Februari 2019 - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Kamis, Februari 28, 2019

Keras Boleh Asal Tetap Beradab

Keras Boleh Asal Tetap Beradab



Atorcator.Com - Sekeras-kerasnya pejuang Islam garis keras seperti alm. AM Fatwa, beliau tetap beradab dalam statement-statement politiknya. Bahkan beliau pernah marah besar dan hendak melempar microphone ke muka Fahri Hamzah di acara ILC yang disiarkan oleh Tv One pada September 2016, ketika Fahri Hamzah mengatakan sinting pada Jokowi dan KPK yang kala itu Jokowi berjanji hendak menetapkan Hari Santri Nasional jika terpilih menjadi Presiden dalam Pilpres 2014. "Coba katakan ke saya sinting akan saya lempar microphone ini ke muka anda !" Tantang alm. AM. Fatwa pada Fahri Hamzah.

Alm. AM. Fatwa bukanlah pejuang Islam abal-abal seperti yang saat ini banyak berseliweran di panggung-panggung politik Indonesia. Alm. AM. Fatwa pejuang sejati muslim Indonesia yang sudah kenyang merasakan manis dan pahit getirnya perjuangan politik di Indonesia, bahkan di masa Orde Baru alm. AM. Fatwa pernah dipenjara karena ketegasannya melawan Rezim Soeharto. Pun demikian dengan tokoh-tokoh Islam garis keras lainnya seperti alm. Prof. HM. Immaduddin Abdurrahim (Bang Imad) pelopor Gerakan Komando Jihad Islam dan anggota Dewan Pakar ICMI. dll.nya, semuanya itu tokoh-tokoh pejuang Islam garis keras di zamannya, namun beliau semua orang-orang yang sangat santun, arif dan beradab dalam melontarkan pikiran-pikiran dan dalam menunjukkan sikap-sikap politiknya.

Hal yang harus dicatatat atau diingat pula dari perjuangan para tokoh-tokoh Islam garis keras di zamannya itu, adalah beliau semua tidak pernah anti pada umat non Islam, tidak pernah anti keturunan Cina dan tidak pernah memaksakan kehendak politiknya, melainkan hanya terus menerus mengkritisi kebijakan pemerintah (tentu bukan di masa pemerintahan Jokowi), dan selalu siap sedia diajak diskusi secara serius dan gagah berani dalam mempertanggung jawabkan pemikiran-pemikirannya di hadapan rezim pemerintahan yang dilawannya. Beliau semua juga tidak pernah menyebarkan hoax, tidak pernah memfitnah lawan-lawan politiknya. Semua yang dikritisinya berdasarkan telaah politik dan keyakinannya sendiri-sendiri.

Baca juga: Pasar Gelap Ustaz

Pemikiran-pemikiran kritis seperti yang diteladankan oleh tokoh-tokoh kritis seperti alm. AM. Fatwa, Prof. HM. Immaduddin Abdurrahim, Dr. Adnan Buyung Nasution dll. sebenarnya sangat baik untuk dipertahankan, tanpa harus menciptakan situasi gaduh dan menegangkan antar warga bangsa apalagi dengan menjual ayat-ayat al-Quran yang digunakan hanya untuk melegitimasi kebohongan atau fitnah-fitnah yang sangat keji.Pemikiran kritis baik itu mau ditampilkan dengan gaya lembut maupun keras sebenarnya tidak menjadi masalah, sah-sah saja asal keras tidak berarti berwujud kekerasan. Keras harusnya dimaknai sebagai sikap tegas yang memotovasi dan menginspirasi. Tegas yang membangkitkan gelora juang untuk kemajuan berbangsa, bernegara dan beragama, bukan keras yang membangkitkan gelora kebencian ataupun permusuhan pada saudara-saudara sebangsanya sendiri.

Berpikir kritis juga berguna untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan berdemokrasi, karena tanpa sikap kritis sebuah bangsa juga akan jatuh pada sikap fatalis yang pasrah total pada semua kebijakan pemerintahnya, yang belum tentu selamanya pemerintah itu berada di rel atau koridor yang benar dalam menjalankan amanah pemerintahannya. Sikap kritis itu seharusnya dimiliki oleh kelompok oposisi sebagai penyeimbang dalam roda pemerintahan, namun sayang sekali yang sekarang terjadi setiap pergerakan politik dan isu-isu yang dilontarkan oleh kaum oposan justru tidak sesuai yang kita semua inginkan. Mereka kerap melolong-lolong di berbagai kesempatan, bukan karena pikiran kritis yang tergerak untuk memperbaiki keadaan bangsa dan negaranya, melainkan karena ingin mendapatkan kekuasaan semata. Rakyat yang kritispun kemudian berkata:"Lha kalau hanya bisa nyinyir dan marah-marah pada pemerintah saja, orang-orang gila juga bisa, kita pilih Jokowi lagi saja yang sudah terbukti ketangguhan memimpinnya !"...(SHE).
Selengkapnya di sini
Jakarta, 28 Februari 2019.
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis, Ketua Umum Pimpinan Pusat HARIMAU JOKOWI.

Sumber Foto: NU.or.id
Read More
Mengapa Islam Tidak Langsung Mencetak Al-Qur'an?

Mengapa Islam Tidak Langsung Mencetak Al-Qur'an?


Oleh Mujib Romadlon

Atorcator.Com - Abad 15 mesin cetak ditemukan oleh Guttenberg, seketika semua orang Barat memperoleh akses untuk mendapatkan pengetahuan. Padahal sebelumnya, jika seseorang ingin memiliki pengetahuan ia hanya bisa mencarinya di bar maupun kafe. Karena hanya bibir ke bibir terus berpindah ke telinga, otomatis sulit untuk mengklarifikasi data pengetahuan tersebut, bias menjadi tak terelakkan.

Buku adalah sebuah kemewahan, saat itu buku termasuk kebutuhan tersier. Buku diproduksi dengan cara menulis manual tangan. Sehingga anda bisa bayangkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah buku? Maka harganya bisa ditebak, lebih baik buat membeli segentong beer untuk kebutuhan sebulan di musim dingin.

Barat menjadi gelap, karena satu-satunya otoritas peletak segala pengetahuan harus muncul dari apa yang telah disepakati oleh gereja. Nicolas Copernicus dan Galileo Galilei adalah dua nama besar yang telah tercatat dalam sejarah. Dengan otoritasnya, Gereja telah membatasi ruang hidup mereka. Bila berani menantang segala pengetahuan yang telah berurat berakar. Hidup dalam cemoohan dan 'dianggap sesat' itulah yang didapatkan.

Kedatangan mesin cetak, mengantarkan cara baru dalam mendapatkan pengetahuan. Media baru ini massif menyegarkan alam pikiran Barat. Semua orang mendapatkan hak yang sama untuk berbicara tentang pengetahuan, bukan semata gereja saja. Publikasi karya ilmiah menantang doktrin pengetahuan lama.
Media baru ini menandakan satu momentum kebangkitan. Dengan mesin cetak, semua orang mendapatkan akses kemudahan untuk membaca dan belajar apapun, pengetahuan menjadi titik pijar Barat.


Namun mesin cetak tak begitu saja di terima di Timur dekat. Penerimaan media cetak, baru diterima di dua abad kemudian. Melalui kegigihan Ibrahim Mutafarriqah selama 10 tahun meminta pada Sultan Ahmad III dari Turki Utsmani lewat risalah berjudul wasilat al-thab'i. Yang boleh dicetak pun hanya pengetahuan sekuler, ilmu agama tetap dilarang. Termasuk percetakan al-Qur'an. Wilayah Islam lainnya, seperti Mesir bahkan baru menerima di 5 Abad kemudian, di awal abad 20. Melalui para tokoh reformis mereka; Abduh, Rasyid Ridla, Jamaluddin al-Afghani.

Logikanya:
Bukankah mencetak al-Qur'an itu baik demi dakwah? Karena dakwah Islam melalui al-Qur'an yang dicetak pasti akan dapat menjamah seluruh elemen masyarakat?

Kenapa ulama Islam tidak serta-merta menerima mesin cetak?

Lagi-lagi:

Tidak semudah itu Ferguso...

Tradisi pembelajaran al-Qur'an itu tidak memakai input dari kuping ke kepala, seperti selayaknya cara penerimaan pengetahuan pada umumnya. Kita yakin bahwa penurunan wahyu itu merupakan sebuah peristiwa transmisi yang diterima hati. Penurunan wahyu tak bisa disamakan seperti guru ceramah bersuara menjelaskan didepan kelas. Muridnya mendengar kemudian tahu. Bukan seperti itu,
wahyu bukanlah peristiwa inderawi kuping atau mata yang berujung menjadi data.

Meminjam istilah Jabiri, penurunan wahyu adalah 'irfani. Ia merasuk ke hati, mendapatkan pengetahuan melalui ini, butuh persiapan yang tak mudah, tak sekedar mendengar. Anda teringat kisah Nabi dicuci hatinya oleh malaikat Jibril? Atau Nabi mendapatkan wahyu pertama berwujud ru'yah shadiqah untuk menyepi di Gua Hira? Semuanya itu adalah tahapan suci, proses untuk mendapatkan limpahan pengetahuan yang diperantarai Jibril dari Allah.

Al-Qur'an adalah kalamullah, persis tiada yang berubah saat dari Allah ke Jibril dan Nabi saw. Aspek pelafalannya otentik memakai sistem yang ketat mengikuti apa yang dilafalkan Nabi. Generasi seterusnya mengikuti kelisanan ini tanpa menggubah apapun, menjaganya dengan sistem tajwid. Dari Nabi ke sahabat ke tabi'in ke atba' tabi'in terus sampai generasi kita saat ini. Ahruful muqotho'ah di setiap surat ya dilisankan alif-lam-mim, bukan dibaca alamma. Qof ya nyeqluq, bukan hanya kof seperti bilang kakap. Apalagi alladzina, jangan dibaca allad-zina, wah fatal!

Kalau anda pendidikan pesantren, atau setidaknya pernah ngaji pada kyai kampung dan menyambungkan ilmu kelisanannya pada sesepuh guru yang sampai Nabi saw. Anda akan membaca paragraf sebelum ini, mudah saja melafalkan sensasi mulut yang geli berputar-putar. Lha kalau gurumu tak pernah punya sejarah kelisanan yang absah?

Apalagi kalau ngajinya pakai iqra', yang notabene kelisanan pembacaan aksara hijaiyahnya saja sudah berubah dari alif ba' ta' tsa' jim pindah ke a ba ta tsa ja.

Aspek itulah yang hendak dijaga oleh para 'Ulama. Ada pakem kelisanan yang berakar pada sejarah pewahyuan Rasulullah saw. disambungkan ke sahabat ya sama, ke selanjutnya sampai tahun 2019 terjaga rapih. Pelafalan al-Qur'an bukanlah pengetahuan dari apa yang didapat secara autodidak sendiri atau ditirukan dari audio mp3 Syaikh Ghamidi dan Syaikh Sudais. Ada sistem norma dan tradisi yang diyakini berakar kuat pelafalannya pun transmisinya sama tak berubah saat diberikan Allah kepada Nabi saw.

Bila dipindah ke media cetak yang notabene tulisan. Aksara tak bisa mewakili kelisanan. Sehebat apapun alih transliterasi ke aksara latin, pasti ada bias yang tak bisa dianggap remeh. Dan institusi yang mewakili kuat tradisi kelisanan sebagai salah satu bukti kewahyuan, ialah gaya pembelajaran yang masih tradisional. Mensyaratkan talaqqi, sudah jelas ini adalah persambungan kelisanan murid ke guru, juga koneksi hati ke hati.

Itu salah satu faktor mengapa komunitas muslim tak serta merta menerima tradisi media cetak, karena apa yang muncul di cetak tetap tak bisa menjaga tradisi kelisanan kewahyuan al-Qur'an. Di tambah juga, ada beberapa pertimbangan lain, seperti takut jika al-Qur'an versi cetak akan jatuh pada orang yang tak tahu bagaimana cara menghormatinya. Itu adalah resiko yang tinggi, dianbil para ulama.

Karena sistem klasik yang terdahulu dalam pembelajarannya, kelisanan al-Qur'an tetap menjadi aspek utama. Baru kemudian bila si murid hendak menuliskannya melalui media dengan tulis tangan, hal itu tetap dikroscek oleh gurunya. Maka otomatis penulisnya akan tahu cara yang tepat memperlakukan mushaf al-Qur'an itu sendiri.

Takdzim pada al-Qur'an! Itulah alasannya. Sekarang generasi kita telah menerima media cetak, memang massif sekali al-Qur'an hampir ada di setiap rumah. Tak jarang di tempat-tempat yang katakanlah publik sekuler, juga didapati al-Qur'an dengan berbagai varian fitur pelengkapnya.
Tapi apakah dengan seperti itu kewahyuan dan kelisanan al-Qur'an masih terjaga?

Dengan kemudahan akses mendapatkan alqur'an versi media cetaknya, maka apakah membacanya tinggal dilafalkan sekenanya saja?

Hebatnya sekarang ini, beberapa orang dengan merasa tak berdosa mendapati potongan ayat al-Qur'an di cetak di merchandise; kaos, gantungan kunci, topi, sticker dll. Sebagai sebuah euforia, menampilkan identitas yang saking Islaminya, sampai tak tahu cara menghormatinya. Disimbolkan populer pada wilayah identitas tapi meresikokan membunuh cara yang tepat tentang ketakdzimannya.

Sistem tradisional adalah yang terbaik untuk menjaga adab dan ketakdziman generasi selanjutnya terhadap al-Qur'an. Aturan kelisanan dalam kewahyuan al-Qur'an bukanlah hal yang bisa diambah secara kilat. Lisan tak bisa dibentuk dari pulpen yang dapat bersuara audio Mp3 al-Qur'an, apalagi menghafal al-Qur'an dengan mencocokkan lisan sesuai dengan youtube.

Tapi ya bagaimana? Wong dia kuliahnya di kampus Islam kok, pasti Agamanya bagus:
SD Negeri 1,
SMP Negeri 1,
SMA Negeri 1,
S1 Kampus Islam.

Pernah Mondok?

Dia lulusan TPA khatam Iqra' kelas 6 SD, terus setelah SMP sudah tak pernah ngaji lagi. Mapel PAI seminggu 2 kali.

Maka jangan heran bila di kemudian hari anda akan mendapati orang yang membaca al-Qur'an di Kafe Galeria Mall seperti ini:

"ka-ha-ya-'a-sha"
Read More

Rabu, Februari 27, 2019

Prabowo, Bersiaplah untuk Legowo

Prabowo, Bersiaplah untuk Legowo



Atorcator.Com - Sujud kebacut sepertinya bisa terulang lagi. Tanda-tandanya, timsesnya begitu pede sampai menjelang pesta diadakan, padahal pedenya cuma nyebar hoaks, pakai dungu pula.

Cerita panjang dari mulai Obor Rakyat, sampai yang terbaru kampanye door to door menyebar fitnah yang disemburkan kepada Jokowi. Semua sudah basi. Timsesnya selalu mengelak, dalihnya Ratna menyusup, 7 kontainer kertas, pelakunya sdh keluar dari tim, kampanye door to door juga sama itu bukan orang mereka. Padahal kasat mata rekam jejaknya ada semua. Perlu berdebat kepada mereka, nggak perlu juga. Ngapain ngeladeni orang fasik, biarkan rakyat yg menilainya karena zaman sudah terbuka.

Banyak intelektual mengomentari kejadian di atas yang membuat sesak nafas. Mereka tetap bergeming dengan tabiatnya. Negara ini nasibnya naas, semoga cepat tuntas, kita bisa bernafas memikirkan hal yang lebih jelas. Ngomong sama para orang yang otaknya pas, ya kita bisa mati lemas.

Memang jujur kita jadi melas, ada sekumpulan orang beringas yang mulutnya panas. Disana ada yg mengaku ulama, jenderal, bahkan wakil ketua DPR dan ketua MPR yang masih aktif, kelakuan joroknya juga paling aktif.

Dua bulan sisa waktu bangsa ini utk membuktikan kita masih waras atau tidak. Ada 4 partai pengusung yang bersandiwara kepada Gerindra sang pemilik warung. Mereka adalah Demokrat, PKS dan PAN. Kenapa bersandiwara, ya kerena mereka tau menjual Prabowo kepada rakyat ibarat jualan kecap basi dalam botol kaca. Kecap boleh dibilang No.1, tapi lidah tak bisa dipindah karena bukan soal warna, tapi ini soal rasa. Kalau dibilang warna, semua sama hitamnya. Dan lucunya mereka mau memaksa Prabowo sebagai kecap putih. Mereka mau mengikuti white koffee, sayang kecap dan kopi berwarna hitam, tapi kopi ada aroma yg menggoda sblm diseruput, lha..ini kecap, harumnya tidak mempengaruhi rasanya.



Dalam botol kaca dia sama hitamnya, tapi rasa berasal dari ramuannya. Tidak ada kecap putih yang bisa dijual, sejujurnya mau diganti warna apa, semua orang tau Prabowo itu bukan kecap ketal manis, sayang dia tak bisa disulap menjadi susu kental manis cap Bendera. Boleh saja dia mengatakan dia akan menjadi susu, dia lupa susu bisa diseruput bersama kopi, kecap gak bisa diseruput, dia hanya bisa di kecap, sesuai nama asalnya.

Prabowo jgn memaksa jadi kopi yang bisa diseruput bersama susu, jadi saja kecap asli, kembali kedalam botol yang tutupnya masih terbuka. Biarkan Prabowo, ngecap, Jokowi nyeruput dan tetap susu kental manis.

Kami sudah lama menyukai aroma dan rasanya. Kebiasaan kami suka yang manis, tak mungkin kami mencampur kecap dengan susu. Selain rasanya bisa manis asin, kami juga memang tak suka rasanya kami juga tak suka minum kecap, yang bisa membuat kami hipertensi.

Hitung saja sendiri koalisi Jokowi bertambah 2 partai yg meninggalkan Prabowo. Golkar dan PPPP mempunyai basis pemilih setia, 2014 dua partaii ini menyumbang 26% suara nasional kepada koalisi Prabowo. Potensi suara ini akan berpindah ke Jokowi, minimal 20%, karena sekarang mereka mendukung Jokowi.

Kenapa Prabowo harus legowo, ya karena Prabowo sudah 3 kali legowo, sekarang namanya makin jelek saja karena timses liarnya telah merusaknya. Ada stigma bahwa Prabowo, sudah menjadi prabohong. Isi pulsa kebohongan terus diperlukan untuk menutup kebohongan lain yg bakal disusulkan. Terimakasih sosmed yg telah membuka mata, sehingga kami bisa membeli kucing diluar karung, jelas besar kecilnya, warnanya, kesukaannya. Kucing bisa makan apa saja, tapi dia tak boleh makan seenaknya.

Mudah2an Jokowi jadi lagi. Mulyono, nama kecil Jokowi, dia dimuliakan dan dia memuliakan.

Sumber Foto: CNN Indonesia
Read More
Benarkah Wiranto Terlibat Kasus 1998?

Benarkah Wiranto Terlibat Kasus 1998?


Oleh: Fauzy Adang

Atorcator.Com - Banyak yang tidak percaya, termasuk para pendukung petahana, atas tuduhan Kivlan Zein bahwa Wiranto adalah dalang di balik pemberangusan aktivis 1998. Ya, tentu tidak percaya karena dari dulu sampai sekarang tidak ada investigasi yang beres mengukapkan kasus ngeri tersebut, walhasil membuat soal kasus 98 hingga kini simpang siur, lantaran tidak ada bukti yang sangat kuat terkait itu.

Sebetulnya bisa saja terungkap, jika Jokowi benar serius - berkomitmen mengungkap kasus-kasus kejahatan HAM - tidak hanya goreng isu doang, beliau tinggal perintahkan untuk segera menuntaskan segala konspirasi-konspirasi jahat soal kejahatan HAM yang terjadi di Indonesia.


Dalam 4 tahunan ini isu perkara kejahatan HAM 98 memang terus-menerus disinggung, beberapa orang menuduh Wiranto dalangnya - termasuk Kivlan Zein itu dan para aktivis yang menuntut keadilan 98 - juga sekaligus orang tua para korban, tapi kebanyakan lebih suka menuduh Prabowo ketimbang Wiranto; padahal Wiranto kala kejadian 98 pun merupakan panglima TNI sebagaimana Prabowo. Mereka suka menuduh Prabowo karena atas dasar surat DKP mengenai pemecatan Prabowo - yang kemudian dibantah oleh Letjen purn Suryo - bahwa katanya soal surat tersebut tidak sama sekali ada sangkut pautnya dengan kasus 98 (merdeka.com).

Maka, demikian masih sulit menuduh mereka berdua. Wiranto atau Prabowo, adalah dalang di balik kerusuhan 98, sebab ya memang tidak ada bukti yang sangat kuat menuduh mereka, logikanya kenapa hingga kini tidak ada pengadilan terkait kasus 98 untuk mereka? Jadi pada akhirnya balik lagi kepada keseriusan pemerintah, apalagi bila ngakunya anti penjahat HAM, keterlaluan kalo yang notabenenya sebagai pemilik wewenang tapi hanya ngomong doang, tidak ada niatan mengusut tuntas.

Walau begitu, disaat mengoreng isu penjahat HAM, kita jangan lupa - terutama untuk para pendukung petahana - bahwa meski sulit menuduh Wiranto dalang 98, tapi tetap bisa diblang beliau pejahat HAM, pasalnya Wiranto ditetapkan sebagai tersangka oleh pengadilan HAM internasional, 2004 lalu pengadilan bersama PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) memerintahkan menangkap Wiranto secara resmi atas kasus perang Timor Leste 1999. Anehnya tidak ada sama sekali narasi yang menyindir kasus ini terkait kejahatan HAM, padahal dalilnya lumayan kuat.
Sumber Foto: Media Indonesia
Read More
Pidato Prabowo Marah-Marah Kapada Ulama Madura

Pidato Prabowo Marah-Marah Kapada Ulama Madura


Atorcator.Com - Kemenangan Prabowo di Madura pada tahun 2014 memang cukup telak. Bahkan pasangan Jokowi tidak separuhnya.

Warga Madura secara keseluruhan sampai ke pelosok desa memang banyak yang masih menjagokan Prabowo. Tidak terkecuali para kiai dan ulama sepuh Madura yang masih konsisten dengan pilihannya sampai saat ini.

Kedatangan Prabowo Subianto di Sumenep memang disambut sangat antusias oleh warga. Ini merupakan safari politik Prabowo dalam menjual dirinya dan meyakinkan dirinya kepada warga Madura khususnya Sumenep.

Namun lagi-lagi pak Prabowo memang terlihat kehilangan kontrol. Di tengah-tengah pidato kampanyenya. Pak Prabowo menunjukkan ketidaksopanannya di hadapan para ulama dengan berujar kata-kata yang sama sekali tidak pantas disampaikan kepada kiai dan ulama Madura. Apalagi ulama Madura dikenal dengan tokoh yang santun dan beradab.

Baca juga: Tanah, Rakyat Kecil dan Air Mata Warga Sampang Madura

Seperti dikutip dari Indovoices.com Prabowo terbukti, dalam salah satu sesi pidatonya, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto sempat ngambek dan marah di hadapan para kiai dan tokoh masyarakat di PP. Assadad, Ambunten, Sumenep, pada Selasa, 26 Februari 2019.

Prabowo (ngambek): “Ada apa bicara sendiri di situ? Apa you (kamu) aja yang mau bicara di sini?”
Kiai (selow): “Lanjut, Pak. Lanjut.”

Video yang beredar di WAG cukup memantik respon masyarakat yang berbeda-beda. Karena memang tidak selayaknya hal seperti itu diungkapkan kepada ulama. tentu banyak dari warganet yang menyayangkan perkataan Prabowo itu dan berkomentar "Seharusnya Prabowo lebih bijak dalam berujar dan memilih diksi yang tepat.

Berikut kami pidato Prabowo yang kami dapat dari WAG:






Read More
Keseimbangan Antara Ilmu dan Amal

Keseimbangan Antara Ilmu dan Amal


Oleh: Santri Kiri


Atorcator.Com - Seorang muslim mendapatkan kewajiban untuk melakukan ibadah baik ibadah itu bersifat horizontal antara seorang hamba pada Tuhannya hablun minallah maupun ibadah yang sifatnya vertikal antara sesama ummat manusia hablun mina al-nasi. Bahkan jika kita merujuk pada ayat Alquran surat ad-Dzariat ayat yang ke 56, pada dasarnya semua manusia yang mendapat tugas untuk melakukan ibadah. Sebab pada ayat tersebut tidak ada takhsis yang membatasi manusia. Sehigga seluruh manusia dengan berbagai karakter dan latar belakang apapun sama-sama membutuhkan tuhan.

Ibadah, sebagaimana yang telah kita ketahui, sangat mudah untuk kita jumpai dalam keseharian kita. Islam sebagai agama telah mengatur semuanya dalam tataran syariat, yang jika syariat itu dilakukan maka akan bernilai sebagai ibadah. Bahkan dalam hal yang remeh pun seperti tidur yang jika diniatkan untuk istirahat agar setelah bangun dapat menyegarkan tubuh untuk melakukan ibadah, maka tidur tersebut adalah bentuk ibadah kita kepada Allah.

Lantas apakah semua hal yang dilakukan yang jika di niatkan untuk beribadah kepada Allah SWT akan mendapatkan nilai ibadah?

Oleh sebab itu, dalam sebuah syair yang digubah oleh Syekh Zainuddin bin Syekh Ali Bin Syekh Ahmad Al-ma’biri dalam kitabnya yang bernama Hidayatu Al-Adzkiya’ ila Thariqi Al-Awliya’ yang bebunyi:

وكل من بغير علم يعمل *  اعماله مردود لاتقبل

Artinya : Dan setiap orang yang tanpa ilmu beramal (beribadah), maka amalnya tertolak tidak diterima.

Dalam kitab Kifayatu Al-Atqiya’ Sayid Bakri Al-Makki Bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyathi memberikan komentar tentang sya’ir ini bahwa: syair ini adalah maksud dari sebuah hadist yang berarti “Keutamaan orang yang memiliki pengetahuan atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti kemuliaan atas orang yang paling rendah diantara kalian”




Dengan kata lain, sebenarnya apa yang ingin disampaikan lewat syair ini adalah, semangat untuk mencari pengetahuan adalah harus seimbang dengan semangat untuk beribadah. Kedua sifat ini harus ditempatkan dalam proporsi yang seimbang. Bukan untuk menyurutkan semangat beribadah dan lebih bersemangat untuk mencari pengetahuan. Atau justru sebaliknya.


Lebih dalam, jika kita ingin mengambil semangat yang terkandung dalam syair ini yaitu semangat untuk menjalani hidup dalam keseimbangan antar pengetahuan dan perbuatan, teori dan praktek.

Sumber Foto: NU.or.id
Read More

Selasa, Februari 26, 2019

Tanah, Rakyat Kecil dan Air Mata Warga Sampang Madura

Tanah, Rakyat Kecil dan Air Mata Warga Sampang Madura



Atorcator.Com - Ratusan pengungsi Sampang yang sudah 6 tahun terusir dari kampungnya jelas tak perlu menjadi subjek pembagian tanah reforma agraria.
Mereka tak perlu digerakkan dan diyakinkan dengan seruan “saya akan bagi-bagikan untuk rakyat kecil!”
Mereka bahkan tak perlu air mata.
Mereka hanya perlu dikembalikan ke kampung halamannya dan difasilitasi untuk hidup rukun kembali yang modal sosialnya begitu kuat. Sesuatu yang gagal dipahami dan dipenuhi pemerintah selama 6 tahun lebih.
Mereka tak perlu pembagian tanah sebab meski mereka hidup di udik, tapi mereka orang-orang bermartabat dan berdaya.
Mereka punya tanah dengan luas keseluruhan sekitar 30-an hektare. Rata-rata setiap mereka punya luas bidang tanah 1/5 hektare. Mereka bertani dan berkebun.
Selama 6 tahun lebih di pengungsian mereka bukan hanya kehilangan hak untuk pulang dan bekerja mencari nafkah namun juga kehilangan tanah.
Kini rumah mereka keropos dimakan waktu dan menjadi ilalang. Tanah dan kebun mereka entah bagaimana nasibnya. Di pengungsian, kehidupan sosial ekonomi mereka hancur berkeping-keping.

Baca juga: Resolusi Konflik

Sejak 2012 kami telah melalui rezim SBY yang mengecewakan dalam penyelesaian kasus Sampang. Dari pintu ke pintu birokrasi, lembaga pemerintah dan negara bahkan militer dan polisi kami datangi mencoba membangun kerja sama menyelesaikan kasus Sampang.
Pada 2014 saya menaruh harapan besar terhadap Presiden baru. Lagi-lagi pintu-pintu kekuasaan itu kami ketuk. Tapi langgam tak juga berubah.
Setiap kementerian dan lembaga yang kami temui menagih jalan keluar penyelesaian, tanpa malu masih mengeluhkan hal yang sama: saling lempar bodi, merasa tak punya cukup kewenangan dan power.
Keadaan tanpa penyelesaian ini begitu mengecewakan dan saya menyaksikan begitu lumpuhnya negara menyelesaikan kasus yang sangat mikro dibanding klaim gagah mereka untuk menjaga NKRI sebagai harga mati dan di saat seorang presiden justru begitu dielu-elulkan melebihi era-era silam. Situasi ini saya lalui hingga 2016.
Tapi saya tak (sudi) menumpahkan air mata di depan mereka. Saya lebih sering menelan pahit dan melupakan kekecewaan-kekecewaan itu dengan berdoa jika penindasan tak bisa dielakkan perbanyaklah mereka yang peduli untuk melawannya.

Andai saja saya bisa mencuri 30 menit waktu dari kekuasaan seorang Presiden, maka saya akan melakukan hal-hal yang benar yaitu ketika konflik komunal terjadi tugas negarawan adalah merukunkan bukan melanggengkan relokasi dan pengusiran.

Sumber Foto: islami.co
Read More
Pemimpin Pamer Prestasi Agar Dipilih Kembali, Bolehkah?

Pemimpin Pamer Prestasi Agar Dipilih Kembali, Bolehkah?


Penulis: Moh. Syahri

Manusia memang gemar memamerkan sesuatu yang dianggap berharga bagi dirinya. Tidak terkecuali sebuah prestasi yang membuat dirinya begitu tenar seantero Nusantara.
Dalam satu kesempatan sering kali kita temukan seseorang yang juga gemar menunjukkan kebaikan dirinya di hadapan orang banyak. Dan ini biasanya terjadi ketika menjelang pemilu dalam sebuah kampanye. Hampir mustahil seorang calon pemimpin yang ketika melakukan kampanye atau blusukan menunjukkan kelemahan dan kekurangan dirinya.
Tidak ada celaan dan larangan bagi siapapun yang ingin memamirkan prestasinya ke publik, termasuk menunjukkan kebaikan dirinya dan keunggulan dirinya bahkan dalam satu sisi hal iyu sangat diperlukan.
Menurut Imam An-Nawawi di dalam Kitab Maraqil Ubudiyah ada 2 kategori orang yang memerkan kebaikan atau prestasi.
Satu, Mazdmumun (pamer yang dicela). Hal ini tentu memerkan prestasi yang bermaksud untuk menyombongkan diri, seolah-olah hanya dirinya lah yang punya prestasi seperti itu. Dan hal ini cenderung meremehkan orang lain dan mendiskreditkan orang lain.
Atau bisa jadi ajang pamer itu hanya untuk menjatuhkan orang lain yang pada saat itu sama-sama berkompetesi. Maka hal ini tentu sangat dilarang oleh agama.
Kedua, Mahbubun (pamer yang disenangi dan dianjurkan). Ini lah kenapa saya katakan di atas dalam satu sisi memamerkan prestasi atau sebuah kebaikan dan keberhasilan itu justru sangat dianjurkan oleh agama dengan syarat ada kemaslahatan terhadap agama.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa yang dimaksud kemaslahatan agama adalah di dalamnya mengandung unsur amar ma’ruf nahi munkar, mengandung nasehat atau petunujuk untuk sebuah kemaslahatan.
Selain itu, ada sebuah pelajaran penting yang mengandung manfaat, atau semata-mata demi memperbaiki moral dan etika, atau mengandung peringatan atau menyebutnya karena demi mendamaikan sebuah konflik yang sedang terjadi, dan yang terakhir untuk menolak serangan buruk, fitnah terhadap dirinya.
Unsur-unsur yang terkandung di atas yang disebutkan Imam An-Nawawi ternyata tidak hanya terbatas pada kemaslahatan agama tapi juga untuk kemaslahatan bangsa dan negara.
Maka atas dasar ini, memamerkan prestasi yang memberikan pengaruh baik terhadap bangsa dan negara sangatlah dianjurkan, seperti misalkan dalam kontestasi politik, seorang politisi tentu sangat dianjurkan untuk memamerkan prestasinya sebagai bukti bahwa ia mampu dan akan lebih memaksimalkan dalam memajukan bangsa ini. Di sisi lain prestasi itu juga akan banyak mendulang suara pemilih yang sangat diharapkan bisa memperbaiki bangsa dari keterpurukan.

Baca juga: Tanda-Tanda Hati Seorang Hamba Mati
Jika seorang calon pemimpin tidak menyebutkan prestasi itu maka sangat potensial akan diduduki oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi dalam kepemimipinan, dan hal ini akan memberikan ketidakstabilan dalam mengelola bangsa ini. Maka sangat mungkin bangsa ini akan koyak moyak di tangan orang yang tidak punya kompetensi dan prestasi apa-apa.
Oleh karena itu, sah-sah saja memamerkan prestasi asal ada niat baik bukan untuk menyombongkan diri.
Wallahu a’lam
Tulisan sudah pernah dimuat di islami.co


Wallahu a’lam
Read More

Senin, Februari 25, 2019

NU, Demokrasi dan Para Predator

NU, Demokrasi dan Para Predator




Atorcator.Com - Di bawah terik sengatan ultra-politik, tanpa sadar kita sering minum es campur hoax dengan toping ujaran kebencian serta mendinginkan gejolak dunia maya yang menggelegak justru dengan disinformasi berita yang tak jelas sumbernya. Nah, begitu musim hujan provokasi tak terbendung, hanya payung politisasi agama yang tersedia di tangan kita. Tiba-tiba, banjir bandang intoleransi menghanyutkan bangsa ini sampai ke tubir jurang disintegrasi.

Tak jauh beda dengan gerakan-gerakan fasisme Jerman dan Italia pada pertengahan abad ke-20 silam, propaganda dan provokasi menjadi mesin pengacau opini publik dengan dentuman informasi palsu dan gempuran berita bohong demi menggiring kemarahan dan sentimen massa menuju satu titik, yakni istana, penguasa, razim.

Dasawarsa ini, strategi disinformasi semakin mendapati kegilaannya dengan media sosial. Dampaknya apa, Kisanak? Media telah membentuk opini rakyat sedemikian rupa dan menyesatkan sedemikian gila seolah sedang terjadi polarisasi politik antara Islam dan non-Islam, polarisasi ekonomi antara pribumi versus asing dan berbagai varian gorengan isu lainnya yang mem-blow up habis-habisan bahwa (umat) Islam sedang dilecehkan dan ditindas. Praktis, 130 juta pengguna internet dan 90 juta umat Islam yang tak jelas mazhabnya apa menjadi kelinci percobaan dan pion-pion para predator bisnis, para oligark politik, para begundal demokrasi, para bromocorah penjual hukum, para cecunguk pengasong khilafah yang berkendara revolusi industri 4.0 alias big data. Berhsilkah mereka? Sangat! Bravo!

Media sosial tak ubahnya ladang subur bagi para pembenci, pencaci, mencemooh, pencemar, penggunting dalam lipatan, pembegal, pemancing, tengkulak keributan, pengembang provokasi, makelar propaganda dan peselancar negatif demi kepentingan gerombolan serigala berbulu ormas dan para pemangsa sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya manusia dan terutama sumber daya ideologi (Pancasila).

Digoreng dengan bumbu-bumbu politik, ditumis dengan aroma dan saus agama yang penuh intrik, direbus bersama kaldu sentimen etnik, dipanggang dengan bara isu komunis dan lantas disajikan di mulut-mulut mayoritas awam sebagai menu sehari-hari, tengik tapi nampak asyik, bikin ketagihan meski menyesatkan. Kita mengira bahwa media sosial sebagai realitas, padahal ia hiper-realiatas.

Satu berita diviralkan dan oleh buzzer-buzzer bayaran lalu diproyeksikan—misalnya—untuk mendiskreditkan golongan tertentu, menghujat yang berbeda agama dan paham, menjatuhkan lawan politik, menjegal kompetitor bisnis, menggulingkan penguasa, dan bahkan hendak mengganti ideologi Negara dengan dalih memperjuangkan "akal sehat". Satu istilah yang belakangan ini dikaburkan oleh para tengkulak.

Kepentingan para predator bisnis, para oligark politik, para begundal demokrasi, para bromocorah penjual hukum, para tengkulak isu SARA, para cecunguk pengasong khilafah yang dibungkus rapi dengan muslihat "bela agama" melalui gerakan masif populisme Kanan sungguh telah menghina akal sehat bangsa Indonesia.

Artinya, gerakan ini bukan inisiatif rakyat, bukan pula berangkat dari kesadaran umat, kerana para predator itu jelas-jelas "menyerang" ego, bukan rasio! Dengan kata lain, kemarahan publik berangkat dari "kesadaran palsu" yang dibentuk para tengkulak oligarki melalui media (sosial) secara masif dan terencana. Sudah tahu kan tukang goreng, tukang kipas, dan tukang sabunnya, juga para bandar yang membiayai mereka?

Berbeda dengan populisme Kiri yang progresif-demokratis, populisme Kanan malah anti-demokrasi, ultra-konservatif plus kolot 14 turunan. Populisme Kanan adalah gerakan menggiring kemarahan rakyat/umat (populus) kepada pemerintah dan rezim. Emosionalisasi politik SARA dengan provokasi dan demagogi yang keji serta ujaran kebencian ultra-jahiliyah sebenarnya bukan hal baru, ia sudah sangat kuno tapi lumayan mujarab bagi masyarakat tuna pustaka dan generasi milenial alergi baca, bahkan sangat ampuh bagi kaum otak cingkrang, bani cuti nalar permanen, kaum pentol korek-sumbu pendek, dan panasbung (pasukan nasi bungkus) pengasong simbol agama dan pemburu bulu ketiak bidadari.




Kerumunan yang murka melalui aksi demo berjilid-jilid dan bersilit-silit, politisasi agama dan agamaisasi politik, sentimentalisasi politik dan politik sentimen mengarah rasis adalah ciri utama yang paling mencolok dari gerakan populisme Kanan. Hasilnya apa? Jutaan kaum monaslimin-monaslimat alumni gerakan populisme Kanan itu yang mereka tidak tahu-sadari kecuali sebagai bela agama, titik! Para tengkulak untung, para predator senang, toleransi buntung, kebinekaan mengalami turbulensi, lalu terjun bebas.

Para pemimpin populis, misalnya Trump di Amerika Serikat, Greet Wilders di Belanda, Le Pen di Prancis, Jair Bolsonaro di Brazil, Lutzbachman di Jerman dan tentu saja Rizieq Shihab di Indonesia sangat efektif membangun citra seperti "obat kuat" bagi para pengikutnya serta manjadi "ego-ideal" bagi para pemujanya. "Kuat" terhadap apa? Kuat untuk cuti nalar dan tidak kritis sampai-sampai tindakan pemimpin populis junjungan mereka yang mencederai kemanusian, mengoyak kebinekaan dan mencederai hukum, mencaci agama lain, dianggap benar, mutlak benar. Konsekuensinya, siapapun yang menentang mereka pasti salah, auto-kafir dan combo-neraka. Pertanyaannya: bagaimana sikap NU, khusunya nahdliyyin milenial di tengah pusaran populisme Kanan?

Pertama, ngopi, kedua, ngopi (ngobrol pintar) dan sowan Kiai, ketiga, ngopi (ngolah pikiran) dan strategi bersama untuk terus menjaga kewarasan dan akal sehat melalui media sosial. Apa,sebab? Karena para pemuja selangkangan politik adalah pengikut setia mazhab cuti nalar. Tidak percaya? Berapa persen teman medsos Anda yang sudah mulai defisit otak dan berakal cingkrang selama dua tahun ini?

Well, melawan disinformasi dengan informasi yang benar adalah "jihad cyber" yang harus digalakkan oleh NU milenial. Mengapa? NU (para Kiai, santri, pesantren, nahdliyyin) adalah pendiri bangsa dan Negara, NU adalah pejuang di zaman revolusi kemerdekaan, penjaga marwah Pancasila, benteng NKRI yang kokoh. Adalah tidak masuk akal jika ada orang-orang yang teriak mengaku santri, mengaku paling NU, tetapi kemudian mau merobohkan "rumah" yang dahulu dibangun oleh leluhurnya sendiri. Siapapun yang merasa berasal dari tanah, pasti akan mencintai tanah airnya, tanah tumpah darahnya, kecuali ia tercipta dari tanah sengketa!

Para predator bisnis, para oligarki politik, para begundal demokrasi, para bromocorah penjual hukum, para cecunguk pengasong khilafah, dan tengkulak ayat-ayat suci tahu betul bahwa pintu masuk untuk merobohkan Indonesia adalah dengan merusak NU dari dalam, membenturkannya di luar, menjatuhkan martabat santri dan merongrong marwah Kiai dengan provokasi dan adu domba sana-sini.

Mereka lupa bahwa NU itu pawang, resi dan begawan. Begitu pawang datang, binatang-binatang buas dan liar manjadi jinak, terdiam dan tenang. Tidak perlu membunuh binatang buas, menjebak dan bahkan menyiram air keras untuk diawetkan. Pawang itu tenang, tidak gegabah. Tenang itu ciri pemenang, gegabah ciri orang kalah. Ujar-ujar lama tetap berlaku: 


Segala sesuatu ada ilmunya, segala sesuatu ada pawangnya! NU bukan hanya organisasi, sosok Kiai, santri, pesantren, kaum sarungan, NU adalah spirit kemanusiaan, kebangsaan dan nafas perjuangan. Siapapun yang melawan pawang, ia sedang menggali kuburnya sendiri!

Sebagai pawang, para Kiai NU tahu persis, bahkan sejak NKRI belum berdiri, populisme Kanan bukan solusi atas problem dan ketimpangan sosial, ia justru simptoma penyakit sosial. Harus diakui bahwa gerakan ini menyiratkan lemahnya fungsi pemerintahan demokratis di satu sisi, serta tangguhnya cengkeraman oligarki di sisi lain. Dan, ironisnya, ini terus berlangsung sampai sekarang. Bukankah pemerintah memiliki segala control panel untuk mendamaikan dan mengamankan gerakan ini? Tetapi mengapa seolah terjadi pembiaran? Lagi-lagi, para predator dan oligark yang bermain.

Mangsa paling empuk bagi populisme Kanan adalah demokrasi elektotal seperti sekarang ini, apa sebab? Karena saat pemilu dan suksesi kekuasaan berlangsung, dana sangat besar dari tangan-tangan predator digelontorkan. Dampaknya? Akal sehat menyusut, sikap kritis mengerdil, mekanisme hukum melemah, para tengkulak merajalela, dan banalitas terjadi di mana-mana.

Satu hal yang harus digarisbawahi, populisme Kanan tidak pernah memperkuat demokrasi, ia justru mengancam keutuhan nasional dengan memanfaatkan "fasilitas" demokrasi, yakni kebebasan menyampaikan pendapat. Nafsu, sebagaimana juga kebencian dan amuk massa, tak pernah dapat bersanding dengan argumen rasional. Kemarahan adalah sebuah situasi ketika ucapan dan tindakan meninggalkan nalar jernih dan bening budi. Populisme bukan pasangan ideal bagi Negara Pancasila, ia musuh dalam selimut dan di luar selimut. Para Kiai Nusantara sudah lama mengetahui intrik dan tipu-tipu surgawi kelas kandang kelinci macam ini, tinggal bagaimana generasi NU milenial meneladani gaya kepemimpinan "pawang-pawang" NU, misalnya: alm. Gus Dur, alm. Mbah Sahal Mahfudh, Mbah Maimun Zubair, Habib Luthfi, abah Gus Mus, yai Said Agil, dll.


Sebelum kopi habis, saya ingin bertanya: apakah dengan menjadi monaslimin-monaslimat Indonesia lantas maju? Bukankah dengan bersikap normatif dan mendiamkan mereka sama saja dengan mendukung mereka dan itu artinya membiarkan mereka merajalela?


Salam takzim.

Penulis Ach Dhofir Zuhry adalah Ketua STF AL-FARABI dan pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen-Malang. Buku terbarunya yang banyak diburu para jomblo di musim hujan ini: KONDOM GERGAJI dan PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)
Read More