika Ganja sudah menjadi legal dikatakanlah sepertiga belahan dunia saja. Dan mereka tidak ingin hal ini terjadi.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sendiri, ganja telah dilarang dan menjadi barang illegal berdasarkan perundang-undangan  no 35 tahun 2009 tentang narkotika. Jadi jangan coba-coba mengonsumsi ganja di muka umum.

Bagaimana dengan hukum islam? Nah, di sinilah letak permasalahan yang sesungguhnya mengingat islam sebagai agama yang mengatur segala bentuk kehidupan manusia. Hukum islam (Syari’at) ringkasnya membagi ganja kedalam beberapa hukum. 

Pertama Haram jika tidak ada kebutuhan dalam menggunakannya, dan kedua makruh jika masih terdapat kebutuhan yang boleh ditolerir oleh syari’at dan dengan dosis yang tepat. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat murid dari Imam Syafi’i bernama Imam Muzani yang menyatakan Ganja adalah benda yang diharamkan mengingat memiliki kesamaan dengan Khamr yang memabukkan dan dapat merusak akal.

Kembali ke judul, penulis ingin menegaskan, bahwa di era Pos Truth seperti sekarang ini, masyarakat haruslah menggunakan cara-cara yang bijak untuk menghadapi segala hal yang tengah terjadi di dunia ini. Jangan hanya sekedar untuk mencari sensasi lantas dengan mudahnya kita menekan tombol like atau membagikan atau bahkan mengikuti arus. Berbahaya! Lebih baik ngopi rokokan dan jangan lupa traktiranya. hehehehe

Sumber Foto: Hello Sehat

Read More

Jumat, Januari 25, 2019

Buku dan Perubahan Dunia

Buku dan Perubahan Dunia


Salah satu bukti bahwa satu karya (baik fiksi maupun ilmiah) sangat berdampak luar biasa bagi perubahan sosial adalah novel Uncle Tom's Cabin atau Gubuk Paman Tom karya Harrit B. Stowe yang terbit di Amerika dan Eropa pada tahun 1852. Buku inilah yang dianggap memantik pecahnya Perang Dunia II, ya, perang dunia terjadi gara-gara buku, gara-gara tulisan!

Diceritakan awalnya Paman Tom, seorang budak kulit hitam dari Lousiana yang dimiliki oleh keluarga Arthur Selby di Negara bagian Kentucky yang lalu dijual kepada Augustine St. Claire dan akhirnya dilego kepada Simon Legree. Keluarga inilah yang memperlakukan Tom dengan keji dan kejam, hingga berujung pada kematian yang mengenaskan. Uncle Tom's Cabin ditulis dengan gaya sentimental dan melodramatik khas abad 19, tentu saja mengaduk-aduk emosi pembaca. 

Saya penasaran dengan buku ini karena guru saya, almarhum KH MA Sahal Mahfudh (1937-2014) Kajen, menceritakannya dalam kajian Ramadhan sewaktu saya nyantri sebentar di Pesantren Maslakul Huda (PMH) dan Matholi'ul Falah. Beliau membandingkan sistem perbudakan (isti'bad) dari berbagai imperium despotik: Romawi, Persia, India dan Arab pra Islam. Memang, Mbah Sahal adalah Kiai yang visioner dan sangat luas wawasannya (bahrul ulum).

Baca juga: Jangan-jangan Sudah Tak Lagi Pancasila Kok Buku PKI Harus Dirazia

Segera setelah diterbitkan, novel ini menyebabkan kegemparan di seluruh Amerika Serikat, dan mendapatkan hujan kritik dan demonstrasi dari Amerika bagian Selatan. Pengaruh buku ini begitu besar sehingga ketika bertemu dengan Harriet Beecher pada awal perang saudara Amerika, presiden Abraham Lincoln berkata padanya, "Jadi, inilah nyonya kecil yang membuat perang besar ini." Novel ini laris, terjual hingga lebih dari 1 juta kopi.

Satu lagi buku yang besar pengaruhnya bagi dunia pendidikan internasional adalah Totto-Chan, buku anak-anak yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi yang terbit pada 1981 dan menjadi bestseller di Jepang. Novel ini membeberkan nilai pendidikan yang Kuroyanagi terima di Tomoe Gakuen, SD Negeri di Tokyo yang didirikan oleh pendidik hebat bernama Sosaku Kobayashi selama Perang Dunia II.

Alkisah, ibu dari Totto-chan mengetahui kabar bahwa putrinya dikeluarkan dari Sekolah Negeri itu lantaran terlalu kritis dan banyak bertanya. Ibu Totto-chan menyadari bahwa Totto-chan membutuhkan sekolah yang tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berkreasi. Sang Ibu lantas mengajak Totto-chan untuk bertemu Kepala Sekolah di sekolah yang baru, pak Kobayashi. Betul, pak Kobayashi dengan tekun mendengar keluhannya selama 4 jam, “Mulai besok, kamu murid di sekolah ini, Nak!”

Buku ini menggambarkan peristiwa-peristiwa yang dialami Totto-chan selama belajar, persinggungan dengan teman-teman kelasnya, pelajaran-pelajaran yang dicernanya, serta atmosfer pendidikan yang mencerahkan dan memanusiakan manusia. Buku ini lantas, ditutup dengan peristiwa di mana Tomoe Gakuen terkena bom dari pesawat dan sekolah ini tidak pernah dibangun kembali. Peristiwa inilah yang mengakhiri tahun-tahun Totto-chan sebagai murid di Tomoe Gakuen. Buku yang sampai tahun 1980 ini terjual lebih dari 5 juta kopi ini telah diterjemahkan ke puluhan bahasa dunia.

Nah, di zaman gila medsos, mabuk agama dan kesurupan politik seperti sekarang ini, bahkan hoaks dan ujaran kebencianpun bisa menggerakkan massa untuk memenangkan pemilu, Brazil adalah contoh baru-baru ini, serta berbagai perang saudara di Timur Tengah dan kawasan Teluk satu dekade terakhir.

Apapun yang terjadi, perjuangan tertinggi manusia adalah memenangkan akal sehatnya dari kesia-siaan pola pikir yang kerdil dan pola sikap nan jumud. Tidak perlu bakat untuk bekerja keras, sebab semua kemenangan berasal dari berani memulai. Ya, belajar sembari berjalan. Manakala anda berhenti belajar, Anda berhenti memimpin, dan apabila Anda berhenti memimpin, Anda berhenti manjadi manusia. Agar tetap waras, membaca dan mendiskusikan buku harus dijadikan gaya hidup generasi milenial!
#venividisantri

Selengkapnya di sini

Penulis Ach Dhofir Zuhry adalah Ketua STF AL-FARABI dan pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen-Malang. Buku terbarunya yang banyak diburu para jomblo di musim hujan ini: KONDOM GERGAJI dan PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)

Sumber Foto: FB Ach Dofir Zuhry



Read More
Hal-hal yang Harus Kamu Ketahui Saat Pria Selingkuh

Hal-hal yang Harus Kamu Ketahui Saat Pria Selingkuh


Pria yang ketahuan berselingkuh itu semuanya malu, sehingga untuk menutupi malunya, dia berlaku apapun yang menyakiti kamu ketimbang minta maaf. Jika priamu berselingkuh dan tabiatnya begini, tinggalkan jenis pria ini.

Itu menunjukan dia bukan saja pengecut, tapi secara jelas mengakui perselingkuhan itu dia sengaja untuk terjadi, jadi bukan karena khilaf, disamping dia menunjukkan bahwa dia tipe pria dengan mental yang buruk.

Bagaimana jika dia ketahuan selingkuh lalu dengan gentle datang minta maaf? Jenis seperti ini argumennya boleh kamu pertimbangkan apakah dia khilaf atau dia benaran tipe Don Juan terlatih. Jika dia khilaf dan kamu masih cinta dan dapat untung dari relationship kalian, tak ada salahnya kamu pertimbangkan relationship kalian.

Baca juga: Selingkuh dan Pelakor Sama Saja

Jika dia Don Juan dan kamu masih cinta dan bangga mendampingi seorang Don Juan, silakan kamu pertahankan relationship kalian. Tapi jika kamu ga butuh tipe Don Juan, nggak ada untung dalam relationship kalian, tinggalkan tanpa perlu bicara apa-apa lagi.

Kenapa kita nggak harus bicara apa-apa lagi ke pria yang berselingkuh? Karena memang untuk hal yang terang-benderang kita  tidak perlu membahas ulang apapun lagi. Kamu udah paham apa yang dia lakukan ke kamu, dan dia nggak perlu disidang dengan perbuatannya kecuali dia PNS atau militer dan kamu ingin dia dipecat, silakan lapor ke atasannya.

Bagaimanapun, sekali perselingkuhan dimaafkan, bersiaplah untuk patah hati di esok hari untuk perselingkuhan ke dua. Kamu bisa pilih mana yang terbaik, bertahan hidup dengan pengkhianat atau memilih ketenangan hidup kamu sendiri.

Jika pengkhianatnya kere dan buruk rupa buruk laku, sebaiknya kamu hormati dirimu yang telah dihina-dinakan untuk nggak disentuh manusia yang tidak ada standar hidup. Sekarang dengan kondisi seperti ini, kamu sendiri yang harus berpikir, apakah tipe pria seperti itu adalah tipe pria yang kamu inginkan dalam hidup kamu sampai kamu tua dan mati?

Selengkapanya di sini

Penulis Estiana Arifin adalah Creative Writer di Author/ Writer dan Bekerja di Public Consulting

Sumber Foto: inovasee
Read More

Kamis, Januari 24, 2019

Menyambut Basuki Thahaja Purnama, Tokoh dan Korban dari  Praktik Politik Busuk

Menyambut Basuki Thahaja Purnama, Tokoh dan Korban dari Praktik Politik Busuk


Hari ini, kamis 24 Januari 2019 pak Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama resmi bebas murni setelah menerima potongan remisi. Tentu kebebasan ini turut memberikan angin segar bagi para pendukungnya. Lebih-lebih bagi ahoker.

Selain dikenal dengan tokoh yang politik menjaga amanah yang benar, bertanggung-jawab, utamanya tidak korupsi, beliau juga banyak menginspirasi banyak orang. Pak Ahok adalah tokoh yang sama sekali tidak menunjukkan dendam dengan tokoh politiknya.

Tidak perlu menghitung musuh politik dia berapa, yang jelas dulu monas dipenuhi jutaan orang dengan berjilid-jilid yang sampai saat ini masih direunikan, karena saking pentingnya momen itu. Artinya bagi saya Pak Ahok kini lebih dikenang oleh orang Islam melalui reuni itu. Karena tak mungkin ada reuni jika sosok Basuki Tjahaja Purnama tidak ada di tengah-tengah mereka.

Kini telah datang kembali sosok purnama yang sama sekali tidak meredup. Dari penjara dia kembali memancarkan sinar cahayanya sebagai tokoh figur yang tak gentar menghadapi hukum di tengah-tengah praktik politik busuk.

Banyak harapan dari penggemarnya untuk terus bangkit dan kembali berpolitik. Tapi dia enggan memutuskan hal itu dan lebih memilih menikmati kebebasannya dulu. Bagi saya Pak Ahok nampak lebih bijak bertutur dan bersikap pasca bebas.


Baca juga: Ketika Santri Nonton Film A Man Called Ahok di Tengah-tengah Penonton Tionghoa

Dia itu bukan orang pengecut, dia selalu belajar dari sebuah pengalaman, bahkan dia tak takut mengakui kesalahan dan berani meminta maaf. Pantas saja, saat masih dipenjara beliau banyak yang mengenang dan cahayanya terus memancar.

Pasca kebebasan ini banyak orang mempertanyakan apakah pak Ahok akan berlabuh lagi di dunia perpolitikan. Banyak juga yang menduga-duga kesibukan yang akan dilakukan pak Ahok pasca bebas dari penjara. Mulai dari sebagai pembawa acara Ahok Show sampai menjadi pembisnis.

Sosok Basuki Tjahaja Purnama benar-benar masih menjadi lentera di tengah-tengah masyarakat kita yang rindu dengan keadilan dan kebenaran. Di tengah banyaknya praktek korupsi sosok Basuki Tjahaja Purnama seharusnya menjadi teladan bagi para elit politik.

Ada pesan yang cukup membuat saya tersentak kagum betul dengan dia, seolah dia benar-benar mendapatkan hikmah dari dari rangkaian peristiwa itu.

"Saya bersyukur diizinkan tidak terpilih di Pilkada DKI Jakarta 2017, jika saya terpilih lagi di pilkada tersebut, saya hanyalah seorang laki-laki yang menguasai balai kota saja, tetapi saya di sini belajar menguasai diri seumur hidup saya," kata Ahok dalam suratnya.

Terlebih kata dia, jika menang dalam pilkada hanya dapat menguasai balai kota selama lima tahun. Untuk itu jika ia diminta memilih ketika waktu dapat diputar kembali, Ahok mengaku akan tetap memilih di penjara di Mako Brimob.

"Saya katakan akan memilih ditahan di Mako [Brimob] untuk belajar dua tahun (liburan remisi 3,5 bulan) untuk bisa menguasai hidupku," kata dia.

Pesan ini sangat inspiratif. Ini pesan yang tidak ada bedanya dengan pesan-pesan tasawuf dan tarekat tazkiyatun nafsi, menghilangkan egois dan nafsu. Selamat kembali beraktivitas pak Ahok kami selalu mengenang perjuanganmu sepanjang sejarah.

Sumber Foto: Detik.com

Read More