Desember 2018 - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Senin, Desember 31, 2018

Revolusi Medsos Menurut D. Zawawi Imron

Revolusi Medsos Menurut D. Zawawi Imron


Penulis: Moh Syahri

Dikenal dengan panggilan "sang clurit emas" segudang karya puisinya mengitari perjalanan hidupnya hingga saat ini. Tokoh yang tidak pernah lekang dengan peradaban keilmuan. Selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin tau kepribadiannya. Begitulah sosok beliau, kelahiran berdarah Madura memang dikenal dengan keterbukaannya dalam menerima siapapun yang ingin bertamu.

Selain menjadi penyair, beliau kerap sekali berdakwah ke penjuru Nusantara. Sebagai juru dakwah beliau sangat lihai dalam mengartikulasikan agama sebagai solusi hidup. Lewat puisinya yang sarat dengan nilai-nilai keislaman yang ramah, tidak kaku, toleran, dan penuh cinta dan kasih sangat mudah diterima oleh masyarakat.

Kalau mendengar dakwah dan puisi beliau, seolah-olah saya dibawa pada ruangan yang tak bertepi. Membuat sanubari tertekun dengan dosa. Beliau selalu mendialogkan ilmu dengan kehidupan lewat puisinya yang ciamik dan penuh keikhlasan. Mulai dari isu aktual sampai pada kegelisahan yang membuat beliau tak berhenti berpikir dan sangat prihatin.


Adanya pergeseran otoritas keagamaan yang semula bertumpu pada sosok kiyai konvensional berubah ke otoritas digital, membuat sosok D. Zawawi Imron berkomentar bahwa inilah akibatnya jika agama hanya dijadikan tesis tapi tidak dijadikan pengamalan" ujarnya saat  jadi nara sumber mengaji Indonesia. Banyaknya ahli atau pakar keagamaan di era digital ini seolah-olah memang tak lagi membutuhkan sosok kiai, santri, dan ustadz-ustadz yang kompeten dalam keilmuan.

Pak D. Zawawi Imron menyadari bahwa adanya revolusi medsos, membuat sanad keilmuan seseorang tak jelas siapa dosennya, tak jelas siapa gurunya. Dekadensi moral terus terjadi dimana-mana akibat kurangnya kontrol rohaniah yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam segala tindakan.

Menurut pak D. Zawawi prakiraan ilmiah Alexis Carrel sudah terjadi hari ini, bahwa nanti revolusi komunikasi setiap manusia akan diserbu oleh ribuan informasi dan dia akan lupa pada ilmunya, dia sudah ada di stadium lupa pada rohaninya, jati diri. Sehingga apapun yang mereka tangkap dari informasi itu tak lagi sadar akan berdampak apa selanjutnya.


Sebagian kita banyak yang suka marah-marah, benci, dendam, bahkan sangat lekat dengan permusuhan akibat sebuah perbedaan yang sudah menjadi keniscayaan. Nampak sebuah kegagalan dalam mengimplementasikan pengetahuan agama dan jauh dari menjadi orang muslim yang otentik dan mudah dipolitisasi. Tak heran jika beliau selalu menyeru bahwa ilmu itu bukan hanya pengetahuan kata di atas kertas, tapi pengetahuan hati dan perasaan.


Wallahu'alam

sumber foto: LiterasiPribumi-Wordpres.com

Read More

Minggu, Desember 30, 2018

Situ Mau Pilih Presiden Apa Guru Ngaji?

Situ Mau Pilih Presiden Apa Guru Ngaji?


Penulis: Moh Syahri

Sebelumnya pengajuan debat bahasa inggris yang ditantang oleh kubu prabowo membuat kubu jokowi kurang begitu greget untuk menanggapi. Sekarang undangan tes baca alquran oleh Ikatan Dai Aceh membuat kubu prabowo kurang greget juga untuk menanggapi apalagi untuk menghadiri. Ini penampakan demokrasi kita dalam kontestasi politik yang kerjaannya hanya saling menangkal isu-isu. Parah.

Kita ini mau pilih presiden apa mau cari guru ngaji? Secara konstitusional tidak ada persyaratan calon presiden harus bisa bisa baca Alquran. Dan ini bukan ajang pencarian bakat guru ngaji, bukan juga musabaqoh tilawatil quran, ini hajatan politik yang diselengkarakan oleh KPU yang berdasarkan undang-undang dan sesuai dengan maqasid asy-syariah dalam agama islam. Tidak ada masalah.


Memang, demokrasi kita semakin hari semakin tidak berkualitas. Akibat sibuk mencari isu hingga tak lega rasanya kalau tidak bisa dibuktikan sekalipun isu itu murahan. Akibat miskin ide dan gagasan maka senjata paling ampuh adalah mencari isu untuk menjatuhkan lawan.

Undangan tes baca Alquran yang direncanakan oleh Ikatan Dai Aceh (IDA) adalah upaya untuk mengerus suara publik yang masih terus saling klaim keunggulannya. Ini bukan lagi ide baru yang dikeluarkan oleh mereka, sebelumnya sudah pernah direncanakan namun tidak terlaksana. Dan kali ini dimunculkan lagi.

Mungkin hal semacam ini penting akan tetapi ada yang jauh lebih penting daripada sekedar duel-duel narasi ibadah yang sifatnya sebenarnya berada di ruang privat. Maka betul apa yang disampaikan Dr. Abdul Mu'ti Sekjen PP Muhammadiyah, Tidak ada debat program, adu argumentasi terkait program lima tahun ke depan. Yang ada itu hanya tangkis menangkis isu.


Saya kira agama punya kekuatan moral yang sangat tinggi untuk bagaimana berperan sebagai kekuatan untuk mencegah korupsi itu dari sisi moralitas dan dari sisi teologi masing-masing", Ungkap dia dalam acara Refleksi Akhir Tahun dan Proyeksi Kerukunan Antar-Umat Beragama pada Tahun Politik di Hotel Grand Melia, Jakarta.

Iya betul, akhir-akhir ini memang perdebatan persoalan agama yang saling meragukan lebih mencuat daripada perdebatan programatik. Hingga cara jadi Imam shalat yang sama-sama dianggap tak bisa. Jokowi berani dan nekat jadi Imam lalu dianggap pencitraan dan Prabowo dianggap tak mampu bahkan diragukan tak hapal Al Patekah atau wudhunya saja tak urut. Prabowo geram hingga menggebrak meja karena Islamnya diragukan. Jokowi baper karena dibilang PKI.

Di balik penolakan kubu prabowo atas undangan ini (tes baca alquran) yang nampak halus, bijak, penuh sastra dan bahkan menuding petahana sudah terlalu kelewatan mempermainkan agama (gak kebalik) saya yakin kubu pak jokowi yang paham dengan konstitusi juga kurang begitu meminati dengan undangan semacam ini. Namun karena dirasa ini sangat menguntungkan bagi kubu dia maka dengan tegas ia tidak menolak dan siap untuk dites dengan alasan yang juga tidak kalah bijak.

Fix, kalian sudah paham! Kedua-duanya sama-sama dobol

Wallahu a’lam



Sumber Foto:CNBC Indonesia 

Read More
Pamer Hafal Alquran: Antara Adu Gengsi dan Adu Prestasi

Pamer Hafal Alquran: Antara Adu Gengsi dan Adu Prestasi


Penulis: Moh. Syahri

Atorcator.Com - Lima tahun saya berada di pesantren, waktu yang tidak sebanding dengan perjuangan guru atau kiai saya selama beliau mondok di pesantrennya. Pesantren yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern, namun tak perlu diragukan kekhidmatan beliau terhadap NU sebagai benteng NKRI yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Pesantren yang tidak memiliki program menghafal Alquran belakangan ini nampaknya tidak lagi menjadi tumpuan harapan masa depan anak-anak. Maka dari itu, program menghafal Alquran menjadi program unggulan di setiap pesantren. 
Walaupun pesantren saya tidak memiliki program menghafal Alquran, namun kiai saya sangat mengapresiasi santri yang bisa hafal Alquran tanpa dibimbing oleh beliau.
Memasuki pertengahan tahun saya berada di pesantren, tiba-tiba beliau menghimbau santri-santrinya untuk tidak terjebak pada gaya hidup yang materialistis dan hedonis, seperti memperjualbelikan ilmu agama dan ayat-ayat suci Alquran sebagai instrumen untuk meraup keuntungan, harta, dan popularitas. Beliau sangat khawatir jika hal itu terjadi pada santri-santrinya.
Perhatikan sabda Rasulullah berikut:
"Bacalah Alquran dan jangan menggunakannya untuk mencari makan, jangan mencari kekayaan dengannya, jangan menjauhinya, dan jangan melampaui batas di dalamnya."
Hidup ini sudah serba menggoda, mulai dari tawaran-tawaran yang sangat menggiurkan bagi mereka yang pandai melantunkan ayat-ayat suci Alquran bil ghaib dan pandai membaca kitab kuning, ditambah dengan praktik-praktik yang berpotensi membelokkan tujuan utama dari belajar dan menghafal Alquran. 
Jebakan-jebakan seperti ini yang kadang membuat kita lupa bahwa Alquran itu sejatinya adalah untuk selalu ditadabburi sehingga muncul inspirasi, bukan adu prestasi dan adu gengsi.
Keberhasilan orang menghafal Alquran bukan dilihat dari seberapa besar prestasi yang mereka torehkan. Tapi, seberapa besar mereka memuliakan dan mengagungkan Alquran, sebagai wujud dari penerapan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilainya dan sebagai sarana untuk mendapatkan syafaat Alquran dan sebagai obat untuk menyembuhkan hati.
Hafal Alquran secara harfiah tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang, karena di situ ada poin dan manfaat penting yang bisa diambil. Apalagi didukung oleh keberanian dan mental yang kuat untuk menampilkan hafalannya di depan banyak orang melalui layar kaca. Pujian akan menggelegar di sepanjang sudut arah nusantara. Praktik-praktik seperti ini akan banyak menyihir jutaan orang, dan menjadi objek tontonan yang sangat intens.
Tak heran bila hafalan Alquran kini mulai menjadi sejajar dengan uang, popularitas dan sejenisnya sebagai strategi untuk memperoleh piala, penghargaan dan sarana untuk berkontestasi ria dalam pemenangan. Sebuah upaya untuk menunjukkan kepandaian dan kecerdasan kepada publik. Sehingga, publik yang hadir itu akan menilai bahwa hafiz itu memang direstui sebagai manusia pilihan. 
Namun, ketika hafalannya mangkrak, tidak jalan dan lupa di tengah jalan, mereka menangis tersedu-sedu, seolah-olah mereka gagal, merasa berdosa, dan merasa banyak mengecewakan orang. Sungguh sangat ironis.
Bahkan, tak jarang ditemui di berbagai arena panggung, orang yang hafal Alquran dijadikan sebagai tontonan untuk menegaskan bahwa kehadirannya di panggung sebagai representasi dan cerminan dari sebuah perjuangan yang tidak biasa. Perjuangan yang cukup melelahkan dan tak banyak orang yang bisa melakukannya. Ia mampu membuat penonton bersorak sorai, terkagum-kagum dengan kehebatannya.
Lalu muncullah sebuah kebanggaan yang tak tertandingi oleh siapa pun dalam dirinya. Maka, bukan tidak mungkin, atas tindakan artifisial ini, justru yang akan didapati bukanlah berkah dari syafaat Alquran melainkan laknat berupa kekalahan yang mendera mereka.
Hafal Alquran secara maknawiyah tentu menjadi harapan terpenting sepanjang masa, karena hafal Alquran secara maknawiyah merupakan kebutuhan hidup rohaniah sepanjang masa. Orang yang hafal Alquran secara maknawiyah tentu akan lebih mudah memposisikan dirinya untuk tidak terjebak ke dalam praktik-praktik yang sangat pragmatis.
Hafiz yang hafal secara maknawiyah dan didukung oleh disiplin keilmuan lain, sangat mungkin menggunakan mata batin untuk menengarai dengan cerdas bagaimana seharusnya Alquran ini dibawa menuju peradaban Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Ia tidak akan mudah terseret ke dalam paham-paham yang dapat merusak ideologi agama dan bangsa.
Agama, jika dipahami melalui pesona dunia yang sublim, akan terdistorsi bila salah memaknai bagian pentingnya. Begitu pula seorang hafiz yang ditarik ke dalam pusaran tajuk pencarian bakat yang hanya ingin menunjukkan kehebatan dan ingin merebut piala kemenangan.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam membumikan Alquran, yaitu menyerap nilai-nilai kandungannya sedini mungkin. Jadilah pembawa Alquran dalam bingkai penghayatan dan pengamalan, bukan jadi penghafal Alquran yang paripurna dan berakibat tidak punya daya apa-apa.
Wallahu a'lam
Tulisan ini sudah pernah dimuat  di qureta.com

Penulis Moh. Syahri adalah Pimpinan Redaksi dan Founder Atorcator

Sumber foto: Dream.co.id


Read More

Sabtu, Desember 29, 2018

Yang Saya Tahu Dari Gus Fayyadl: Pembela Kaum Lemah

Yang Saya Tahu Dari Gus Fayyadl: Pembela Kaum Lemah


Mungkin ketika seseorang melihat penampilannya yang seperti itu, kesan pertama yang akan timbul adalah biasa-biasa saja, atau bahkan bisa jadi akan timbul pikiran meremehkan yang berujar “bisa apa dia?” Dan itu wajar-wajar saja. Lah wong beliau memang tinggi, (mohon maaf) kurus, ditambah gaya tatapan kosong yang seolah-seolah memberikan tanda-tanda keluguan.

Tapi jangan salah sangka! Di balik penampilan sederhananya itu, terdapat sebuah keluasan pengetahuan yang luar biasa. Beliau, Muhammad Al-Fayyadl atau biasa disapa Gus Fayyadl merupakan penulis yang sangat produktif. Tentu saja produktif dalam arti yang sesungguhnya. Dengan tulisan-tulisannya, beliau banyak memberikan pemikiran-pemikiran baru, tulisan-tulisannya selalu mencerahkan dalam menerangi kebuntuan lorong-lorong pemikiran. Tulisan yang bukan kaleng-kaleng.

Muhammad Al-Fayyadl, seorang ahli filsafat, “loh serius, ini!”. Yang saya tahu beliau sudah menulis dua buku tentang filsafat. Buku pertama yang beliau tulis adalah buku yang membahas tentang Filsafat Dekonstruksi (sebuah proyek filsafat kontemporer) yang diberi judul Derrida yang merupakan salah satu tokoh filsafat terkenal. Dekonstruksi, buku yang ditulis pada tahun 2004 itu berdasarkan pengakuan beliau, ditulis hanya dalam waktu tiga bulan. Iya tiga bulan!, dan isinya sangatlah berkualitas sodara!.
Dokumen pribadi

Buku kedua yang saya tahu, masih juga berkaitan dengan filsafat yaitu Filsafat Negasi. keren! jenis makanan apa lagi ini. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang filsafat negasi, ya beli bukunya. Jangan dijadikan kebiasaan, kalau ingin tahu sesuatu lantas bertanya pada mbah google.



Begini, beliau itu memiliki akun facebook bernama Muhammad Al-Fayyadl, sesuai nama asli beliau. Jika kita melihat postingan-postingan beliau, maka akan banyak ditemukan postingan-postingan yang isinya menyuarakan dan membela kaum-kaum lemah yang tertindas oleh sistem kapitalisme dan nafsu “rezim” dalam pembangunan. Beliau aktif dalam menyuarakan ketidakadilan serta aktif mengkritik tindakan-tindakan penguasa dzalim yang tak berpihak pada kaum lemah yang kesejahteraannya dirampas.

Gus Fayyadl adalah sosok kompeten dan berani membongkar akar persoalan dengan melakukan penyelidikan terhadap kondisi konkrit yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Misal, penggusuran, perampasan tanah, pelanggaran HAM, orang-orang yang tidak diupah pekerjaannya.

Kebangkitan tendensi global populisme kanan itu sudah bangkit hari ini. Dan mengapa “pejuang kebenaran” sebut saja begitu biar terlihat keren, diam pada persoalan perampasan tanah. Disitulah sosok Gus Fayyadl turun tangan dan ikut andil dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang sebagian orang terus diam.



Unik, pendekatan yang digunakan oleh Gus Fayyadl dalam tulisannya seringkali mengejutkan dan butuh pemikiran yang sehat, keras dan lugas. Beliau menggunakan pendekatan berdasarkan fiqh sosial, politik, dan tentu berdasarkan konstitusional, dalam rangka menyuarakan kebenaran dan menegakkan keadilan. Beliau benar-benar tokoh pembela kaum lemah dan kaum terpinggir yang ikhlas tidak pernah berharap apapun dari masyarakat yang dibelanya. Tentu saja, sebagai ahli filsafat harus pro kemanusiaan.

Akhir kata, sebagai penutup, orang seperti Gus Fayyadl ini jangan dibiarkan berjuang sendiri, mari kita viralkan pemikiran-pemikiran beliau yang progresif. Jangan sampai kalah dengan isu-isu murahan yang sama sekali tidak mengedukasi masyarakat seperti kasus Ratna Sumpret, eh, Sarumpaet maksudnya.

Wallahu a'lam

Sumber Foto: Foto saya dengan Gus Fayyadl ketika mengikuti acara pertemuan akhir Kelas Filsafat Dasar 2018 di Universitas Negeri Malang
Read More

Kamis, Desember 27, 2018

Tahlil Sejuta Manfaat dan Kekesalan

Tahlil Sejuta Manfaat dan Kekesalan


Penulis: Moh. Syahri

Atorcator.ComTahlil itu bagian dari tradisi orang NU. Tiap malem jumat dan malem selasa pembacaan tahlil selalu menggema di sudut-sudut pesantren berbasis NU.

Masyarakat desa paling demen dengan tahlilan. Di desa, kalau ada orang meninggal gak ditahlilin itu jadi aib berroo, bahkan boleh jadi akan menjadi cibiran masyarakat. Lah iya ta mas? Jangankan hanya soal tahlilan hal-hal yang tidak bersifat prinsip saja jika tidak dilakukan akan menjadi pembicaraan orang sekampung lho.

Misalkan kamu mengadakan tahlilan mengundang orang tapi tidak dikasih makan atau berkat. Harap-harap cemas kamu akan menjadi seleb mendadak di kampung, hot issue untuk diperbincangkan dalam satu pekan.

Di kampung saya, termasuk masyarakat yang paling dan sangat percaya dengan tahlilan. Kepercayaannya sudah tidak bisa ditawar. Perdebatan bid'ah soal tahlil jangan dibawa ke kampung saya, tidak berpengaruh apa-apa. Percuma.

Semua yakin bahwa doa yang dikemas dalam bentuk tahlilan akan sampai pada si mayat. Tahlil digelar tidak hanya ketika ada orang yang meninggal saja, tapi hampir tiap malam ada semacam perkumpulan yang didalamnya diisi dengan yasinan dan tahlilan.

Saya bertahun-tahun hidup di kampung halaman menikmati indahnya rangkaian acara yang dilakukan masyarakat desa. Tahlilan karena ada orang yang meninggal adalah ritual keagamaan yang paling banyak didatangi masyarakat selain pengajian umum yang biasa dilakukan tiap hari besar Islam. Ini menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi yang dilakukan masyarakat desa.

Di desa, model pembacaan tahlil itu memang bervariasi, mulai dari yang suka pendek-pendek dan simpel sampai yang suka panjang-panjang. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena latar belakang keilmuan yang dimiliki pemimpin tahlil baik kiai, ustadz, dan keaji (red: Madura) itu beda-beda. Panduan tahlilnya pun jelas berbeda.

Bacaan tahlil di desa tidak memiliki ukuran atau standar khusus yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa kepada masyarakat. Jadi maklum saja. Bagaimana mungkin, lurahnya saja kadang masih tunduk kiainya dalam memutuskan kebijakan apalagi masih soal agama.

Iya betul, bervariasi. Yang suka panjang-panjang dalam membaca tahlil biasanya sedikit mengumpulkan masa, bahkan peminatnya tidak banyak. Jujur saja. Tetapi yang suka-suka pendek-pendek dalam membaca tahlil biasanya banyak fansnya, banyak pengikutnya bahkan tak jarang mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Walaupun tidak semuanya.

Baca Disaat kehabisan Ide Dalam Menulis atau Writers block

Bagi saya, esensi tahlil itu selain di dalamnya mendoakan orang yang mati juga sarana supaya ingat selalu bahwa kita ini juga bakal mati dan menghadap Allah. Lantas apakah pembacaan tahlil yang panjang-panjang menjamin kekhusyukan dan kekonsistenan mengingat Allah? Jawabannya ada di diri kalian masing-masing.

Saya tidak heran, dalam pembacaan tahlil yang panjang masyarakat justru semakin nampak arogan dalam membaca tahlil. Contoh, misalkan dalam pembacaan doa tahlil saja jika terlalu panjang maka tunggulah ucapan "Amien" keras yang akan menggetarkan dunia dan seolah-olah ngeledek pembaca doa itu sendiri. Ini bahaya.

Apakah juga ada pengaruhnya bagi mayat akan panjang pendeknya bacaan tahlil? Wallahu 'alam. Yang jelas, hal-hal yang baik dalam Islam tidak hanya ditinjau dari sisi penghambaan kita kepada Tuhan tapi juga mempertimbangkan sisi persoalan sosialnya.

Pernah pada suatu hari, ketika saya di pondok diundang oleh seorang pejabat. Diundangannya tersebut jelas tertera dalam rangka memperingati haul ibunya. Namanya haul pasti ada pembacaan yasin dan tahlilnya.

Bagi saya sebagai santri arus bertahlil jika itu memperingati haul. Yang diundang hanya santri saja. Setelah semuanya berkumpul, sudah biasa pemimpin tahlil terlebih dahulu bertanya tentang maksud dan tujuannya dan siapa saja (arwah) yang akan dikirimi fatihah.

Jawaban tuan rumah membuat kaget dan geger para santri yang hadir. "Mas, tidak usah tahlilan ya, langsung dimakan saja tumpengnya". Kami sempat berdebat dengan bapak itu, "Lho pak, ini kan haul masak mau makan tanpa tahlilan dulu pak, gak enak lah pak! Saya tidak tahu pejabat ini orang NU apa orang Muhammadiyah. Tapi tiap malam sabtu dia selalu ikut pengajian kiai saya di masjid bahkan juga sering bertahlil ke tetangga-tetangga.

"Fatihah saja ya pak" kata teman saya yang kebetulan jadi pemimpin tahlil waktu itu. "Oke gak papa mas yang penting jangan panjang-panjang" kata bapak itu. Saya yang pada waktu itu  juga hadir di tengah-tengah mereka juga sempat berpikir "maksud bapak ini apa?".

Bagi saya, rasanya memang kurang enak jika diundang orang yang jelas-jelas acara haul tiba-tiba nyampe di kediamannya hanya disuruh makan saja tanpa ada bacaan suatu apapun. Berasa punya hutang budi, karena biasanya andalan santri untuk bisa makan enak ya harus berdoa dan mendoakan orang dulu. Makanya teman saya itu ngotot untuk membaca Fatihah saja.

Sebenarnya kita ini senang dengan hal-hal yang sederhana dalam hal apapun. Tidak berlebihan dalam hal apapun. Kadang semangat bersyariat itu membuat sebagian orang lupa akan semangat kemanusiaan.

Cerita di atas, menunjukkan keseimbangan antara semangat bersyariat dan semangat kemanusiaan, boleh jadi ia lebih percaya dengan sedekahnya daripada prosesi pembacaan tahlilnya, boleh jadi ia lebih percaya kepada sedekahnya lebih nyampe ke pangkuan mayat daripada Fatihahnya. No problem its oke, karena sedekah dan tahlil sama-sama ibadah muamalah yang sebenarnya tidak penting kita perdebatkan.

Dengan demikian, hemat saya tahlil itu bukan soal panjang pendeknya bacaan tapi soal khusuk dan tidaknya pembaca. Tapi yang jelas bacaan tahlil panjang dan pendek memiliki efek yang berbeda.

Wallahu'alam


  • Moh. Syahri Founder Atorcator dan Pimpinan Redaksi Atorcator
Read More

Selasa, Desember 25, 2018

Perdebatan Natal itu Wacana Usang

Perdebatan Natal itu Wacana Usang


Penulis: Moh Syahri

Wacana pengucapan "Selamat Hari Natal" dari dulu sering diperdebatkan, wacana usang. tak henti-hentinya membuat wall media sosial ribut sana sini adu argumen. Sampai muncul penghakiman soal keimanan seseorang. Parah. Sekali lagi saya katakan parah.

Perdebatan soal hukum seharusnya memberikan kekayaan khazanah keilmuan, tetapi faktanya tidak, justru sebaliknya, dari sekian banyak perbedaan tentang hukum tak lagi menjadi amunisi baru dalam memperkokoh keislaman dan memperkaya keilmuan. Semakin banyaknya perbedaan malah mempermasalahkan perbedaan itu merupakan bagian dari masalah.

Kita ini hidup tidak dalam satu golongan. Berpayung kebinnekaan yang sejak lama jadi benteng pertahanan. Perbedaan yang muncul mengenai suatu permasalahan yang tidak terlalu prinsip seharusnya menjadi edukasi kepada publik.

Sekarang tak lagi demikian, justru yang terjadi saling berebut kebenaran. Saling kafir-mengkafirkan, bahkan tak jarang saling mengolok-olok satu sama lain. Tak sadar, bahwa kebenaran tidak hanya dalam satu jalur. Ada banyak jalur kebenaran yang sebagian orang mustahil bisa mengalami. Apalagi hanya persoalan ijtihadi yang masa ke masa ada corak perubahan terus mengitari.

Pengucapan "Selamat Hari Natal" dilakukan merupakan bagian dari upaya memahami realitas sosial, upaya membangun hubungan yang baik dan stabilitas sosial. Berbuat baik merupakan bagian hal penting dalam ajaran Islam. Sehingga rasul mengatakan

البر حسن الخلق .رواه مسلم

Kebaikan adalah budi pekerti yang mulia (HR. Muslim)
(Shahih Muslim, hahih al-birr wa as-Silati wal-Adab)

Pernah suatu saat Rasulullah didatangi oleh orang Yahudi yang sengaja memelintirkan ucapan kalimat salam dengan  "السام عليكم" (semoga kerusakan menimpa kalian), mendengar ucapan itu istri Rasulullah, sayyidah Aisyah langsung menjawab " (وعليكم السام), kemudian nabi menasehatinya:

مهلا يا عائشة، إن الله يحب الرفق فى الأمر كله .رواه مسلم

Yang lembut wahai 'Aisyah! Sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam segala hal. (HR. Muslim dari Aisyah)
(Shahih Muslim, kitab as-Salam)

Peristiwa ini memberikan pemahaman bahwa kelembutan dalam bersikap tidak hanya ditunjukkan kepada sesama muslim saja. Kepada siapapun Allah sangat menganjurkan untuk bersikap lemah lembut.

Baca Dakwah Politik yang Menjanjikan Surga

Bahkan Alquran dengan tegas menyatakan bahwa Islam sangat menghargai sebuah penghormatan. Manakala penghormatan dan perbuatan baik itu datang dari siapapun, maka kita sebagai orang Islam seharusnya memberikan penghormatan yang lebih atau sepadan. Firman Allah dalam surat An-Nisa'.

وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها إن الله كان على كل شيئ حسيبا
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) perhormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. (An-nisa'/4:86)

Melihat konteks keberagaman bangsa Indonesia, maka kita tidak bisa lepas dengan perayaan hari besar masing-masing agama dari mereka. Banyaknya provokasi dan diskriminasi yang sering dilakukan pada kelompok minoritas tidak seharusnya dibiarkan begitu saja. Karena jauh lebih penting dari perbedaan keagamaan adalah keutuhan negera kesatuan republik Indonesia yang di bangun atas dasar perbedaan agama itu sendiri.

Mengucapkan selamat hari raya nonmuslim, tidak berarti ridho terhadap akidahnya. Ucapan tersebut hanya bentuk sopan santun (المجاملة) dalam berinteraksi sosial. Dr. Mustafa zarqa mengatakan:

Seorang muslim yang mengucapkan selamat hari natal kepada koleganya pemeluk agama Kristen dalam pandangan saya merupakan tindak sopan santun dalam bersosial, dan Islam tak melarang sopan santun dalam bersosial, dan Islam tak melarang sopan santun dalam hal ini. Terlebih bahwa Sayyid Isa Al-Masih dalam akidah kita termasuk para rasul agung Ulil Azmi, maka dia adalah orang yang agung pula menurut kita, hanya saja mereka berlebih-lebihan dalam menganggukkannya, sehingga meyakininya sebagai Tuhan. Barang siapa yang berperasangka bahwa mengucapkan selamat natal memiliki tautan erat dengan akidah mereka mengenai ketuhanannya, maka ia telah melakukan kesalahan, karena sopan santun demikian ini tak ada sama sekali hubungannya dengan akidah dan sikap berlebih-lebihan mereka. (Http://www.islamonline.net/servlet/S...=1122528609034.)

Jadi, pengucapan Selamat Hari Natal tidak lebih sebagai sebagai kesopanan yang lazim dalam bersosial bukan berpartisipasi dalam prosesi ritual perayaannya yang bersebrangan dengan akidah umat Islam.

Syaikh Yusuf al-qaradawi mengatakan:

وهذا لا يعني أن تحتفل معهم، إنما نهنئ فقط، وهذا من البر والقسط الذي جاء به هذالدين

Ini (bolehnya memberi ucapan selamat natal) tidak berarti kita boleh merayakan bersama mereka, kita sesungguhnya hanya memberi ucapan selamat saja, dan yang ini termasuk kebajikan dan keadilan yang diperintahkan oleh agama ini (Islam). (http://www.islamonline.net/servlet Satelit?Peganame=IslamOnline-arabic-Ask_scholar/FatwaA/FatwaA&cod=1122528601788)

Mari kita sejenak menghentikan perdebatan ini sebagai wujud kepedulian. Kita miliki keilmuan dan pemahaman ini sebagai kekayaan khazanah keilmuan dan eksplorasi dalam menapaki terjalnya hidup yang kian mencekam.

Atas dasar ini, saya pribadi mengajak kepada umat Islam yang tak bersentuhan secara sosial dengan nonmuslim tak perlu mengucapkan natal, namun bagi muslim yang aktif berinteraksi dengan mereka sangat baik untuk menyampaikan selamat natal dengan keharusan sikap berhati-hati dalam niatnya.

Wallahu 'alam

Sumber foto: islami.co
Read More

Sabtu, Desember 22, 2018

Kisah Anak Menggendong Ibunya yang Mendapatkan Kubah Mutiara

Kisah Anak Menggendong Ibunya yang Mendapatkan Kubah Mutiara


Penulis: Moh Syahri

Ibu adalah orang yang paling banyak berjuang melahirkan anak. Karena sebab beliaulah kita bisa melihat indahnya alam ini. Tak bisa kita bayangkan betapa mahalnya pengorbanan ibu saat kita mulai berada dalam kandungan. Tak hanya itu, ibu selalu penuh kehati-hatian dalam mengkonsumsi makanan demi sehatnya sang bayi yang ada di dalam kandungan.

Sehingga bukan sesuatu yang aneh jika Nabi mengatakan "Surga itu ada di telapak kaki ibu" karena perantara ibulah yang penuh keikhlasan dalam memperjuangkan lahirnya sang anak ke dunia ini. Tidak ada seorangpun yang menginginkan anaknya lahir dalam keadaan tidak selamat, tidak baik, lebih-lebih seorang ibu.

Maka sangat tidak pantas jika seorang anak tidak menghormati dan memuliakan ibu. Sebagaimana Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوْكَ. رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” “Lalu siapa lagi?” “Ibumu” “Siapa lagi?” “Ibumu” “Siapa lagi” “Bapakmu.” (HR. Bukhari Muslim)

Baca Biasiswa itu Amanah Bukan Beban

Tidak ada yang bisa menandingi kemuliaan Ibu. Rasullullah pun dengan tegas mengatakan bahwa ibu adalah orang yang paling berhak dihormat diperlakukan dengan baik dan selalu didoakan.

Ada sebuah kisah menarik yang saya kutip dari kitab "Durratun Nasihin Fil Wa'dzi Wal Irsyad" karangan Syaikh Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakirul Khubari. Pada suatu hari, Nabi Sulaiman melakukan safari atau perjalanan yang melintasi langit dan bumi, sehingga sampailah nabi Sulaiman di sebuah laut yang sangat dalam.

Di laut itu Nabi Sulaiman melihat ombak yang menggulung, kemudian Nabi Sulaiman menyuruh angin untuk berhenti maka berhentilah angin itu. Kemudian Nabi Sulaiman memerintahkan setan untuk menyelam ke dalam laut. Setan yang sejak lama menjadi pengikut Nabi Sulaiman, tentu ia sangat tunduk kepada beliau. Maka menyelamlah setan itu atas perintah Nabi Sulaiman.

Baca Tahlil Sejuta Manfaat dan Kekesalan

Setelah setan sampai di dasar laut, setan melihat sebuah kubah yang terbuat dari mutiara putih yang tidak ada lubangnya sama sekali. Kemudian setan itu membawa dan meletakkannya di hadapan nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman heran, kaget melihat kejadian itu. Kemudian beliau berdoa kepada Allah untuk membukakan pintu kubah itu, dan terbukalah pintu kubah itu. Ternyata di dalam kubah itu ada orang yang sudah tua sekali yang sedang bersujud.

Maka Nabi Sulaiman bertanya: Siapa kamu, apakah kamu malaikat atau jin atau manusia? Kemudian dia menjawab, "Saya hanya manusia biasa". Kemudian Nabi Sulaiman bertanya lagi, "Kamu kok bisa mendapatkan kemuliaan seperti ini? Maka ia Menjawab, "saya selalu berbuat baik kepada kedua orang tua. Ketika ibu saya sudah lemah, tidak punya kekuatan untuk berjalan, sayalah yang selalu menggendongnya kemana-mana.

Dan doa yang selalu dipanjatkan ibu kepada saya adalah "Ya Allah, berikanlah anak saya sikap qonaah (menerima), dan setelah saya meninggal jadikanlah tempat tinggal dia tempat yang tidak ada di langit dan di bumi.

Dan setelah ibu saya meninggal, saya jalan-jalan ke tepi pantai/pinggir pantai. Saya melihat sebuah kubah dari mutiara. Kemudian saya mendekati kubah itu. Dan kubah itu akhirnya terbuka juga. Maka saya coba masuk kedalamnya. Kemudian tiba-tiba kubah ini tertutup dengan izin Allah.

Saya tidak tahu didalamnya ada udara apa tidak. Saya juga tidak tahu apakah saya ini sedang berada di bumi, yang jelas Allah selalu memberikan Rezeki kepada saya selama ada di dalam kubah itu.

Nabi Sulaiman bertanya lagi, "lantas bagaimana cara Allah SWT memberikan rezeki kepadamu di dalam kubah itu? Nabi Sulaiman menunjukkan wajah keheranan. Kemudian ia menjawab, "ketika saya datang atau masuk ke kubah ini, Allah SWT langsung menciptakan sebuah pohon dan di pohon itu terdapat buah-buahan, maka lewat itulah Allah memberikan rezeki kepada saya.

Dan ketika saya haus, dari pohon itulah air yang sangat putih lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, lebih dingin dari salju keluar memberikan kesejukan untuk menghilangkan haus.

Kemudian Nabi Sulaiman bertanya lagi, "bagaimana kamu bisa mengetahui antara malam hari dan siang hari di dalam kubah itu?

Orang tua itu menjawab, "ketika sudah menjelang matahari terbit atau fajar subuh maka kubah itu berubah jadi putih, dengan seperti itu saya tahu bahwa ini menunjukkan siang. Dan ketika menjelang matahari terbenam maka kubah itu berubah menjadi gelap, maka saya tahu bahwa itu menunjukkan datangnya malam.

Dari kisah di atas, menunjukkan bahwa ibu adalah orang yang selalu mendoakan anak-anaknya yang terbaik. Doa ibu adalah doa yang penuh mustajab. Anakyang selalu berbakti kepada orang tua dijamin Allah akan memberikan rezeki yang cukup.

Wallahu'alam

Sumber foto: muslimah.web.id
Read More

Jumat, Desember 21, 2018

Masjid Serasa Rumah Sendiri, Kebiasaan Tidur Ngorok Saat Khotbah Berlangsung

Masjid Serasa Rumah Sendiri, Kebiasaan Tidur Ngorok Saat Khotbah Berlangsung


Penulis: Moh Syahri

Ada saja jamaah yang tidur saat khotib berkhotbah. Tapi memang kebanyakan tidurnya jamaah Jumat itu hampir sulit ditebak, karena posisi tidurnya itu duduk, seolah-olah kelihatan mendengarkan khotbah. Tak mungkin dia akan tidur terlentang ataupun tengkurap di masjid. Baru bisa dipastikan tidur jika ia sudah ngorok.

Bagi saya, khotbah Jumat adalah salah satu fase menyegarkan kembali pikiran umat Islam yang sebelumnya dedel-duel mengurusi pernak-pernik duniawi. Hari Jumat bisa menjadi oase, ajang instrospeksi. Lho terus gimana dengan yang tidur, mungkin dia gak butuh penyegaran karena gak dedel-duel ngurusi pernak-pernik duniawi, cukup dengan tidur nanti setelah bangun akan segar sendiri.

Awalnya saya biasa saja karena suara ngorok itu tidak begitu keras, mungkin hanya saya yang mendengar suara ngorok itu. Tapi lama kelamaan kok suara itu makin keras, saya yang pas berada di sebelahnya merasa risih. Ditambah lagi dengan kesinisan jamaah yang lain karena dianggap membiarkan jamaah yang tidur ngorok itu.

Khotbah yang dibacakan Khotib pada saat itu tidak seperti biasanya, lumayan lama. Saya yang pas berada di sebelah dia merasa ngantuk juga karena saking lamanya. Tapi saya tahan. Sekali-kali saya harus bisa menghargai Khotib yang sudah susah payah bikin tema khotbah.

Sedangkan orang yang di sebelah saya itu begitu pulas dengan ngorok-ngoroknya. Saya merasa tidak enak untuk membangunkannya, takut menyinggung perasaannya.

Tapi karena saya sudah jadi sorotan orang semasjid saya jadi tidak enak juga, saya terpaksa membangunkan dia dengan cara-cara yang halus nan elegan. Tidak dengan kontak fisik. Saya mencoba dengan mengetuk atau ngerol kupingnya dengan ucapan "Allah", berkali-kali saya lakukan tapi belum berhasil.

Saya hampir putus asa bagaimana cara membangunkan bapak itu. Dan pada akhirnya saya mencoba dengan cara lumayan ekstrim (bukan kontak fisik), cara yang sama yaitu mengetuk/ngerol kupingnya dengan ucapan "Gempa pak", Alhamdulillah wasyukurillah wanikmatillah. Hanya dengan sekali ketukan dan itupun dengan suara yang lirih, bapak itu langsung bangun dengan wajah yang polos, kaget, dan mangap-mangap.

Saya berharap sekali, semoga bapak itu tidak tahu siapa yang mengucapkan itu. Dan ketika saya melihat wajah bapak tersebut, seolah dia sedang menerima atau mendengar khotbah gempa dari sang khotib. Alhamdulillah. Dari wajahnya sama sekali tidak menggambarkan kecurigaan pada saya.

Baca Seperti Apa Peran Citizen Journalism di Era Milenial?

Fenomena ngantuk bahkan sampai ngorok saat khotbah berlangsung bukan perkara spontanitas, bukan karena tema khotbahnya yang kurang enak, apalagi karena takmir masjidnya yang kurang kreatif, tidak senyum dan masang muka cemberut. Tidak. Rasa ngantuk itu datang kadang memang ketika kita masih di rumah, di kamar, atau di kost. Lebih-lebih ketika menjelang shalat Jumat.

Hampir mustahil jika tidak menemukan jamaah jumat tidak ngantuk ketika khotbah. Saya rasa tidak perlu lah takmir harus menyediakan kopi hanya dengan tujuan untuk mengurangi jumlah jamaah yang sengaja memindahkan waktu bobok siangnya di masjid sambil (pura-pura) mendengarkan khutbah. Cukup lawan rasa ngantuk itu dengan komitmen yang kuat untuk tidak ngantuk. Insyaallah.

Saya yang sudah berkali-kali pindah tempat, dari Sumenep, Jogja, Semarang, sampai Malang fenomena seperti itu tetap tak bisa hilang dalam kebiasaan saya. Saya baru sadar bahwa Tuhan menyebar setan itu tidak hanya di diskotik, di masjid pun ada.

Lho masak di masjid ada setannya? Tidak percaya!!! Setan itu bisa berwujud apa saja tak terkecuali bisa nyamar jadi manusia. Tapi gambaran sederhananya seperti ini, ketika shalat kalian pasti ingin sekali khusyuk, tapi apa faktanya, hampir mustahil tidak bisa khusyuk 100 persen, ingat pekerjaan lah, ingat hutang lah, semua muncul diingatan tanpa diduga-duga. Itu godaan setan.

Sepertinya setan memang memiliki scheduling khusus untuk menggoda manusia. Kapan jadwal membuat manusia ngantuk yang bukan tempatnya dan kapan membuat orang terpesona dengan keindahan dunia yang berlebihan. Dan mari kita buat scheduling tandingan untuk melawan para setan itu dengan cara mengatur waktu tidur yang tepat.

Dan yang terkahir, jika kita terpaksa harus menjadi orang ngantukan plus suka ngorokan, maka ingatlah soal bahaya tidur ngorok (Sungguh berbahaya) sampai ada artikel dengan judul “Tidur Ngorok Itu Bukan Tanda Tidur Pulas Karena Kamu Bisa Saja Bangun di Akhirat” ihhhh ngerri. Dan ingat itu masjid bukan rumahmu.

Wallahu'alam

Sumber foto: nu.or.id
Read More

Kamis, Desember 20, 2018

Situ Santri Tawaduk Benaran Atau Jangan-jangan Memang Bodoh Benaran

Situ Santri Tawaduk Benaran Atau Jangan-jangan Memang Bodoh Benaran


Penulis: Moh. Syahri

Atorcator.Com - Salah satu ukuran ketinggian akhlak santri di pesantren adalah tawaduk. Siapapun yang bisa menjaga ketawadukannya dialah orang yang memiliki akhlak. Harus kita akui bahwa akhlak di atas ilmu.

Tawaduk adalah puncak tertinggi dari akhlak. Pesantren merupakan tempat orang tawaduk, tempat santri menempa diri untuk mencari ketawadukan. Setinggi apapun ilmu seorang santri tatkala belum memiliki sikap tawaduk maka ilmu yang ia miliki terasa hambar bahkan tak jarang kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.

Sebagai gambaran sederhana, tawaduk adalah menghormati, menghargai dan memuliakan yang lebih tua dan lebih alim. Orang tawaduk biasanya sering mengalah, tidak ambisi, enggan merebut posisi sebagai pemimpin, dan sering merendah dihadapan orang lain tatkala didorong untuk jadi pemimpin. Tak terkecuali dalam urusan memimpin tahlil, shalat jamaah dan lain-lain. Karena bagi santri yang tawaduk, sering merasa dirinya kurang pantas dan masih banyak yang lebih pantas dari dirinya.

Pengalaman saya dulu ketika mondok, sudah biasa saling dorong mendorong ketika disuruh mimpin tahlil, fatihah saja masih saling tunjuk menunjuk. Dan bukan hal yang baru acara selamatan lama gara-gara masih berdebat soal siapa yang pantas jadi pemimpin tahlil, siapa yang pantas nanti jadi penutup doa. Parah. Membuat tuan rumah jadi tidak percaya lagi dengan kehebatan santri.

 Baca Keinginan Menulis Berjamaah Dalam Pesantren

Setiap ada acara kenduri di dekat-dekat pesantren, tak jarang santri selalu dilibatkan dalam mengisi acaranya karena santri dipandang sebagai sosok yang dianggap punya pemahaman lebih soal agama. Juga ketika seorang santri pulang ke kampung, jadwal tausiyah, sampai baca ayat-ayat suci Alquran untuk hajatan kampung akan diserahkan kepada santri.

Kenapa harus takut? Bukankah santri sudah diajarkan keberanian dalam hal apapun, ta'limnya jangan ditanya hampir tiap detik nadzom alfiyah dan imriti selalu membasahi bibirnya dan kesufiannya selalu menggetarkan hatinya, tirakatnya jangan diragukan, ilmu kanuragannya pun jangan coba-coba. Lah saya tawaduk mas. Lagi lagi tawaduk.

Begini, para barisan abnaittolabah yang sedang berjihad, santri memang harus tawaduk akan tetapi ketawadukan itu harus ditempatkan pada posisi yang benar. Jika dalam hal memimpin ritual keagamaan saja kalian enggan bahkan masih saja berdebat sama halnya kalian menunjukkan kegoblokan, kebodohan di hadapan masyarakat.

Maka jangan kaget jika suatu saat orang yang memimpin tahlil, tausiyah, diambil alih oleh mereka yang tidak paham dengan agama. Begitu juga dengan kehidupan politik, posisi pemimpinan dalam pemerintahan, seperti kepala desa, camat, bupati, dan presiden. Jangan menyesal jika suatu saat pemimpin itu dipimpin oleh orang yang tidak kompeten, tidak profesional dan tidak memiliki kapasitas dalam memimpin.

Sumber foto: alinea.id

Wallahu 'alam

  • Moh. Syahri Founder Atorcator dan Pimpinan Redaksi Atorcator

Read More

Rabu, Desember 19, 2018

Munculnya Pro Kontra Poligami Saya Jadi Ingat Kiai Masyhurat Ulama Madura

Munculnya Pro Kontra Poligami Saya Jadi Ingat Kiai Masyhurat Ulama Madura


Penulis: Moh Syahri

Saya tidak tahu harus mengatakan istilah apa yang pantas buat Kiai Masyhurat dengan istri yang sampai selusin itu. Tapi memang setiap isu poligami dimunculkan ke permukaan saya selalu ingat sosok Kiai Masyhurat yang memiliki 12 istri dan berpuluh-puluh anak cucu.

Tak tanggung-tanggung sosok kiai ini benar-benar menunjukkan keromantisannya saat pertama kali diliput oleh media. Satu persatu diabsen sesuai dengan urutan sejak dia mengawininya. Di rumahnya yang megah layaknya istana Sulaiman luas berlantai empat dengan kamar 142, semua istri mampu ditampung dalam satu rumah.

Kiai Masyhurat memang kalah tenar dengan pelantun lagu religi, tombo ati, yang sering disapa mas Opick. Konon lewat suaranya yang merdu itu, dia berhasil membius perempuan untuk dijadikan istri kedua. Dan juga kiai Masyhurat kalah popularitasnya dengan sosok pendakwah kontemporer yang dulu pernah menggegerkan jagad media gegara isu poligami yang pernah dilakoninya yaitu ustad Arifin Ilham dan Aa Gym.

Kiai Masyhurat itu siapa? Ia kiai kampung yang memiliki pemahaman agama yanh mumpuni, tak punya modal apa-apa selain rumahnya yang nampak megah itu. Betul. Dia juga bukan pendakwah. Bukan penyanyi. Bukan artis. Dia sosok kiai pelaku poligami yang banyak didatangi oleh masyarakat bersowan dengan tujuan dan maksud masing-masing.

Baca Mantan Dalam Membangun Relasi Yang Baik

Selain dikenal sebagai pelaku poligami yang tulen, kiai ini juga dikenal dengan kiai yang nyentrik, aneh, dan sulit ditebak. Karenanya dia sering membuat orang heran dengan perilakunya.

Alquran sudah jelas memberikan batasan-batasan tertentu, sesuai dengan firman-Nya

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi. Dua, tiga, atau empat” (al-Nisa: 3).

Terlepas dari beragamnya tafsir, ayat di atas menurut jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa orang boleh berpoligami maksimal 4 istri.

Lantas apakah kiai Masyhurat salah? Menyalahi alquran? Entahlah..... Sebab masih ada sebagian ulama yang menafsirkan di luar batas di atas.

Namun kita tidak boleh terlalu fokus dengan dalil di atas saja, kita perhatikan dalil berikut juga,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa/4 : 3].

Lalu selanjutnya alquran menegaskan lagi :

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa/4 : 129].

Dengan demikian, kita ini sebenarnya jauh dari bisa berbuat adil dalam hal berpoligami. Tuhan dengan tegas berkata demikian. Karena keadilan itu soal perasaan. Maka seyogyanya kita memahami ayat-ayat di atas dengan nalar sehat dan kuat.

Agama sudah jelas memberikan regulasi. Bahwa poligami pada sejatinya memang bukan anjuran tapi boleh jadi sebagai jalan keluar yang harus mempertimbangkan batasan dan keadilannya.

Kenapa ada yang mendukung ada yang tidak tentang poligami? Begini penjelasan Bunda Estiana Arifin seorang pakar public consulting

Pertama, cara pandang yang dihasilkan pemikiran. Umumnya mereka yang menentang poligami memandang tidak ada segi positif dari pernikahan jenis ini dan perempuan adalah pihak yang paling dieksploitasi, dimanipulasi sampai yang terposisikan inferior. Karena poligami menjadikan perempuan bawahan pria mengontrol para istri. Ini dipandang bukan relationship ideal. Bagi penentang poligami, pernikahan jenis ini bahkan dipandang sebagai penyiksaan psikis.

Berbeda dengan mereka yang mendukung, poligami dipandang dari perspektif agama dan karena datangnya dari anjuran tuhan maka poligami pasti memuat banyak manfaat bagi laki-laki dan perempuan. Pernikahan ini dianggap menyatukan apa yang terserak dan meningkatkan loyalitas terhadap ajaran agama, menunjukkan kualitas iman yang tinggi tentang arti ikhlas dan ridho. Makanya pahala perempuan yang dipoligami adalah surga dan pria yang mempoligami dijamin rezekinya.

Kedua, dukungan dan penolakan juga datang dari kepentingan. Jika kepentingan kita terganggu oleh suatu sistem, kita akan menentang sistem. Jika kepentingan kita difasilitasi sistem, kita akan mendukung sistem itu.

Ketiga, dukungan dan penolakan juga terkait dengan keuntungan. Jika orang dirugikan maka orang akan menentang, jika diuntungkan orang akan menyokong, Tidak akan pernah sebaliknya tentang ini.

Perdebatan tentang poligami akan ada terus selagi poligami dilakukan dan dianjurkan. Poligami akan tetap dilakukan selagi pria menganggap ini sesuai dengan dorongan dan kebutuhan seksualitasnya dan perempuan yang dipoligami mempercayai ini jalan keluar bagi masalah status dan finansial.

Pada istri pertama yang  dimadu akan bersedia dengan poligami saat dia menganggap iman dan ketentuan agama lebih adil dari perasaan sakit pada dirinya. Selagi orang menganggap takdir dan ketentuan tuhan itu tidak pernah salah, maka tidak ada masalah dengan apa yang batin keluhkan.

Terkahir sebagai penutup, saya pernah baca artikel kisah Roel Mustafa yang menafkahi 1000 janda tanpa ia nikahi, bagi saya dia jauh lebih berwibawa dan bersahaja bahkan bisa jadi lebih mulia (dalam tanda kutip) dibanding mereka yang berpoligami (boleh tidak setuju)

Itu saja............

Sumber foto: qureta.com

Wallahu'alam
Read More

Selasa, Desember 18, 2018

Mengenang Humor Gus Dur yang Lebih Memilih Pidato Ala Pesantren daripada Ala Pejabat

Mengenang Humor Gus Dur yang Lebih Memilih Pidato Ala Pesantren daripada Ala Pejabat


Penulis: Moh Syahri

Atorcator.Com - Selain menjadi orang nomor satu di Indonesia sebagai presiden pada masanya, Gus Dur juga menjadi orang nomor satu di dunia yang dikenal humoris, suka bercanda yang diiringi gelak tawa. Karena bagi Gus Dur, boleh dikata, tiada hari tanpa ketawa dan canda.

Sebagai pemangku jabatan presiden, Gus Dur memiliki sense of humor yang tinggi. Jabatan Presiden yang seolah memiliki konotasi “keseriusan”, bagi Gus Dur, tidak demikian. Gus Dur yang memang memiliki gaya hidup sederhana, hidupnya penuh dengan guyon, suka melucu, sama sekali tidak berubah ketika menjabat presiden, bahkan Gus Dur masih nampak semakin rajin berhumor.

Di tangan Gus Dur, Indonesia bisa maju tidak lepas dari pola pikir dia yang humoris-substantif. Tak heran jika dunia dan isinya selalu dibuat ketawa oleh Gus Dur melalui pidato-pidatonya, konfrensi persnya dan melalui kebiasaan ceplas ceplosnya.

Gus Dur membuat Indonesia semakin menarik karena humornya yang khas dan berkelas dan ceplas ceplosnya yang menarik perhatian. Tidak seperti zaman Pak Harto, yang penuh kekakuan, penuh dengan ketegangan, penuh dengan penindasan, penuh dengan penekanan, dan penuh dengan kejenuhan.

Oleh karenanya, pidato Gus Dur tidak melulu dengan keseriusan, baik saat posisinya sebagai pejabat negara maupun sebagai mubaligh/kiai. Bagi Gus Dur, pidato pejabat negara dan siapapun itu sama, sama-sama ingin didengar, diikuti dan diamalkan. Kalau ingin pidatonya didengar sampai selesai maka ikutilah cara pidato kiai pesantren yang penuh dengan candaan.

Baca Santri Tidak Cukup Jadi Pelajar Harus Jadi Pejuang

Pidato Gus Dur tidak hanya menghadirkan gelak tawa tapi juga menghadirkan inspirasi, baik ketika berpidato soal politik maupun soal agama. Dengan gaya yang sederhana namun tetap bersahaja, Gus Dur kadang dinilai kontroversial dalam setiap perilakunya. Padahal dia hanya ingin menunjukkan (dengan humor) bahwa dengan seperti itu kita akan bisa bertahan di Indonesia sekaligus melawan setiap kejahatan yang pernah terjadi di masa orde baru.

Karena itu, Gus Dur sering bergerilya lewat pidatonya (yang humoris) untuk menyadarkan masyarakat atas kecompang-campingan, kekonyolan, dan koyak-moyak negeri ini. Kehadiran Gus Dur dengan gaya humornya yang banyak menyentil bahkan membuat kuping para pejabat kepanasan sama sekali tidak merusak tatanan masyarakat yang ada.

Satu dari sekian banyak pidato yang saya ingat dan masih menancap di otak dari Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden adalah kesepakatan beliau atas diumumkannya kekayaan para menteri. “Agar yang sudah kaya biar kita tahu seberapa kayanya dan yang belum kaya biar ketahuan seberapa melaratnya”, ungkapnya.

Mengingat pesan Gus Dur soal humor. Dalam bukunya "Melawan Melalui Lelucon", Gus Dur menyebutkan setidaknya candaan memiliki fungsi penting sebagai medium protes terselubung, wadah ekspresi politis, sarana menggalang kesatuan dan persatuan, sarana kritik terhadap keadaan yang tidak menyenangkan di tempat sendiri.

Saya sangat bersyukur dengan kehadiran media sosial seperti “Twitter Nu Garis Lucu” dengan jargonnya “sampaikan kebenaran walaupun itu lucu”. Dimana postingan-postingan di twitternya selalu menghadirkan humor yang cerdas. Ini salah satu upaya untuk menumbuhkan dan menghidupkan kembali humor ala Gus Dur lewat tulisan untuk menyampaikan kebenaran lewat humor.

Semua pola pikir dan tindakan Gus Dur tidak lepas dari produk pesantren. Urusan bercanda dan ketawa juga merupakan bagian dari tradisi kiai di pesantren. Kiai pesantren tidak lekang dengan candaan walaupun kiai pesantren memiliki tugas penting dan serius dalam mengartikulasikan agama sebagai solusi dan pedoman hidup.

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin mengutip kata-kata Emha Ainun Najib yang ditulis dalam buku “Gus Dur Santri Par Excellence Teladan Sang Guru Bangsa”, bahwa ada dua istilah yang diambil oleh beliau dari ajaran islam, yaitu Basyiro dan Nadhiro. Gus Dur sudah mengajarkan Basyiroh yang memiliki arti membuat orang gembira, tertawa, tepuk tangan, terpingkal-pingkal sampai keluar air mata. Akan tetapi pada batas tertentu, Gus Dur tidak melewati tugas Nadhiro yang memiliki arti memberikan peringatan: He tiran, jangan tiran dong.

Wallahu a’lam


  • Moh. Syahri Founder Atorcator.com, pernah nyantri di pondok pesantren Darul Istiqomah Batuan Sumenep
Read More

Senin, Desember 17, 2018

Dakwah Politik yang Menjanjikan Surga

Dakwah Politik yang Menjanjikan Surga


Penulis: Moh Syahri

Surga itu milik Allah Swt, bukan milik manusia. Yang punya hak untuk memastikan seseorang masuk surga atau tidak itu mutlak hanya Allah Swt, melalui amal perbuatan yang baik dan cocok menurut Allah Swt. Manusia hanya dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebajikan untuk meraih ridho dan rahmat Allah Swt.
Semua apa yang kita perbuat di dunia ini tidak ada jaminan akan diterima atau tidak oleh Allah Swt. Apalagi hanya bergantung pada penilaian manusia. Bahkan ketika kita mengorientasikan ibadah karena surga, sebagian ahli sufi mengkategorikan sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Lantas apa yang harus kita perbuat di dunia ini. Tak lain dan tak bukan berperilakulah sesuai dengan koridor syariat, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengekang.
Anehnya akhir-akhir ini surga seolah-olah milik manusia, seolah-olah mereka punya hak penuh atas surga. Yang sangat menjengkelkan dan bikin geram adalah menjadikan surga sebagai alat politik, sebagai alat untuk meraup kekuasaan dan jabatan. Surga itu sebenarnya bukan milik mereka yang hanya bicara soal agama dan tuhan. Apalagi bicara soal politik yang sarat dengan materialistis.
Kisah yang tak asing lagi adalah Imam Al-Ghazali dan seekor lalat: Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nashoihul ‘Ibad menulis tentang seseorang yang berjumpa Imam Al-Ghazali dalam sebuah mimpi. “Bagaimana Allah memperlakukanmu?” Tanya orang tersebut.
Imam Al-Ghazali mengisahkan bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya. Al-Ghazali pun menimpali dengan menyebut satu persatu seluruh prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.
“Aku (Allah) menolak itu semua!” Ternyata allah menampik berbagai amalan Imam Al-Ghazali kecuali satu kebajikan saat bertemu dengan seekor lalat.
Ketika Al-Ghazali hendak menulis sebuah kitab yang dikarangnya tiba-tiba ada seekor lalat datang menghampirinya. Lalat tersebut dengan pelan-pelan masuk ke dalam wadah tinta. Al-Ghazali yang dikenal dengan orang yang santun penyayang tentu beliau membiarkan lalat tersebut minum karena Al-Ghazali tahu bahwa lalat tersebut pasti haus.
Kemudian Allah memerintahkan Al-Ghazali dalam mimpi itu “Masuklah kamu bersama hambaku ke surga”.
Berangkat dari kisah ini, kira-kira perbuatan apa yang pantas kita andalkan menuju Allah. Sementara kita terus-terusan sibuk mengkapling seseorang ini surga, ini neraka, mengintimidasi seseorang dengan ayat-ayat perang. Al Ghazali yang sudah kaya dengan prestasi tidak bisa menghantarkan dirinya ke surga. Apalagi kita yang tiap hari hanya ngurus perbuatan orang sana-sani.
Perbedaan dalam politik dan sudut pandang jangan dianggap sebagai perpecahan, melainkan sebagai kekuatan dan tonggak persatuan. Jangan karena perbedaan politik dan sudut pandang lantas kita sangat berhak mengahakimi seseorang dengan label surga dan neraka. Jangan karna tak seiman dalam politik lantas kita berhak mengecap kafir. Perbedaan itu rahmat, setiap rahmat pasti akan memberikan kedamaian. Akan tetapi jika perbedaan itu dianggap laknat maka tunggulah kehancuran.
Masih ingat saat Umar bin Abdul Aziz memberi komentar menarik, “Saya tidak suka kalau para sahabat tidak berbeda pendapat, sebab kalau mereka hanya memiliki satu pendapat, tentu manusia akan berada dalam kesempitan, padahal mereka itu adalah paara pemimpin yang dijadikan panutan oleh umat. Kalau ada seseorang mengambil salah satu dari beberapa pendapat sahabat yang ada, maka ia berada dalam keluasan.” Ini salah sau contoh wujud demokrasi.
Dalam pusaran politik banyak para elit politik mendadak jadi ustad, sebaliknya ustad mendadak jadi politikus. Ketika itu terjadi, pola dakwah yang mereka tontonkan nampak kaku dan tak mencerahkan.
Dengan pengelabuhan seperti itu, tentu mereka sangat lihai dalam mempolitisasi surga sebagai alat politik dengan dalil-dalil yang siap saji (fast food). Pola prediksi melalui sekumpulan dalil untuk menyatakan apa yang sedang dan akan terjadi telah tersurat dalam ajaran agama dan belaku final.
Dengan berbekal ajaran Ali bin Abi Thalib yang melansir “Ballighu ‘anni walau ayah” sampaikan tentang diriku yaitu kebenaram walaupun satu ayat. Kalangan politikus setengah ustad itu mereplikasi ajaran keagamaan secara kuantitatif-simplikatif, meskipun tidak memahami apa esensi dan substansi sebuah ajaran yang patut disampaikan kepada publik.
Padahal setiap kebenaran yang lazim disampaikan harus berimplikasi pula pada adanya tanggung jawab pencerahan kepada pihak lain agar sebuah pesan keagamaan tersampaikan, dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sosial.
Memang sulit untuk mencari da’i professional, hampir semua ustad lebih-lebih yang ada di media hasil request dan serba instan. Tidak lulusan pondok pesantren yang sarat dengan nilai-nilai islam berdasarkan kitab salaf.
Maka tak heran jika ada ustad dadakan dan politikus dadakan, karena di situ ada semacam kepentingan yang mendesak untuk menaikkan daya tawar dirinya di hadapan publik.
Artikel ini sudah pernah dimuat di islami.co dan gubuktulis.com
Sumber foto: islami.co


Read More