Mei 2018 - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Rabu, Mei 30, 2018

Puasa Kok Emosian

Puasa Kok Emosian

Wijasalawa.com

Penulis: Moh. Syahri

Atorcator.ComSaya sebenarnya pengin curhat tentang masalah saya, tapi rasanya kurang etis lah, gak pantaslah, bulan puasa seperti ini main curhat-curhatan kan mendingan tik-tokan aja sambil goyang-goyang menghibur diri. Daripada buang-buang energi dengan curhat yang gak berfaedah kan lebih baik numpuk pahala yang akan dinilai berlipat ganda oleh tuhan yang maha esa. Baik dengan cara saling berbagi pengetahuan yang baik dan benar terhadap orang lain.

Tetapi terkadang tidak menutup kemungkinan hal sebaliknya bisa terjadi. Meskipun sudah menyampaikan kebaikan kadang belum bisa dinilai benar oleh orang lain. Dan ini yang sering terjadi pada seseorang, cara menyampaikan kebenaran tidak dengan cara yang baik atau menyampaikan kebaikan tidak dengan cara yang benar. Sehingga hal seperti ini sering menyulut emosi berlebihan sampai lupa nikmatnya rasa humor. Emosi ya memang sifat manusiawi, tak kan bisa terlepas dari manusia. Orang yang gak pernah emosi berarti dia gak normal, ada gangguan pada pencernaan psikologisnya.

Cuma kan seperti ini, puasa ini kan pada intinya menahan atau mengendalikan, seperti apa yang sudah saya bahas pada tulisan-tulisan sebelumnya. Menahan tidak hanya pada rasa lapar dan haus saja, semua yang masih berhubungan dengan jasmani dan rohani harus bisa ditahan dan dikendalikan dengan sungguh-sungguh. Walaupun pada kenyataannya kita sering dipancing untuk membuat diri ini emosi, karena jujur saja tensi emosi pada saat puasa itu tetap sama dengan bulan-bulan lainnya, bahkan boleh jadi ada yang diatasnya karena sudah diselingi rasa lapar, haus, lemes dan lain sebagainya. Jangan sekali-kali memantik emosi karena rasa panas yang terdapat dalam emosi tidak bisa dikipas dengan uang.

Kalau hanya menahan lapar dan dahaga saja, banyak orang sudah melalui puasa dengan benar dan berhasil. Apalagi menahan hawa nafsu, ketidakadilan, inipun juga mungkin bisa dilewati dengan mudah. Anjuran dan tausiah tentang makna puasa untuk berbuat kebajikan, kebaikan dan menjauhi dosa mungkin salah satu pemicunya.

Di bulan puasa ini, Ada satu sifat, kebiasaan dan watak yg acapkali kita sulit menghilangkanya, yaitu emosi atau marah. Setiap selepas azan mahgrib (tentunya azan beneran, bukan contoh atau iklan tv) dan diperbolehkannya untuk berbuka, seringkali kita menjadi emosi atas apa yang menjadi ketidakadilan dalam hidup ini, rasa dendam di dunia maya karena perbedaan pandangan dan komentar yang saling sindir menyindir sangat mudah dibawa kedunia nyata.  Problem di dunia maya saja bisa sampai emosi ke dunia nyata. Apalagi problem itu memang di dunia nyata. Untung saja tidak sampai saling main bom-boman, kan tambah repot aparat kepolisian.

Dasarnya, ingin menebus semua keterbatasan dan ketidakbolehan di siang hari dengan pelampiasan yg maha hebat. Di malam hari menjadi waktu pelampiasan dahsyat. Jika emosi terhadap dahaga dan kelezatan saja kita tidak bisa mengerem dan menghilangkannya, bagaimana mungkin kita bisa belajar menjauh dan bahkan membunuh rasa emosi atas prilaku orang terhadap kita.

Menjauh dan membunuh emosi atas keterbatasan dan ketidakbolehan saat puasa di malam hari, adalah langkah awal untuk belajar menjadi org yg tidak pendendam atas apapun sikap dan perilaku buruk orang terhadap kita. Menahan lapar dan haus itu media untuk membersihkan jiwa, kenapa menjadi pedih? Seharusnya gembira ria, karena ini fasilitas yang disediakan untuk manusia pada bulan ini.

Puasa kok emosi.....
Mentang-mentang puasa rasa humor jadi hilang Becanda... dibilang ngomongin orang. Agak nyerempet dikit, marahnya kayak polisi nilang, itu puasa atau sedang ngadepin sidang? Hahahaha 😀

Puasa jangan baperan, di bulan puasa bukan tempat untuk baper kasian yang laperan gak kebagian baper. Puasa jangan sensi, perut kosong bibir kering yang seharusnya terkatup, malah ngoceh-ngoceh gak jelas, maki-maki gak jelas, kan kasian bibirmu tersiksa. Hehehehe

Terakhir, puasa itu santai jangan tegang.Yang tegang dan emosi itu biasanya orang yang tidak punya aktivitas khusus pada bulan puasa, baca Qur'an enggan baca buku enggan. Internet dan media sosial sering dijadikan tongkrongan. Sedangkan dirinya belum tamyiz dalam berinternet ria.

Salam damai dari santri perindu kedamaian

Wallahu a'lam bisshowab
Read More

Senin, Mei 28, 2018

Memaparkan Bakat Dalam Meraih Prestasi

Memaparkan Bakat Dalam Meraih Prestasi


Semangat dalam menggali potensi merupakan wujud dari proses menjemput sebuah prestasi. Proses kreatif seseorang beda-beda, jika kekreatifan tersebut tidak sering-sering kita sapa dengan sebuah percobaan maka ia akan terkubur dalam-dalam sampai tak menemukan ruang untuk bangkit. Memang kadang sebuah kepedean itu sangat penting dan perlu. Pede dalam mengakui kompetensi atau pede dalam mengakui segala hal yang kita miliki, seperti bakat dan lain-lain. Sebab jarang sekali seseorang akan mengakui kemampuan kita. Maka yang pertama kali harus mengakui kemampuan kita adalah diri kita sendiri

wallhahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang

Read More

Sabtu, Mei 26, 2018

Bom Takjil Cuekin Aja, Fokus Pada Masjid Sebagai Pusat Takjil

Bom Takjil Cuekin Aja, Fokus Pada Masjid Sebagai Pusat Takjil

Viva.id

“Bersenang-senanglah kamu di setiap bulan Ramadan tiba, karena di dalamnya terdapat masjid-masjid yang menyediakan takjilan dan acara buka bersama”. 
(Bukan hadis nabi). 

Beberapa akhir ini warganet dikejutkan oleh seorang perempuan bercadar yang membagi-bagi takjil di depan museum Universitas Brawijaya malang dengan bertuliskan BOMB TAKJIL. Tentu pekerjaan semacam itu memiliki maksud dan tujuan, katanya sih...untuk menghilangkan stigma negatif yang melekat pada wanita bercadar. Entah cara itu sudah benar apa tidak, yang jelas memang tulisan itu membuat sensitif beberapa netizen setelah terjadinya insiden bom Marko brimob dan Surabaya.

Meski kasus-kasus candaan bom ini banyak dikecam, penggunaan kata ‘bom’ seolah-olah gak ada apa-apanya bagi kalangan mahasiswa rantau. Dianggap sesuatu yang biasa. Gampangnya, tak bisa membuat mahasiswa rantau sensitif, bagaimana akan sensitif untuk buka puasa aja mesti harus cari yang gratis-gratis atau majjanan dalam bahasa arabnya. Mahasiswa tak mungkin beranggapan bom takjil akan dapat meledak memakan banyak korban, justru mereka akan lebih berani mendekat dengan bom itu bahkan seringkali dicari tak peduli mereka akan menjadi korban bom takjil apa tidak, yang penting bisa buka puasa gratis.

Interpretasi-interpretasi yang dibuat para netizen dengan adanya BOMB TAKJIL itu, banyak mendapatkan perlawanan dari mahasiswa. Intinya mereka pasang muka cuek dan menerobos masuk untuk mendapat takjil itu. Mari kita selalu berbaik sangka kepada siapapun yang akan bersedekah di bulan Ramadhan ini. Begitulah apa yang dikatakan teman saya Mahasiswa UB Malang.

Dalam melihat peristiwa ini, apa yang dimaksudkan diatas satu sisi memang harus kita terima berdasarkan diskriminasi-diskriminasi yang memang sering digulirkan. Walaupun memang ada sedikit kejanggalan yang sama sekali tidak menampakkan rasa empati terhadap kejadian bom kemaren.

Namun karena momen ini juga sangat pas dijadikan instrumen untuk berbagi dan bersedekah tentu kita harus menunjukkan rasa respek. Tidak harus menaruh kecurigaan berlebihan apalagi marah berlebihan, ingat sekarang bulan puasa, harus mampu mengendalikan emosi. Supaya tidak menimbulkan masalah baru, numpuk, bertubi-tubi dan tak kunjung selesai. Tapi tetap harus waspada. Spanduk dan simbol yang mereka ributkan tak bisa membuat kualitas puasa mereka meningkat. Toh dua-duanya juga tak bisa membuat perut ini busung dari kelaparan setelah seharian tidak makan dan tidak minum.

Bagi saya begitu juga mungkin bagi anak rantau pada umumnya ramadhan memang bulan yang terus dinanti-nanti. Bukan hanya karena bulan ini penuh berkah, maghfirah dan rahmat. Tapi juga karena banyak masjid dan tempat-tempat lain yang menyediakan takjil atau menu buka puasa gratis yang mesti harus kita hargai dan hormati pemberiannya. Tetapi yang banyak ditempati pusat takjil gratis memang masjid. Masjid memang tempat strategis untuk dibuat tempat menebar kebaikan. Tak terkecuali urusan bersedekah takjil di bulan Ramadhan. Bukan berarti tempat lain tidak boleh dijadikan tempat menebar kebaikan. Seperti halnya yang dipraktekkan para wanita bercadar itu.

Kalau boleh saya katakan mahasiswa rantau itu statusnya sedang yatim piatu, yakni gak ada bapak dan ibu yang mau nyiapin menu buka puasa. Sehingga tak heran jika setiap harinya harus memburu takjil gratis di masjid-masjid. Tanpa harus memikirkan sebuah kesensitifan yang belakangan ini sangat heboh diperbincangkan, dan sangat bising kedengarannya. Sensitif  tidak bisa membuat perut ini busung bung. Hehehehe

Mahasiswa baik itu memang yang sering-sering pergi ke masjid. Walaupun hanya sekedar memburu takjil. Karena sangat jarang sekali melihat mahasiswa yang rajin ke masjid. Padahal mahasiswa yang rajin ke masjid sekarang ini banyak dicari oleh para pendownload mantu. Bukan mereka yang sering pergi ke mall.

Takjil yang menjadi buronan tak pernah kehabisan stok. Walaupun setiap harinya harus terus diburu banyak warga dan mahasiswa. Apa mungkin ini yang dimaksud bulan berkah. Pusat takjil pun tak pernah keberatan dan putus asa untuk terus memproduksinya, walaupun setiap harinya dimintai menu yang berbeda-beda.

Dengan banyaknya takjil di masjid-masjid yang tak pernah kehabisan stok selama bulan Ramadhan penuh, memang memberikan makanan atau takjil kepada orang yang berpuasa merupakan anjuran Nabi Muhammad saw yang berbunyi “Barang siapa yang memberi makan orang yang menjalani ibadah puasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sama sekali”. (HR. Tirmidzi).

Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan sebagai berikut, “Orang yang berpuasa disunahkan berbagi sesuatu dengan orang lain untuk buka puasanya meskipun hanya sebutir kurma atau seteguk air. Kalau dengan makan malam, tentu lebih utama berdasar pada hadits Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ‘Siapa yang membatalkan puasa orang lain, maka ia mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi pahala puasa orang yang bersangkutan.’”

Mungkin hadis di atas ini yang sering dijadikan inspirasi oleh para mahasiswa para pemburu takjil. Sehingga mereka begitu semangat mendatangi masjid, berbondong-bondong dalam mencari keberkahan ramadhan. Semoga tetap menjadi inspirasi dampak pada bulan ramadhan berikutnya.

Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang

Read More

Jumat, Mei 25, 2018

Ketika Tempat Ibadah Tak Lagi Difungsikan Sebagaimana Mestinya

Ketika Tempat Ibadah Tak Lagi Difungsikan Sebagaimana Mestinya

Google

Penulis: Moh. Syahri

Beberapa hari yang lalu saya disempatkan pulang kampung untuk mengobati rasa rindu dan kangen yang sudah lama dipendam. Tak ada maksud untuk menjelajahi sebuah desa. Namun seiring dengan kebutuhan keluarga maka saya sering keluar desa untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tak jarang juga saya juga sholat dibeberapa masjid dan mushalla terdekat di desa saya.

Masjid dan mushalla yang dulunya menjadi pusat peribadatan orang desa dalam menjalankan ibadah sungguh mengalami perubahan yang sangat memprihatikan. Bukan hanya soal masyarakat yang enggan untuk sholat berjamaah dalam sholat 5 waktu namun juga dari sisi pemeliharaan tempat ibadah itu yang cenderung tidak mendapatkan perhatian khusus.

Memasuki bulan suci Ramadhan, kebetulan hari pertama saya masih di rumah. Sebelum-sebelumnya saya sengaja mencari informasi kegiatan ritual keagamaan seperti pengajian kitab hataman yang memang biasa dulu diselenggarakan di desa saya. Namun belakangan ini, sudah 3 hari saya di rumah belum menemukan kegiatan-kegiatan seperti tempo dulu itu. Sehingga tempat ibadah itu nampak sepi dan tak berfungsi apa-apa. Semoga ini hanya sekedar penglihatan saya saja.

Dulu masjid dikampung saya disaat menunggu buka puasa selalu mengadakan hataman kitab  yang dipimpin oleh guru guru agama sekaligus memberikan tauziah, sekarang masjid seperti kuburan mungkin karena banyak guru guru agama sudah pasang tarif dalam menjajakan ilmu agama semakin jauh dia merantau semakin fasih mengucap firman Tuhan maka semakin tinggi bayarannya

Dulu semasih kanak kanak masjid selain menjadi tempat ibadah juga menjadi pusat belajar dan bermain, tiduran dimasjid, saling rebutan jadi petugas adzan, saling sembunyikan pemukul bedug, adu kuat teriak Amin waktu sholat, sholat tertib hanya di rakaat terakhir selebihnya senda gurau, walaupun begitu tetap menjaga kebersihan masjid karena tertanam dijiwa ini untuk selalu menjaga masjid.

Tapi sekarang masjid seperti museum yang ber fungsi hanya mencari sumbangan, anak anak dilarang bermain dan berkumpul, anak anak dianggap bahaya laten kekhyusukan dalam ber ibadah, maka sekarang lihatlah anak anak lebih suka berkumpul di Warnet, di penyewaan video game, kongkow di pinggir jalan sambil balapan bahkan ada yang jadi cabe dan terong, padahal banyak hadist yang menceritakan Rasulullah saw tidak terganggu bahkan menikmati ketika beliau di usik cucu cucu nya disaat beliau sholat

Tuhan kita penjara di dalam Masjid karena masjid seperti penjara dikunci setiap waktu dan dibuka hanya disaat jam sholat, banyak masjid menjadi lembaga peminta minta karena semakin kaya kas masjid semakin makmur lah masjid tersebut bermacam macam cara dilakukan masjid bahkan menjaring recehan di tengah jalan pun dilakukan untuk meminta sumbangan dengan dalih pembangunan, sudah semiskin itukah kita menggambarkan Tuhan dalam membangun rumah ibadahnya

Celakanya jika pengurus masjid adalah ahli waris dari pendiri masjid, sudah dapat dipastikan semua kas masjid akan dihabiskan hanya untuk pembangunan masjid, mereka tidak peduli apakah di sekitar masjid banyak warga miskin, yatim piatu yang lebih membutuhkan bantuan daripada perluasan masjid, mereka merasa masjid milik nenek moyangnya dan mereka berhak mengelolanya tanpa pertanggungjawaban, masjid dijadikannya industri ibadah mulai Haul nenek nenek moyangnya sampai kegiatan politik menjelang Pilkada, ironinya semua kegiatan tersebut berujung dengan tujuan utama yaitu meminta sedekah, apakah ukuran kemakmuran suatu masjid seperti itu? Pernahkah mereka berpikir apakah Tuhan bahagia dengan perbuatan mereka yang membangun masjid dari hasil meminta minta atas nama Tuhan,..
Apakah dengan banyaknya masjid menjadi ukuran bahwa kita masyarakat ahli surga,..
Semoga Tuhan menghancurkan masjid masjid yang dibangun atas niat menjual TuhanNya,...

Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Yakni orang yang menindas anak yatim dan tidak bersedia memelihara hidup golongan peminta-minta, Maka celakalah golongan yang shalat!Yakni orang-orang yang menganggap remeh shalat mereka; Yakni orang-orang yang gemar menampak-nampakkan namun enggan untuk memberi sumbangsih.

Wallahu a'lam bisshowab
Read More

Rabu, Mei 23, 2018

Mencari Kegembiraan yang Hilang di Bulan Suci Ramadhan

Mencari Kegembiraan yang Hilang di Bulan Suci Ramadhan


Suasana Ramadhan 2008 desa taraju
Penulis: Moh. Syahri

Atorcator.ComPerbedaan fase dari hari ke hari, mingu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Sehingga sampai pada bulan yang penuh berkah ini yakni bulan ramadhan adalah momen dimana untuk saya pribadi sering dihinggapi sebuah pertanyaan dasar. Apakah puasa ini bentuk penghambaan kepada Allah SWT sebagai hasil takwa atau hanya ikut-ikutan saja? Pertanyaan tersebut kadang membuat saya subversi, menteror. Yang jelas ini hal yang perlu diungkap keberadaannya, supaya kita tidak terus tertipu dengan bungkus semata. Sekaligus melatih kejujuran dan keterbukaan dalam mengungkapkannya. Silahkan jawab dihati kalian masing-masing.

Tidak semua hal memang perlu ditanya untuk apa, kata seorang penyair. Tapi, hidup yang tak pernah dipertanyakan sesungguhnya sudah tak layak lagi dijalani, kata seorang filsuf kuno.

Kebanyakan orang menilai bulan ramadhan adalah bulan kegembiraan. Jujur saja, saya puasa ramadhan kalau gak salah sejak kelas 3 MI/SD, saya gak tau waktu itu umur berapa, yang jelas atmosfer ramadhan tahun ke tahun sedikit banyak mengalami perubahan. Baik perubahan secara geografis maupun sosialis. Dan ini nampak saya rasakan saat ini.

Dulu saya masih ingat, walaupun saya tidak tua-tua amat tapi perubahan-perubahan ini perlu saya tulis dengan gamblang supaya kita bisa berpikir. Apa sebenarnya yang menyebabkan ini semua.

Puasa memang agak unik belakangan ini. Orang bisa saja tidak salat, dan tak ada yang meledek. Tapi, coba saja, kau ketahuan tak puasa, setidaknya di hari pertama ramadhan, maka kau akan dilihat dengan tatapan hina, seolah-olah kau adalah orang kafir yang akan pertama kali dicemplungkan ke dalam neraka setelah hari kiamat kelak.

Saya masih ingat betul dulu, ketika sudah memasuki waktu ashar dan matahari mulai bersiap-siap untuk terbenam. Saya dan teman-teman terus berencana untuk mencari malam (red Madura: nyare malem) supaya adzan tidak terasa lama untuk ditunggu, sambil jalan-jalan menapaki indahnya perkampungan penduduk desa. Susana ramadhan yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan tak pernah disia-siakan. Lebih-lebih dalam urusan silaturahmi yang terus ditumbuh kembangkan dalam hati teman-teman di desa. Sekitar sepuluh menit atau 15 menit sebelum adzan Maghrib, saya dan teman-teman sudah mulai pulang berbalik arah untuk persiapan buka puasa, sekalian beli es batu sebagai pendingin minuman yang siap untuk berbuka.

Begitu juga dengan suasana keluarga yang cukup sederhana dan tak bermewah-mewah. Semenjak ibu masih ada, beliau sering buat kolak, apem, dan kue-kue tradisional khas desa saya. Rasanya sangat nikmat dengan kelengkapan keluarga yang sedang berkumpul baik waktu berbuka puasa, tarawih hingga sahur bersama dan lebaran bersama.

Tapi sekarang sudah berubah. Tak ada lagi orang yang bikin kue-kue seperti itu atau sedikit orang yang bikin kue-kue khas seperti itu, kecuali mereka yang terikat dengan bisnis. Kebanyakan diantara kita itu penginnya serba instan dan tidak mau berkreasi sendiri. Inilah belakang ini yang saya rasakan betul perubahannya.

Sama halnya dengan atmosfer ritual keagamaan yang cenderung menurun secara signifikan. Di desa saya dan begitu juga di desa-desa yang lain tentunya, mushola atau langgar yang sebelumnya tidak memakai pengeras suara atau speaker dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan, memasuki bulan ramadhan semua serentak mulai memakai pengeras suara atau speaker dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan, tidak lain dan tidak bukan semata-mata untuk menyambut bulan suci ramadhan yang penuh berkah dan memeriahkan ritual-ritual keagamaan itu sendiri yang tentunya memiliki nilai lebih daripada bulan-bulan lainnya. Inilah suasana Ramadhan yang saat ini juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Suasana dulu tidak lagi saya rasakan begitu semarak dan meriah, suasana sahur yang biasanya ramai dengan orang yang membangunkan untuk sahur lewat loudspeaker tak lagi bising ditelinga.

Banyak “hal baru” lainnya terjadi. Dulu, orang puasa ya puasa, sekarang puasa belum dimulai saja, orang-orang sudah berdebat pro-kontra tentang keharusan warung makan menutup dirinya di siang hari, untuk menghormati yang berpuasa. Kaum lainnya bilang, yang tidak berpuasa juga perlu dihormati. Saya tak habis pikir, mereka itu mewakili siapa sih? Benarkah orang-orang yang berpuasa itu minta dihormati, salah satunya dengan warung yang tutup di siang hari? Apakah mereka menjalani puasa dengan berdiri sepanjang hari di dekat warung? Lalu, orang-orang yang tidak berpuasa, benarkah pula mereka juga minta dihormati? Mengapa isunya jadi mengerucut menjadi soal hormat-menghormati? Perdebatan yang aneh, tapi lebih aneh lagi, karena keanehan ini terus berulang tahun-tahun belakangan ini. Puasa jadi identik dengan keberisikan yang tak terperi. Belum lagi selalu muncul segerombol orang yang merasa berhak melakukan razia dan sweeping pada warung-warung yang tetap buka , dan pada orang-orang yang makan di situ, pada siang hari.

Barangkali orang-orang ini, yang selalu berdebat dan bikin aksi-aksi razia itu, diam-diam merasakan apa yang saya rasakan mereka sebenarnya mulai “bosan” dengan kewajiban berpuasa ini. Kau tahu, orang-orang yang bosan akan cenderung nyari gara-gara untuk mengalihkan perhatian, sambil berusaha menemukan kembali sebuah makna yang telah hilang. Makna itu adalah kegembiraan!

Wallahu a'lam bisshowab
Read More

Minggu, Mei 20, 2018

Ramadhan: Berlomba-lomba Dalam Kebaikan Bukan Berlomba Kepo Membahas Orang Lain

Ramadhan: Berlomba-lomba Dalam Kebaikan Bukan Berlomba Kepo Membahas Orang Lain


Penulis: Moh. Syahri

Atorcator.ComBulan Suci ramadhan merupakan bulan yang dikenal mendatangkan rahmat, maghfirah dan menjauhkan dari siksa neraka. Namun nampaknya kita terlelap dalam tidur, sampai-sampai lupa dan tidak sadar akan adanya ketiga hal tersebut. Padahal ketiga hal tersebut nampak ada dan seharusnya diperjuangkan pada bulan ini. Bulan suci ramadhan itu adalah bulan fokus, konsentrasi, khusyuk dan orientasinya  berharap akan mendapatkan rahmat maghfirah dan menjauhkan diri dari siksa neraka yang menjadi modal besar kita kelak hari kiamat.

Dalam sebuah riwayat dikatakan, Ramadlan adalah bagaikan air hujan yang mengguyur tanah yang gersang, dan air hujan tersebut mampu menumbuhkan tanah yang gersang menjadi tanah yang subur makmur, menumbuhkan tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang bisa kita manfa’atkan.

Ramadlan juga bagaikan air yang digunakan untuk membersihkan diri kita sehari hari, jika seseorang selalu membersihkan dirinya setiap hari dengan air, maka dirinya pun akan tampak terlihat bersih dan beseri-seri serta merasa nyaman.

Nuansa keagamaan dibulan ramadhan semakin semarak berbeda dengan bulan-bulan lainnya, masjid-masjid penuh dengan orang-orang sholat jamaah, hingga sampai pada pembacaan Al-Qur'an. Hataman kitab kuning yang menjadi ciri khas pesantren setiap tahunnya pada saat bulan suci ramadhan merupakan ritual keagamaan yang paling mendominasi. Tak sedikit banyak yang mengikutinya walaupun bukan santri. Inilah momen dimana kita harus benar-benar dan serius dalam meraih pahala Allah SWT. jangan sampai disia-siakan.

Puasa yang secara arti sempit itu menahan diri dari makan, minum, seksualitas dan segala perbuatan keji, tak lagi menjadi amunisi oleh mereka yang menjalankan puasa. Dalam puasa tidak hanya soal tidak makan dan tidak minum saja. Memahami kalimat 'Menahan diri dari perbuatan keji' tentu memiliki arti yang luas dan cakupannya luas juga.

Bulan suci ramadhan mengajarkan kita untuk selalu fokus pada amal kebaikan tanpa harus melirik dan membicarakan aib orang lain yang kadang hal seperti itu tidak ada korelasinya dengan kita malah adanya merugikan. Puasa seharusnya mampu mengendalikan diri dari segala perbuatan yang tidak baik, seperti ghibah, iri dan hasut. Puasa melatih kita untuk terus bersabar. Kesabaran itu kadang akan mendatangkan kepedulian terhadap orang lain, selalu menjaga ucapan, pikiran dan hati. Bukan justru sibuk mengurus orang lain, apalagi sampai mencaci dan menjelek-jelekkan orang lain.

Dalam satu riwayat dikisahkan Nabi mendengar seseorang yang memaki sahayanya. Nabi minta ia berbuka. Orang tersebut menolak karena ia tengah berpuasa. Lantas orang tersebut mendengar wejangan agung dari lisan Rasul yang mulia: "Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu? Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan."

Berdasarkan sabdanya Rasullullah Saw semakin jelas bahwa dalam bulan suci ramadhan semua anggota tubuh diajak untuk berpuasa tanpa terkecuali. Sehingga sia-sia jika puasa kita hanya dibuat bahan gunjingan orang lain.

Puasa yang merupakan kegiatan ritual harus memiliki dampak sosial lebih-lebih dalam situasi sekarang ini agar selalu waspada dan tidak boleh terjebak pada hal-hal yang mudah bikin sensitif. Mudahnya terlarut dalam konflik sosial karena masih seringnya membatasi jarak antara kehidupan ritual dan kehidupan sosial. Tak terkecuali kegiatan ritual puasa itu sendiri.

Rasa syukur dan optimis tentu merupakan modal utama sebagai bekal untuk menjalani Ramadhan di tahun ini. Suka-cita perlu kita bangkitkan sebagai bekal menjalankan ibadah puasa sambil merajut tali persaudaraan dan kemanusiaan kembali.

Apa yang sebaiknya kita lakukan? Introspeksi adalah langkah awal untuk memperbaiki keadaan. Ramadhan adalah bulan yang baik untuk introspeksi (muhasabah) dengan dilandasi keikhlasan dan kejujuran.

Wallahu a'lam bisshowab
Read More

Jumat, Mei 18, 2018

Ramadhan Merupakan Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Ramadhan Merupakan Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Internet Ramadhan

Penulis: Moh. Syahri

Atorcator.ComBulan ramadhan yang penuh berkah ini banyak sekali kesempatan-kesempatan yang bisa dijadikan ladang untuk mendapatkan pahala berlipat-lipat. Karena dibulan ini Allah sangat jelas memberikan sebuah pencapaian lebih dalam amal kebaikan kita. Namun kadang kita lupa akan pentingnya hal semacam ini. Boleh jadi kita terlalu euforia akan datangnya bulan suci ramadhan ini, yang mana dengan sekedar hanya euforia saja kita belum bisa sampai pada titik terang esensi bulan ramadhan.

Bulan ramadhan yang sering banyak ditunggu-tunggu oleh masyarakat muslim pada umumnya seharusnya dijadikan momen dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan produktivitas amal baik yang konsisten sampai pada bulan-bulan berikutnya. Sehingga jika hal semacam ini terus ditanamkan dalam diri seorang yang menjalankan puasa, pasti mereka tidak hanya sekedar menyambut bulan ramadhan sebagai bentuk euforia saja. Namun dalam euforia tersebut ditopang dengan amal kebaikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan produktivitas amal baik sampai pada bulan-bulan berikutnya.

Jadi bulan ramadhan ini adalah bulan Syahrul Tarbiyah atau bisa dikatakan bulan pendidikan. Namun ruang lingkup pendidikan ini tidak terbatas pada pendidikan jasadiyah saja atau pendidikan badan dan anggota untuk menahan makan, haus dan hubungan seksual. Namun lebih dari itu bulan ramadhan ini sebagai momentum untuk mendidik pola berpikir kita atau disebut dengan pendidikan fikriyah dan momentum untuk menyucikan hati dari kotoran-kotoran yang menempel yang disebut dengan pendidikan qolbiyah.

Pendidikan jasadiyah merupakan pendidikan yang mendasar dalam menempuh perjalanan puasa selama bulan ramadhan penuh. Ketika sebelum-sebelumnya jasad atau raga kita secara bebas untuk melakukan apapun, makan, minum, berhubungan intim dengan istri. Namun dalam kesempatan berpuasa ini hal tersebut dilarang, tidak boleh makan, minum, dan melakukan seksual dengan pasangannya. Tatkala tidak berpuasa, artinya dimalam hari bulan ramadhan itu boleh-boleh saja melakukan hal tersebut. Maka dibulan yang penuh berkah ini segala aktivitas yang berhubungan dengan jasad atau raga ada batas-batas tertentu yang harus kita perhatikan betul oleh seorang yang melakukan puasa.

Terkadang kita lupa akan pentingnya pendidikan jasadiyah ini. Karena pendidikan jasadiyah ini terus dihantui oleh keinginan lebih atau nafsu yang menggebu-gebu untuk melakukan sesuatu, tak terkecuali urusan makan, minum dan hubungan seksual itu. Kesempatan-kesempatan itu kadang muncul tak terduga dalam diri kita. Dalam hal makanan, semua makanan yang halal saja dilarang apalagi yang haram. Dan yang tak kalah penting adalah ketika kita hendak berbuka puasa dan sahur, keinginan untuk melebihi batas normal dalam mengisi perut cenderung dibuat ajang balas dendam karena seharian sudah dalam keadaan kosong tidak makan. Padahal perbuatan semacam ini sangat riskan sekali terhadap tubuh kita, bisa membawa malapetaka dan penyakit. Sahur dan buka puasa sebenarnya ada keberkahan yang tak bisa kita tebak akan datangnya. Disamping itu sahur dan buka puasa seharus mampu menutrisi otak nafsu dan hati dalam upaya memperbaiki kualitas hidup.

Selanjutnya Pendidikan fikriyah. Dalam pendidikan ini seseorang dituntut untuk berpikir, mengasah otak. Karena terus terang saja berdasarkan pengalaman dan bukti empirisnya ketika perut lagi kosong dan tidak kenyang maka otak kita cenderung bisa dan mampu melahirkan dan memunculkan pemikiran-pemikiran tajam dan mendalam. Berpikir positif tentu menjadi prioritas utama dalam bulan ramadhan. Bagaimana menempatkan diri kita ini sebagai hamba yang mampu menjalankan ibadah puasa yang baik di sisi Allah SWT dan diterima di sisiNYA.

Seperti apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, Tafakkaru fi kholqillah wala tafakkaru fi dzatillah. Berpikirlah tentang ciptaan-ciptaan Allah SWT dan jangan berpikir tentang dzat-dzat Allah SWT. Berpikir akan ciptaan Allah SWT merupakan manifestasi dari dzikrullah. Mampu melahirkan imajinasi-imajinasi akan ciptaan Allah SWT yang mulia. Sedangkan berdzikir yang disertai dengan berpikir merupakan tingkat level atas dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di bulan ramadhan ini.

Kemudian pendidikan hati atau tarbiyah qolbiyah. Jelas dalam pendidikan ini seseorang dituntut untuk membersihkan hati dari segala macam kotoran yang bersemi di dalamnya. Bulan ramadhan bulan yang penuh ampunan dan pahala dilipat gandakan. Namun pada pendidikan ini jelas sangat menentukan akan hasilnya puasa selama satu bulan penuh. Pada hakikatnya pendidikan hati ini merupakan pangkal dari segala pendidikan di atas. Raga kita baik karena ada hati kita yang baik. Otak kita baik karena ada hati kita yang baik pula. Jadi dalam ketiga pendidikan ini jelas memiliki korelasi penting yang tidak bisa dipisahkan.

Pendidikan hati atau tarbiyah qolbiyah dibulan ramadhan ini dalam upaya membersihkan hati dari segala macam penyakit seperti ghibah, hasut, iri dan dzolim menjadi hal sangat penting dalam meraih pahala puasa. Maka dari itu, kita harus pintar-pintar mengatur hati ini untuk tidak terjebak pada hal-hal yang tidak baik.

Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ini, bulan ramadhan merupakan bulan paling efektif dan efisien untuk melakukannya. Puasa yang dilakukan dengan sabar dan ikhlas dalam berjuang dalam mematuhi perintah Allah SWT maka akan menjadi manusia yang mampu melahirkan amal kebaikan di bulan-bulan berikutnya dan pendidikan-pendidikan di atas jelas akan memberikan efek positif pula dibulan-bulan berikutnya. 

Insyaallah, Semoaga, Amien

Wallahu A'lam
Read More

Rabu, Mei 16, 2018

Kenapa Harus Marah Disaat Polisi Memeriksa Santri Karena Dicurigai Teroris?

Kenapa Harus Marah Disaat Polisi Memeriksa Santri Karena Dicurigai Teroris?

Santri yang dicurigai teroris

Story' WhatsApp saya yang baru saya update beberapa jam yang lalu langsung mendapatkan respon dari para santri dan mahasiswa. Dalam story' WhatsApp saya tentang pernyataan bahwa polisi memeriksa santri itu wajar-wajar saja disaat Indonesia mengalami kegentingan. Ini membuat sebagian masyarakat kecil dan teman-teman saya marah dan mengecam saya sebagai bagian dari oknum polisi yang tak beradab. Perlu saya ketahui sebelumnya saya juga bagian dari santri bahkan saya nyantri kurang lebih 5 tahunan, walaupun gak terlalu lama. Setidaknya sudah lebih lama daripada yang 4 tahunan. Hehehehe 😍

Alhamdulilah ketika saya nyantri. Saya tidak pernah diajarkan menghujat orang lain. Kitab yang saya pelajari di pondok tercinta tidak sekaku apa yang kalian utarakan saat ini. Di pondok saya dijarkan untuk tidak gampang menyalahkan orang lain. Dan selaus menghargai orang lain.

Saya sempat bingung. Kenapa masyarakat dan teman-teman saya kok begitu besar amarahnya lebih parahnya lagi sampai ada yang misu melihat polisi memeriksa barang-barang bawaan santri itu? Kenapa harus marah? Bahkan sebagian yang lain ada yang menyatakan "orang Islam dipersekusi" alias dalam konteks peristiwa ini "santri dipersekusi". Kalau dulu ulamanya yang dipersekusi sekarang santrinya juga dipersekusi. Lengkap sudah. Begitu bangga dishare di media sosial dengan caption "Santri didzolimi", kalian sudah dibuat tidak aman di negeri ini. Ternyata musibah bom ini yang seharusnya dibuat untuk menaruh simpati dan empati justru dijadikan tempat untuk marah-marah dan tuding menuding. Konklusinya tak hanya perbedaan pandangan yang membuat kita berpecah belah tapi musibah pun bisa dibuat alat berpecah belah.

Tidakkah kalian lihat kejadian belakangan ini, para polisi itu juga yg menjadi korban pertama, kalau ternyata barang bawaan yg diperiksanya ternyata berisi bom/alat peledak? Mereka hanya menjalankan tugasnya. Tugas kita hanya mematuhi apa yg di instruksikan mereka. Kalau tidak ada barang berbahaya yang kita bawa, polisi pun tidak akan melakukan apa2 terhadap kita.

Tugas polisi itu berat, lebih berat daripada filem Dilan 1990. Mereka diberi tugas menjaga keamanan negeri ini dari berbagai macam ancaman. Sedangkan negeri ini begitu luas dan besar yang didalamnya juga berisi kalian yang sering menuding yang nggak-nggak. Aparat kepolisian tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya pun salah. Tentu dalam hal ini kita harus melihat dari perspektif positif terlebih dahulu. Lebih-lebih dalam situasi yang runyam seperti sekarang ini. Jangan malah menambah beban terhadap negeri karena hujatan kalian ini. Walau bagaimanapun, menaruh perhatian simpatik kepada negara adalah bagian dari iman (Hubbul wathan minal iman). Mendukung aparat kepolisian dalam menjaga NKRI merupakan bentuk partisipasi kita sebagai warga negara.

Biarkan aparat kepolisian bekerja terlebih dahulu sebagaimana mestinya. Bukan berarti kita tidak boleh melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat kepolisian. Namun jika hal-hal sepele ini saja kalian begitu perhatian sedangkan dalam kasus Novel Baswedan yang sampai saat ini belum ditemukan benang merahnya justru kalian tidak peduli. Apakah ini yang dinamakan dengan keadilan dalam berpikir?

Tidakkah kalian menyadari bahwa para polisi ini juga punya keluarga yang menunggunya di rumah, berharap mereka kembali dari tugas dengan selamat? Tidakkah kalian menyadari bahwa mayoritas dari para polisi ini juga beragama Islam, sama seperti kalian? Tidakkah kalian sadar bahwa mereka juga manusia biasa yang punya rasa lelah, takut, dan rasa lain yg berkecamuk di benaknya dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini, sama seperti kita? Padahal mereka ditugaskan di lini terdepan, untuk menjaga kita semua, sementara keselamatan mereka sendiri juga terancam siang & malam?

Mari kita saling bahu membahu. Mari kita saling husnudzan. Mari kita saling hormat-menghormati. Mari kita saling menghargai. Mari kita terus bermuhasabah atau berintrospeksi diri. Sudahkan kita menjadi muslim yang baik, yang selalu menebar senyum dengan sesama, menebar rasa aman, tanpa harus menakut-nakuti sesama. Memberikan rasa perhatian lebih terhadap sesama seperti halnya memberikan perhatian terhadap diri sendiri. Tidak mau menang sendiri. Jadilah muslim yang ramah bukan sedikit-sedikit marah dan ngamuk.

Mulailah bersikap adil sejak dalam pikiran kita. Berpikir sebelum membagikan informasi di media sosial merupakan cermin muslim millenial plus intelektual. Jangan hanya minta dihormati tanpa mau menghormati orang lain. Tunjukkanlah bahwa Islam adalah agama yg membawa damai, rahmatan lil ‘alamin. Tunjukkan dari sikap & perilaku sehari2.

Saya berterimakasih sekali kepada Tuhan yang maha esa. Saya dilahirkan dari keluarga yang sederhana, tidak miskin ilmu dan tidak kaya harta. Dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman yang ramah, baik, dan toleran walaupun dalam keberagaman budaya, ras, suku dan agama.

Santri yang selalu berharap kedamaian. Saling bergandengan tangan dengan sesama jenis.

Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang

Read More

Sabtu, Mei 12, 2018

Fenomena Perselingkuhan Di Desa Semakin Merajalela

Fenomena Perselingkuhan Di Desa Semakin Merajalela

Internet

Bukan sesuatu yang baru ketika harus membahas soal selingkuh. Fenomena ini tidak hanya terjadi di desa, di kota pun kerap terjadi san tak bisa kita jangkau jumlahnya. Namum dalam tulisan kali ini saya akan membahas perselingkuhan yang sering terjadi dipedesaan. Orang desa yang sering disebut-sebut sebagai elemen masyarakat paling bawah tidak lepas dari masalah keluarga yang sulit untuk diselesaikan, lebih-lebih adalah selingkuh yang saat ini marak terjadi. Bahkan semakin hari semakin banyak memakan korban. Lantas apa yang sebenarnya harus kita lakukan dengan semua ini,

Masyarakat yang seharusnya sudah memikirkan bagaimana desanya bisa maju, berkembang dan mampu melahirkan generasi-generasi tangguh untuk berdaya saing di era millenial ini. malah justru terus dihantui hal yang tidak baik. Dan cenderung memberikan kesan tidak baik terhadap generasi muda. Jika hal ini tetap tidak mendapatkan perhatian khusus. Maka tidak menutup kemungkinan suatu desa akan mengalami dekadensi moral dan menjadi desa yang terbelakang. Jika ada yang menyatakan ini soal pribadi? Menurut saya tidak. Ini masalah kita bersama dan harus kita selesaikan bersama-sama. Minimal kita bisa mendoakan. Kemaksiatan yang sering terjadi di pedesaan tidak sepenuhnya harus disalahkan kepada pelaku justru kadang karena diamnya orang-orang yang baik yang tidak pernah bergerak untuk menasihatinya. Orang-orang baik yang diam karena merasa aman dengan kebaikannya dan membiarkan kesalahan terjadi berulang-ulang kali maka dia yang akan bertanggung jawab besar kelak.

Terlalu banyak waktu kita habiskan untuk membahas orang lain. Sudah terlalu sering kita sibukkan diri kita membahas masalah si A, si B dan si C. Atau banyak pulsa dan data yang terbuang karena kita sibuk memerhatikan omongan orang lain tentang kita. Dunia kita bising karena orang lain.

Mendengar kebisingan terhadap permasalahan ini. Saya merasa terusik untuk berbincang-bincang lebih dalam dengan masyarakat desa, apa yang sebenarnya terjadi dengan semua ini, apa penyebabnya. Untuk menelisik hal ini. Saya tidak perlu mendatangi seorang ahli yang bisa menjelaskannya. Cukup ngobrol santai disela-sela acara dengan masyarakat biasa.

Mendengar penuturan masyarakat sekitar. Perselingkuhan yang terjadi kebanyakan karena tidak berkumpulnya pasangan suami istri yang sering merantau ke luar kota. Keberangkatan itu karena ditengarai oleh faktor ekonomi. Istri yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari sang suami justru tidak diperlakukan demikian. Karena menurut beberapa perempuan yang sering saya mintai pendapatnya, harta dan tahta tidak cukup membangun keluarga sakinah mawadah warahmah, kasih sayang suami melebihi semua itu.

Untuk membangun komunikasi dengan suami yang jauh disana maka diperlukan alat bantu seperti hp. Handphone yang seharusnya digunakan sebagaimana mestinya, sering digunakan untuk menerjang dan mengusik pasangan orang lain. Maka hp termasuk salah satu penyebab dan pemicu paling efektif adanya perselingkuhan. Tak heran jika banyak orang desa mulai menunjukkan gaya hidup yang modern karena memang tuntutan zaman yang semakin hari semakin menggiurkan. Maka perselingkuhan yang terjadi banyak dimulai dari aktifnya berselancar di dunia Maya. Tak terkecuali orang desa. Media sosial sudah menjadi menu utama orang desa setiap harinya, seperti Facebook, WhatsApp yang sangat mendominasi. Sehingga ia bebas untuk mengakses apapun yang diinginkannya.

Fenomena Perselingkuhan termasuk di desa yang kerap terjadi saat ini sering diawali dengan hal hal sepele hanya sebatas sering jempolin statusnya. Lama lama jempolin foto-fotonya. Lalu bercanda ria di kolom komentar. Semakin hari semakin akrab. Dia gak online tiba tiba merasa rindu. Ahirnya nyelonong masuk ke inbok. Tanya pin BB tanya nomor HP biar bisa Whatsapp an juga.

Ujung ujungnya salah satu dari mereka berkata:
"Kenapa ya kita tidak dipertemukan dari dulu padahal kamu adalah orang yang paling bisa ngertiin aku..." Lalu ketemuan di dunia nyata...
Bencana hati pun tak terhindarkan

Mulai sibuk merhatiin dia daripada merhatiin pasangan sendiri, lebih sering hubungi dia daripada hubungi pasangan sendiri. Ketenangan hati mulai terusik, konsentrasi untuk meraih sukses jadi buyar, niat untuk mewujudkan keluarga sakinah dengan pasangan sudah menipis di gerogoti nafsu birahi

Hatinya menghitam karna sering berdusta, telinganya menjadi tuli tidak mendengar nasehat baik, matanya jadi rabun terilusi dengan rasa penasaran, fikirannya menjadi tumpul tertindih oleh harapan semu. Pasangannya menangis, orang tua dan mertua ikut bingung, anak anaknya jadi rewel, para tetangga mulai menggosip. Padahal dengan yang baru belum tentu lebih bahagia. Mereka hanya dipermainkan dunia dan disibukkan dengan hal hal yang tak membawa ketenangan...

Hidup ini berharga dan hanya 1 masa janganlah kau gunakan untuk menumpuk dosa
Sebelum kehancuran itu terjadi, selamatkan hatimu, selamatkan keluargamu dan selamatkan dirimu dari godaan yang akan menjerumuskanmu. Semua cobaan itu pada hakekatnya ilusi, fana dan perangkap. Resapilah perkataanku, engkau akan mengerti...

Ini aku yang tulus menasehatimu..

 Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang
Read More

Kamis, Mei 10, 2018

Segera Mudik, Bantulah Keluargamu Lebih-lebih Orang Tuamu

Segera Mudik, Bantulah Keluargamu Lebih-lebih Orang Tuamu


suasana alam di desa saya,
Desa Rajun kabupaten Sumenep

Semua orang memiliki peran penting dalam keluarga, tak terkecuali santri, anak kost, atau siapapun selama ia masih memiliki keluarga. Kehadirannya mesti sering ditunggu-tunggu oleh keluarga. Jika hendak pulang atau istilah sekarang mudik maka disitulah akan merasakan kebahagiaan karena akan bertemu keluarga. Sering saya katakan bahwa termasuk salah satu nikmat besar adalah berkumpul dengan keluarga. Bagaimana seharusnya memanfaatkan kenikmatan itu? Tentu kita harus sering-sering membantu keluarga baik itu secara material maupun non material, membantu secara perbuatan maupun pikiran.

Lantas bagaimana ketika kita tidak dibolehin bekerja sama keluarga? Karena kadang keluarga banyak memiliki pertimbangan, baik itu karena faktor usia, kurang dewasa yang akan berisiko, atau karena seringnya dimanja Sebenarnya membantu keluarga bukan sesuatu hal yang wajib. Lebih-lebih ketika kita masih dalam dunia pendidikan. Yang seharusnya membiayai pendidikan adalah orang tua atau keluarga itu sendiri. Namun, apakah ada larangan membantu keluarga atau hanya sekedar mencari berkah dengan semua itu. Selama hal itu tidak menggangu pendidikan anak maka ia seharusnya membantu keluarga. Dalam konsensus ilmu fiqih, orang tua atau keluarga wajib membiayai pendidikan anaknya selama orang tua itu mampu. Dan sebaliknya anak memiliki kewajiban sama ketika orang tua sudah tidak mampu untuk bekerja.

Dengan semua itu saya bisa menarik konklusi bahwa antara anak dan orang tua memiliki peran penting dalam menghidupi keluarga. Sehingga diperlukan adanya dukungan baik itu dari anak maupun orang tua. Tak dapat kita pungkiri bahwa dalam keluarga sering dihadapkan dengan beberapa permasalahan, baik itu masalah kecil maupun masalah besar. Permasalahan-permasalahan keluarga yang tak kunjung selesai biasanya itu salah satu penyebabnya adalah karena kurang terbukanya pembicaraan terhadap keluarga atas permasalahan itu untuk sama-sama mencari problem solvingnya.

Sering saya tegaskan beberapa kali dalam sebuah perbincangan santai dengan teman-teman, bahwa apapun yang terjadi dengan diri kita ini baik itu manis ataupun pahit kabari keluarga. Karena kelauarga itu secara tidak langsung memiliki kekuatan tersembunyi.
Sesuai dengan apa yang dikatakan Prof. Imam Suprayogo, Dalam banyak komunitas, orang tua diposisikan sedemikian terhormat. Kehadiran mereka itu dianggap penting, bukan karena kekuatan fisik atau kedalaman keilmuannya, melainkan karena kearifannya. Secara fisik, orang tua dan apalagi sudah terlalu tua tidak memiliki kekuatan apa-apa. Demikian pula buah pikiran mereka, dalam hal-hal tertentu sudah bisa dikalahkan oleh yang lebih muda.


Mengutamakan keluarga atau orang tua dari pada tugas lainnya adalah sederhana, tetapi ternyata tidak semua orang memiliki kesadaran terhadap kewajiban itu. Berbakti kepada orang tua atau keluarga tidak selalu berkorelasi dengan tingkat pendidikan formal seseorang. Banyak sekali orang yang berpendidikan tinggi tetapi ternyata gagal dalam menunaikan kewajiban berbakti kepada orang tua atau keluarga. Sebaliknya, orang yang tidak berpendidikan`kecuali hanya sekedarnya, tetapi yang bersangkutan sedemikian tekun dan tinggi kebaktiannya terhadap kedua orang tuanya. Anak-anak jebolan pesantren tatkala diamati, pada umumnya ternyata jauh lebih mampu menghormat orang tua dibanding misalnya, lulusan perguruan tinggi dan lebih-lebih lagi perguruan tinggi dari negara sekuler atau negara barat. Atas dasar pengamatan itu, seringkali terdengar semacam joke atau kelakar, bahwa manakala seseorang menginginkan agar ketika meninggal nanti ditangisi oleh anaknya, maka jangan semua anaknya dikuliahkan ke perguruan tinggi.

Berbakti kepada kedua orang tua tidak memerlukan bekal kemampuan rasionalitas yang tinggi, melainkan berupa kekayaan atau kejernihan dan ketajaman hati. Berbakti kepada orang tua tidak boleh didasari oleh pertimbangan keuntungan material dan apalagi transaksi kebendaan. Berbakti kepada kedua orang tua adalah merupakan panggilan hati. Orang yang menyandang kekayaan hati adalah mereka itu yang sanggup menunaikan kewajiban itu. Orang yang memiliki kecerdasan intelektual tanpa disempurnakan dengan kecerdasan hati, maka tidak akan sanggup mengutamakan orang tua dari pada lainnya. Banyak contoh orang berpendidikan tinggi ternyata melupakan kepada kedua orang tuanya. Islam mengajarkan agar anak selalu berbakti kepada kedua orang tua. Birrul walidain adalah akhlak yang harus dikembangkan oleh setiap muslim. Banyak sekali ayat-ayat al Quran memberikan tuntunan agar berbuat baik kepada kedua orang tua.

Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang
Read More

Minggu, Mei 06, 2018

Benarkah Bahasa Daerah Sendiri Lebih Puas Dibuat Bahan Ejekan?

Benarkah Bahasa Daerah Sendiri Lebih Puas Dibuat Bahan Ejekan?

Suku bangsa Indonesia

Saya asli Madura, pulau yang dikenal dengan produksi garam. tepatnya kota sumenep. Kota paling ujung pulau Madura. Sumenep merupakan kota yang dikenal dengan bahasa yang paling santun diantara kota yang lain, kota Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Kota yang dikenal dengan cuaca iklim yang adem dan sejuk alias subtropis. Saya mengatakan seperti ini bukan berarti karena saya orang sumenep. Ini berdasarkan pengakuan dari orang-orang yang bukan orang Madura, dan beberapa dosen saya pernah mengatakan demikian. Artinya ini bukan kata saya, tapi kata orang lain yang pernah nyampe kesana. Jadi saya rasa penilaian ini sudah objektif. Hahahaha. Namun bukan ini yang akan saya bahas. Lebih dari itu setiap daerah memiliki bahasa masing-masing, tak terkecuali orang madura, Jawa dan lain-lain.

Menyoal percakapan orang Madura vs orang Jawa, orang madura vs sunda, orang vs batak saya ambil orang Madura sebagai pemain tunggal karena pemain utamanya orang madura, dan penulis pun orang madura. Sebenarnya komunikasi mereka tidak terhambat, bahkan tidak ada yang saling mengkalaim dirinyalah yang harus diikuti bahasanya. Semua bersikap respek dan toleran dalam membangun komunikasi, bahasa kebangsaan kita menjadi jalan tengah untuk membangun komunikasi. Sehingga tercipta suasana kekeluargaan yang harmonis dan tenteram.

Upaya untuk saling memahami bahasa daerah diantara mereka sebenarnya ada. Namun kadang harus butuh waktu lama, karena bahasa tidak melulu soal hafalnya kata-perkata, tapi soal pemakaian diksi yang benar. Sehingga sering saya ditertawakan oleh orang Jawa ketika saya berusaha belajar berbicara bahasa Jawa namun dari sisi logat dan peletakan diksi yang kurang benar. Begitu juga orang Jawa ketika ia mau belajar berbicara bahasa Madura, tak jarang ia juga mendapatkan gelak tawa dari orang Madura.

Dalam situasi yang sudah terbangun komunikasi yang baik, kadang muncul bahasa yang tidak bisa dibahasa Indonesiakan dengan tepat. Mungkin ini karena memang tidak ada di kamus bahasa Indonesia atau karena kemiskinan kosakata bahasa Indonesia. Tak terkecuali bahasa jawa dan madura. Sehingga dalam soal misu dan mengolok-olok lebih enak dan lebih puas dengan bahasa daerah masing-masing. Iya tidak? Dalam keadaan jengkel pun lebih enak misu dengan bahasa daerahnya masing-masing. (Ingat lho ya, saya tidak mengajarkan anda misu). Ini bicara fakta dan realita yang ada.

Untung peristiwa semacam ini masih terjadi di dunia virtual, jikalau hal ini terjadi di dunia nyata, mungkin saya akan tertawa tujuh hari tujuh malam. Lebih-lebih jika lawan bicaranya orang sunda dan batak tambah renyah dan pontang-panting ketawa saya. Yah mungkin orang luar juga mengira demikian, jika orang madura misu dengan bahasa daerahnya, dia juga akan ketawa. Yang aneh, ketika pengalaman ini terjadi, bahasa yang mereka gunakan sebagai olok-olok diartikan sebagai pujian, sebenarnya bukan aneh sih tapi keberuntungan besar buat mereka yang  masih berpikir positif walaupun aslinya negatif. Semestinya cari tahu, itu pujian apa cacian, biar anda tidak gampang dibodohi oleh orang, karena jujur saja, jika sudah tau itu cacian rasanya pengin balas dendam dengan bahasa daerah juga.

Bahasa daerah ketika dipakai untuk mengolok-olok saudara yang di luar daerahnya itu tidak akan menimbulkan reaksi apa-apa dari lawan bicaranya. Namanya juga gak paham bahasa kita kok. Tapi tetap, jika hal ini dibiarkan terjadi maka semakin banyak korban berjatuhan karena diframing oleh bahasa yang tidak dikenal. Jika sudah demikian, apa perlu kita menguasai bahasa daerah yang ada di nusantara ini? Jika tidak keberatan silahkan, itu akan lebih baik. Lebih-lebih belajar bahasa madura yang banyak menarik perhatian, menarik gebetan. Jadi kata mas Kim Al-Ghazali, bagi sampean mbak-mbak muslimah yang masih jomblo dan ingin punya pria setia, segeralah cari orang Madura. Karena selain sebagian besar dari mereka adalah santri, pria Madura juga menawarkan sensasi liar lewat ramuan obat kuat yang terkenal itu, lho. Satu hal lagi: para pria Madura itu rajin menabung demi mewujudkan cita-citanya untuk naik haji. Etssssssss kembali ke laptop lagi yuk.

Kalau menurut saya lebih baik menggaris bawahi saja tentang bahasa yang termasuk dalam kategori mengolok-olok di dalam bahasa daerah mereka masing-masing setelah mendapatkan pengalaman seperti ini. Bagaimana cara mengetahui itu? Perbanyak berteman dengan orang yang beda bahasa daerahnya, sebagai bentuk kekayaan bahasa.

Karena jika sudah kaya dan mengusai beberapa bahasa lebih-lebih bahasa daerah di nusantara ini. Maka hubungan dan komunikasi yang baik akan terbangun dan terjamin.

Intinya tetap bersatu, dan Bhinneka Tunggal Ika

Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang

Read More

Jumat, Mei 04, 2018

Yang Beda Tidak Harus Dikungkung

Yang Beda Tidak Harus Dikungkung

Foto: saya ketika mengunjungi tempat
Peribadatan orang Kristen Sam Po Kong Semarang

Apa yang tercantum di dalam Al-Qur'an sangat jelas dan tegas bahwa perbedaan itu datang dari Allah SWT. Yang menentang perbedaan berarti menentang Allah SWT. Tak terkecuali pilihan politik, agama, pendapat dan lain sebagainya. Semua datang atas dasar apa yang sudah tercantum dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman:
ولوشاءالله لجعلكم أمة واحدة ولكن يضل الله من يشاء ويهدي من يشاء ولتسئلن عما كنتم تعلمون
"Jika Allah menghendaki niscaya dia akan menjadikan satu umat saja, tapi dia menyesatkan siapa yang dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. Tetapi kamu akan ditanya tentang apa yang kami kerjakan".

Perbedaan yang sering muncul dipermukaan cenderung banyak memicu konflik yang serius. Yang tak kalah mirisnya konflik seperti itu sering menjadi instrumen perpecahan dan perseteruan antara kelompok satu dan kelompok lain. Padahal perbedaan itu adalah Rahmat dan kekuatan yang harus terus dijaga dan dikawal demi keutuhan NKRI.

Memasuki tahun politik yang semakin ketat ini, tidak mungkin lepas dari sebuah perbedaan. Beda dalam pilihan politik merupakan sebuah keniscayaan, inilah wujud demokrasi kita. Perbedaan dalam politik dan dalam hal apapun lebih-lebih soal agama tidak harus bernafaskan kebencian. Apalagi sampai memutuskan tali persaudaraan. Terlalu hina diri ini, jika karena hanya perbedaan politik dan agama lantas kita harus bersikap mengintimidasi dan melakukan persekusi.

Dalam hal apapun termasuk dalam arena diskusi, jika tidak ada perbedaan pandangan maka atmosfer diskusi itu kurang begitu menarik dan menantang. Disitulah adu gagasan dan ide-ide muncul sebagai wujud dari demokrasi kita. Perbedaan pandangan dalam segala aspek kehidupan sepatutnya kita harus saling menghargai sebagai cermin dari Pancasila kita yang kedua yakni, 'Kemanusian yang adil dan beradab' dalam sila ini menghargai orang, baik dari sisi perbedaan pandangan dan pilihan politiknya adalah sebuah usaha dalam memanusiakan manusia. Kunci inilah yang sering dilupakan oleh sesama. Dalam pergaulan sehari-hari banyak yang tidak peduli dengan tiga kunci itu yakni sebagai manusia, bersikap adil terhadap manusia, dan beradab terhadap manusia lain. Dengan semua ini, saya memberikan konklusi bahwa memanusiakan manusia itu merupakan wujud dari nilai-nilai Pancasila, yang mana Pancasila tersebut merupakan representasi dari Alquran dan hadis.

Serasehan, diskusi dan sharing bersama
Tentang Radikalisme

Mengutip dari apa yang disampaikan prof. imam Suprayogo, 'Biasanya yang terjadi, bahwa seseorang tatkala melihat orang lain dari berbagai perspektif, mulai dari yang negatif hingga yang paling positif. Cara yang paling mudah bagi semua orang adalah melihat orang lain dari perspektif negatif. Siapapun bisa melakukannya tanpa perlu diajarkan. Selemah-lemah orang akan mampu melihat orang lain dari perspektif negatifnya. Sebaliknya, adalah tidak mudah bagi melihat orang lain dari perspektif positifnya. Oleh karena itu, kualitas seseorang kadang dilihat dari kemampuan melihat sisi-sisi positif terhadap orang lain.

Syekh Rasyid Ridha mengingatkan kita: "mari kita bekerjasama pada hal-hal yang kita sepakati, dan saling menghormati pada hal-hal yang kita berbeda pandangan". dan begitupun Rasullullah mengingat kita, Sewaktu ada iringan jenazah lewat, maka Nabi Muhammad berdiri. Ada sahabat yang memberitahu bahwa itu jenazah seorang Yahudi. Nabi tetap berdiri bersikap menghormatinya dan berkata: "bukankah Yahudi itu juga manusia?". Nabi hendak mengajarkan bahwa menghormati orang itu dengan mengedepankan sisi kemanusiaan kita, baru kemudian urusan suku, status sosial apalagi urusan politik.

Jenazah orang yahudi saja Rasulullah masih menghormat. Sekujur tubuh yang tidak ada ruhnya Rasullullah masih menunjukkan rasa hormatnya. Bayangkan dikehidupan kita sekarang ini orang yang masih tegak lurus dan bernyawa banyak diperlakukan seperti binatang buas yang tidak punya harga diri. Pergeseran moral, dekadensi moral sudah nampak dihadapan kita. Dospotisme dan ekstrimisme menjadi senjata dalam menuntut orang untuk disamaratakan.

Kita sebagai umat beliau sepatutnya harus mencontoh beliau, jika tidak bisa seluruhnya maka ambillah semampunya. Dan jika hal itu masih berat untuk dilakukan minimal ada keinginan untuk meniru pola hidup beliau.

Amien

Wallahu a'lam bisshowab

Tulisan pernah dimuat di Geotimes.co.id
Read More

Rabu, Mei 02, 2018

Satu Tahun Mengingat Jihad Pendidikan

Satu Tahun Mengingat Jihad Pendidikan

foto saya ketika tes masuk biasiswa
STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang
bersama Ust. Abdul Hadi Al-Hafidz
Satu tahun saya berada di kota yang sering disebut-sebut sebagai kota pendidikan, malang. Perjuangan untuk merasakan manis pahitnya kehidupan dalam dunia pendidikan sungguh luar biasa. Sebelum saya tiba di kota malang, daerah istimewa Yogyakarta dan Semarang sudah menjadi pijakan saya dalam memperjuangkan pendidikan. Sebagai kota yang pertama kali dijadikan destinasi dalam menempuh pendidikan. Di kota ini justru saya belum bisa memperlihatkan perjuangan itu secara kentara. Berangkat dari rumah menuju Yogjakarta merupakan hasil dari niat dan tekad kuat yang tentunya semua ini mendapatkan restu orang tua dan para guru.

Enam bulan sebelum pembukaan pendaftaran mahasiswa baru, saya sudah berangkat dari rumah menuju Yogyakarta. Berangkat dengan jarak waktu yang cukup jauh dari pembukaan pendaftaran mahasiswa baru itu justru banyak menimbulkan buah bibir masyarakat sekitar tetangga bahkan famili juga. Masyarakat menilai bahwa keberangkatan ini justru malah semakin membebani keluarga saya. Buah bibir masyarakat itu saya nilai sebagai bentuk kepedulian terhadap saya dan keluarga bukan sebagai bentuk kebencian kepada saya dan keluarga.

Menuju kota Yogyakarta dengan hanya bekal keberanian dan uang yang tak seberapa banyak jumlahnya, membuat saya merasa tidak percaya diri akan bertahan lama di kota itu. Modal seperti itu sepertinya tidak cukup untuk bertahan hidup. Sudah tidak ada planning yang mampu memberikan solusi terhadap problem ini, terpaksa saya harus bekerja demi mempertahankan hidup. Bekerja sambil belajar bukan hal mudah untuk dijalani. Tak jarang kita temukan seorang mahasiswa yang sambil bekerja justru kuliahnya tidak selesai-selesai karena harus dibebani pekerjaan itu.

Memang merupakan sesuatu yang delimatis, ketika ada seorang mahasiswa kuliah sambil kerja, satu sisi ingin mempertahankan hidup dan biaya pendidikan yang harus terbayar lunas. Disisi lain keterbengkalain tugas kampus sehingga menimbulkan lambatnya kelulusan. Dua hal ini sangat berpengaruh dalam perjalanan karirnya, sehingga perlu adanya suplai inspirasi dan motivasi yang mampu mengimbangi keduanya. Dalam hal ini saya selalu ingat perkataan Prof. Imam Suprayogo bahwa, Hidup di dunia ini selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sedemikian banyak dan bervariatif. Pilihan itu seringkali juga tidak hanya terhadap dua warna atau bentuk yang berbeda. Mengambil dari dua pilihan yang berbeda, sebenarnya tidak begitu sulit. Tetapi pilihan itu, kadang serupa, mirip ,atau orang mengatakan berwarna abu-abu, atau tidak terlalu jelas. Maka sebaiknya kita harus memilihnya secara cepat dan tepat.

Di kota Yogyakarta saya gagal dalam menempuh pendidikan. Kegagalan ini bukan berawal dari aspek ekonomi melainkan dari aspek psikologi. Namun didalam kota ini saya banyak belajar hidup dari orang-orang hebat. Banyak bertemu seorang ilmuan masa kini yang hidupnya biasa-biasa saja hingga yang luar biasa.

Kegagalan dalam menempuh pendidikan di kota Yogyakarta hampir membuat saya putus asa. Tekanan psikologis yang cukup besar waktu itu membuat saya mengalami disorientasi. Kehilangan arah dan tujuan, peta pendidikan yang sudah saya gambar tidak sesuai dengan ekspektasi. Konsep yang sudah saya tulis tidak lagi bisa dijadikan acuan. Semuanya sudah sirna dan hampir diambang kehancuran.

Mengembalikan gairah dan semangat yang dulunya berapi-api membutuhkan waktu yang cukup lama. Mencoba dan berusaha mencari semangat baru tak semudah apa yang dibayangkan kebanyakan orang dan tak semudah apa yang dikatakan Mario teguh. Seperti apa yang saya bayangkan di awal bahwa saya sudah tidak bisa bertahan lagi di kota Yogyakarta ini. Saya tegaskan sekali lagi bahwa ketidakbetahan ini bukan karena kesulitan ekonomi melainkan jihad pendidikan belum usai dan belum menemukan titik terang. Sehingga saya harus mencari link untuk keluar dari keterpurukan itu.

Ditengah kebingungan yang terus menjalar dibenak saya, tiba-tiba ada seorang teman menawarkan sebuah brosur pendaftaran mahasiswa yang didalamnya ada biasiswa Tahfidzul Qur'an, tepatnya di kota Semarang rumah pengkaderan hafidz hafidzah asuhan Dr. Mohammad Nashih. Tanpa berpikir panjang saya mencoba menghubungi CP-nya dengan meminta nomor pengasuh rumah pengkaderan hafidz hafidzah itu. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya coba chat beliau. Setelah melakukan komunikasi lewat chatting itu, saya diminta untuk melakukan tes baca kitab, lewat video call, sampai diminta untuk menganalisa bacaan itu dari segi pemahaman dan kaidah ilmu nahwu. Setelah semuanya selesai saya diminta umtuk mendatangi beliau di rumah kediamannya, dengan melakukan tes yang kedua.

Dari sekian banyak tes masuk yang diujikan, saya dinyatakan lulus seleksi. Namun apa daya, lagi-lagi Allah SWT memberikan ujian yang sungguh diluar dugaan. Tak bisa ceritakan panjang lebar mengenai apa yang menimpa saya waktu itu. Yang jelas tempat itu tidak lagi membuat saya betah dan bertahan lama. Bukankah tempat itu sudah ada jaminan makan gratis', tempat tinggal gratis, biaya pendidikan gratis karena biasiswa. Tidak, justru itu yang tidak bisa saya ceritakan. Semua yang saya dapatkan tidak bisa mewakili kebahagiaan saya yang sesungguhnya. Entah ini faktor apa. Wallahu a'lam bisshowab.

Sehingga saya tiba di tempat yang bisa dibilang cukup strategis dalam menempuh pendidikan, yaitu kota malang. Tepatnya Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly Al-Hikam Malang dengan program biasiswa prestasi. Dalam perjuangan kali ini tidak sesulit apa yang saya perjuangkan sebelumnya, entah ini merupakan buah manis dari apa yang saya alami sebelumnya ataukah ini hanya sekedar penawar rasa dari kegelisahan dan kegalauan. Perjalanan ketiga ini nampaknya berjalan mulus sehingga sampai pada titik kelulusan dan alhamdulillah saya berhasil mendapatkan biasiswa penuh di perguruan tinggi ini. Kota malang ini sebenarnya merupakan kota yang atmosfer pendidikannya tidak jauh beda dengan kota Yogyakarta. jadi cukuplah rasanya untuk mengobati rasa kecewa yang sempat gagal untuk menapaki kota Yogyakarta sebagai tempat proses pendidikan saya. Semoga di kota ini saya menemukan jatidiri sebagai sosok agen of change.

Wallahu a'lam bisshowab

Santri Mahasiswa Al-Hikam Malang
Read More